Budaya tentang Penebusing Bayi Julung Caplok, Desa Penthungbulus, Kecamatan Tempeh Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, di dalam Seni Budaya
(sumber/ source:_.1997. Upacara Adat Jawa Timur. Surabaya: Departemen P dan K Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.)
Wilayah kabupaten Lumajang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Malang, Probolinggo dan Jember. Rakyat Lumajang terdiri dari suku Madura dan Jawa, oleh karean itu kedua bahasa daerah Madura dan Jawa dipakai secara berdampingan. Upacara adat yang diangkat di dalam buku ini berasal dari desa Penthungbulus, Kecamatan Tempeh (tidak jauh dari kaki gunung Semeru). Upacara adat yang dimaksud adalah “Panebusing Bayi Julung Caplok” sebagai bagian dari kultur Jawa yang sifatnya amat agraris. Kata “julung” dalam kamus bahasa Jawa-Indonesia (S. Prawiroatmodjo), 1981;194) berarti “sudah takdir” akan mendapatkan kecelakaan karena lahir pada waktu yang tidak baik. Bertitik tolak dari criteria waktu (Jawa-sangat) bayi yang lahir pada waktu yang tidak tepat, diklasifikasikan menjadi enam macam:
1) Julung kembang. Anak yang lahir bersamaan dengan matahari terbit di ufuk timur. Anak ini ditakdirkan akan bertemu dengan binatang buas.
2) Julung Pujut; nama wuku (salah satu planet) yang kelima belas (anak lahor pada waktu tersebut).
3) Julung Sarap; anak lahir menjelang matahari terbenam
4) Julung Sungsang, anak yang lahir pada jam 12 siang.
5) Julung Wangi, nama wuku (salah satu planet) yang kesembilan.
6) Culung Caplok, anak yang dilahirkan pada waktu matahari terbenam.
Mengacu ke kepercayaan local di daerah Penthungbulus, masyarakat di sana meyakini bahwa setiap manusia yang lahir di muka bumi selalu memiliki ‘sedulur’ (saudara) yakni kakang kawah (air ketuban) dan ‘adhi ari-ari’ (plansenta). Manusia di muka bumi berada di keblat ‘papat’ (empat) dan yang kelima adalah ‘pancer’ (pusat). Pada sepanjang waktu hidupnya, manusia selalu dijaga oleh roh pengawal (Jawa: pamomong). Roh pengawal ini konon berjumlah tujuh, mereka secara periodic (bergilir) mendampingi setiap manusia demi keselamatannya. Roh pengawal juga diyakni berjenis kelamin yaitu lelaki dan wanita. Ketujuh roh pengawal yang menjaga tidak selalu berjenis kelamin sama, misalnya yang berjenis kelamin lelaki dua, sedang berjenis kelamin wanita ada lima. Bayi yang dilahirkan ‘julung caplok’ pada hari ‘selasa pahing’ dijaga oleh malaikat pamong (roh gaib penjaga manusia) yang kesemuanya berjenis kelamin wanita. Ciri bayi itu adalah mudah terkena gangguan penyakit, mudah diganggu oleh roh halus (Jawa: lelembut dan semacam terjanjikan menjadi mangsa binatang misalnya harimau (di hutan), buaya dan ular (di danau, sungai besar atau laut). Sehubungan dengan kepercayaan tersebut maka bayi julung caplok kelahiran hari selasa pahing haris ditebus dengan upacara khusus, agar terbebas dari ebrabgai ancaman di atas. Kepercayaan yang terkait dengan kelahiran bayi julung caplok adalah karna atau hukuman atas perbuatan orang tuanya. Dengan demikian upacara penebusan yang dimaksudkan bertujuan:
a) memohon pengampunan kepada Allah atas segala perbuatan dosa kedua orang tua bayi.
b) memohon kepada Allah agar bayi tersebut dibebaskan dari segala mala petaka yang tidak diharapkan.
c) memohon kepada Allah agar bayi tersebut diberi berkah dan kebahagiaan dunia akhirat, serta umur panjang di muka bumi.
Tata Urut Upacara
1) Saat bayi dilahirkan dan persiapan upacara
2) upacara “Penebusing Bayi Julung Caplok”
a) Bayi dibawa ke suatu tempat (tempat upacara ruwat)
Susunan prosesi diatur sebagai berikut:
a.1 Pembabat margi/ penunjuk jalan atau cucuk laku.
a.2 Dukun dan pembantunya (pemimpin upacara)
a. 3 Pembawa ‘damar kambang’ terdiri dari gadis tujuh orang, lambang roh pengawal bayi.
a.4 pembawa sesaji, gadis empat orang
a.5 orang tua bayi, kakek dan nenek (eyang berdua)
a.6 barongan (dalam seni kuda kepang, disebut pula jepaplak atau gumbing) tiga penjuru, sebagai lambang roh jahat mengancam kehidupan bayi.
a.7 pembawa tumpeng, kambing (wedhus kendhit), damar kembang, pisang ayu, suruh ayu, dan kelapa serta benang lawu. Kambing tersebut sebagai tebusan kambing dilepas dan akhirnya diperebutkan oleh masyarakat yang menyaksikan upacara pemegang pertama dinyatakan yang berhak memiliki kambing tersebut.
b) penyerahan bayi dari orang tua ke pihak dukun, kemudian diadakan upacara ruwet atau penebusan bayi.
c) pengucapan doa (mantra), selamatan dan pelepasan kambing.
d) Sumbaran pamong
e) Upacara paripurna, pulang ke rumah masing-masing.