Perspektif Gender/ Gender perspective

Perspektif Gender
(Source/ Sumber:  Noname.2004.Kesehatan Reproduksi.Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.)
(Rewritten by Dimas Erda Widyamarta: www.ithinkeducation.blogspot.com)
1.      Pasangan Seksual. Elemen pertama dari kerangka pikir seksualitas-gender membicarakan:
a.       Jumlah pasnagna seksual, saat ini dan masa lalu
b.      Waktu dan lamanya hubungan seksual seseorang selama hidupnya
c.       Identitas sosial pasangan (karakterstik sosio-ekonomis, hubungan)
d.      Kondisi dalam memilih: sukarela atau terpaksa, dan
e.       Lamanya suatu hubungan (bergantu pasangan)
Biasanya, jumlah dan identitas pasangan dapat memprediksikan jejaring seksual dan penularan penyakit.
Perbedaan gender pada awal (atau pemutusan) aktifitas seksual, termasuk pada saat menentukan pasangan seksual berikutnya (identitas dan jumlah) menimbulkan standar ganda di masyarakat. Kekuatan struktural maupun ideologis tersebut menimbulkan pergeseran kemampuan perempuan dalam menentukan proses reproduksi dan seksual mereka. Walaupun petugas kesehatan telah menyadari bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memilih kontrasepsi dan melindungi dirinya dari IMS, namun yang paling penting adalah kemampuan perempuan dalam memutuskan untuk melakukan hubungan seksual atau tidak.
Aktifitas seksual yang terlihat suka sama suka, sebenarnya mungkin terdorong oleh kebutuhan ekonomi. Di Jakarta, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasn Pelita Ilmu menemukan ada dua jenis transaksi seksual pada remaja. Pertama, perex (perempuan experimen, bebas dibawa ke mana-mana), istilah yang dipakai untuk perempuan muda yang memberikan pelayanan seks sebagai balasan atas pemberian materi dari “Om Senang”. Kedua, pecun (perex Cuma-Cuma), istilah untuk perempuan muda yang menyediakan pelayanan seks bagi mereka yang bersedia memberikan “barang mewah”, seperti tiket nonton bioskop, makan makan di restoran mewah, sepotong baju, mobil baru dan / atau apartemen. Meskipun ada transaksi seksual, perex dan pecun tidak suka disebut pelacur karena mereka menganggap hubungan seksual yang dilakukan didasari oleh suka sama suka. Mereka juga merasa tidak menjual tubuh mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti yang dilakukan oleh pekerja seks (Djoerban dkk, 2003)

2.      Tindakan Seksual. Elemen kedua meliputi naluri alami, frekuensi dan kondisi pilihan (sukarela atau terpaksa). Frekuensi dan bentuk ekspresi seksual merupakan elemen penting kesehatan reproduksi dan seksual. Beberapa praktik seksual mungkin membutuhkan kontrasepsi atau supaya pencegahan penyakit; yang lainnya mungkin membutuhkan keduanya. Contohnya, perempuan yang telah memopause memiliki suami/ pasangan HIV+, tidak lagi membutuhkan kontrasepsi untuk mencegah kehamilan tetapi membutuhkan kondom untuk mencegah penularan HIV. Pasangan usia subur yang sedang dalam pengobatan IMS dan tidak ingin punya anak, sebaiknya menggunakan kondom untuk mencegah kehamilan dan tertular IMS kembali.

3.      Makna Hubungan Seksual. Kontruksi sosial tentang seksualitas berasal dari pemikiran, perilaku dan kondisi seksual yang diinterpretasikan menurut budaya setempat (misalnya keperawanan). Dimensi ini menyatukan kepercayaan kolektif dan individu tentang sifat alami tubuh, seperti hal yang dianggap erotis atau jorok, tentang apa yang dengan siapa masalah seksualitas pantas dibicarakan. Pada beberapa budaya, ideologi tentang seksualitas menekankan reisstensi atau “penolakan” perempuan, agresifitas laki-laki dan tindakan seks yang saling berlawanan; pada beberapa budaya yang lain, mereka menekankan saling berbagi dan menikmati.
Kontruksi sosial tentang seksualitas mau tidak mau terkait dengan konsep budaya tetang maskulinitas dan feminitas. Inti dari “kelaki-lakian” dan “keperempuanan” ini diwujudkan dalam bentuk ideologi seksual. Studi lintas budaya menunjukkan bahwa laki-laki harus mengikuti aturan baik dianggap menyenangkan atau tidak. Menjadi “laki-laki yang sesungguhnya” sering dihubungkan dengan kejantanan atau keberanian, kehormatan dan tanggung jawab. Mereka paling tidak senang bila kelakiannya dilecehkan oleh orang tua, teman sebaya dan perempuan.
Kontradiksi dari seksualitas dan kekuasan laki-laki diekspresikan dalam bentuk dominasi terhadap perempuan, karena kelebihan mereka secara fisik, materi, ideologis dan takut kehilangan muka. Meskipun tingkat kepemilikan laki-laki atas perempuan itu besar, namun ia menyadari bahwa istri dan anak perempuannya merupakan target bagi laki-laki seperti dirinya. Hal ini menimbulkan ketakutan kehilangan kekuasaan dan kelaki-lakian mereka (tidak percaya diri) sehingga menumpahkan kemarahan kepada perempuan. Potensi seksual disamakan dengan ototritas laki-laki terhadap perempuan; oleh karena itu menyerang potensi seksual mereka berarti mengancam kekuasaannya sebagai laki-laki dan sebaliknya.
Perubahan makna dan ekspresi seksualitas terjadi sepanjang siklus hidup laki-laki dan perempuan, khususnya sebagai respon terhadap kemungkinan konsepsi. Di dalam ikatan pernikahan pada saat mereka menginginkan dan membesarkan anak. Seks bsebelum nika, di luar nika atau di usia senja dianggap tidak layak. Hal ini bisa berbeda di budaya lainnya, di mana seks sebelum atau di luar nika ditolerir dengan berbagai alasan.

4.      Dorongan dan Kenikmatan Seksual. Aspek fisologis dan sosiopsikologis seksualitas berinteraksi menghasilkan berbagai tingkat kemampuan menerima rangsangan dan orgasme yang berbeda pada setiap orang. Elemen ini dipengaruhi oleh pengetahuan laki-laki dan perempuan tentang kapasitas seksual tubuhnya untuk mendapatkan kenikmatan secara fisik dan emosional mellui fantasi, hubungan seksual atau merangsang diri sendiri. Persepsi tentang dorongan dan kenikmatan seksual dipengaruhi oleh konstruksi sosial seksualitas. Di beberapa penelitian menunjukkan laki-laki merasa perempuan kurang tertarik terhadap seks.

Keempat dimensi seksualitas terkait dengan perilaku pemakaian kontrasepsi, risiko IMS, dan aspek lain dari kesehatan reproduksi dan seksual. Setiap elemen juga saling berhubungan, baik dalam satu dimensi atau dengan elemen dari dimensi yang lain. Seorang laki-laki yang menikah dan berpengalaman dalam berbagai jenis tindakan seks mempunyai pikiran yang berbeda tentang kenikmatan, kehamilan dan penyakit saat berhubungan dengan seorang pekerja seks dan saat berhubungan dengan istrinya. Dengan kata lain, setiap elemen dibentuk oleh sistem sosial yang lebih besar, seperti: institusi sosial dan ekonomi yang menentukan hierarki kekuasan dan pilihan hidup berdasarkan gender, umur, kelas, etnis dan perbedaan lain; serta ideologi gender yang dielaborasi setiap sistem.