Sejarah dan Definisi tentang Reproduksi Seksual/ History and Definition of Sexual Reproduction

Sejarah dan Definisi tentang Reproduksi Seksual
(Source/ Sumber:  Noname.2004.Kesehatan Reproduksi.Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.)
(Rewritten by Dimas Erda Widyamarta: www.ithinkeducation.blogspot.com)
pada tahun 1990-an muncul pandangan baru mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan dan laki-laki berdasarkan HAM. Hal ini ditandai dengan terselenggaranya beberapa konferensi internasional yang membahas hal tersebut  (Wallstam, 1997), di antaranya:
A.     Konferensi Wina (1993), konferensi internasional tentang HAM di Wina, tahun 1993 mendiskusikan HAM dalam perspektif gender serta isu kontroversal mengenai hak reproduksi dan seksual. Deklarasi dan platform aksi wina menyebutkan bahwa “Hak asasi perempuan dan anak perempuan adalah mutlak, terpadu, dan merupakan bagian dari HAM” (Wallstam, 1997)
B.     ICPD Kairo (1994), konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development/ ICPD) yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kairo- Mesir pada tahun 1994, dihadiri oleh 11000 perwakilan dari lebih 180 negara. Konferensi tersebut melahirkan kebijakan baru tentang pembangunan dan kependudukan, sperti tercantum dalam Program Aksi 20 tahun, yang tidak lagi terfokus pada pencapaian target populasi tertentu tetapi lebih ditujukan untuk menstabilkan pertumbuhan penduduk yang berorientasi pada kepentingan pembangunan manusia. Program aksi ini menyerukan agar setiap negara meningkatkan status kesehatan, pendidikan dan hak individu- khususnya bagi perempuan dan anak-anak- dan mengintegrasikan program keluarga berencana (KB) ke dalam agenda kesehatan perempuan yang lebih luas (Wallstam, 1997)
Bagian terpenting dari program tersebut adalah penyediaan pelayanan kespro (kesehatan reproduksi) menyeluruh, yang memadukan KB, pelayanan kehamilan dan persalinan yang mana, pencegahan dna pengobatan infeksi menular seksual/ IMS (termasuk HIV), informasi dan konseling seksualitas, serta pelayanan kesehatan perempuan mendasar lainnya. Termasuk penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan seperti sunat perempuan, jual beli perempuan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya (Wallstam, 1997).
A.     Konferensi Perempuan Sedunia ke Empat di Beijing, FWCW (1995), deklarasi dan platform aksi beijing (Fourth World Conferency of Women/ FWCW (4-15 September 1995), yang diadposi oleh perwakilan dari 189 negara mencerminkan komitmen internasional terhadap tujuan kesetaraan, pengembangan dan perdamaian bagi seluruh perempuan di dunia. Platform tersebut terdiri dari enam bab, mengidentifikasi 12 “area kritis kepedulian” (12 critical areas of concern) yang dianggap sebagai penghambat utama kemajuan kaum perempuan (Wallstam, 1997), yaitu:
1.      Kemiskinan. Jumlah perempuan yang hidup dalam kemiskinan lebih banyak dibandingkan laki-laki karena terbatasnya akses perempuan terhadap sumber ekonomi (misalnya: lapangan pekerjaan, kepemilikan harta benda), pendidikan dan pelatihan serta pelayanan masyarakat (misalnya: kesehatan).
2.      Pendidikan dan Pelatihan. Pendidikan merupakan HAM dan sarana penting untuk mencapai kesetaraan, pengembangan dan perdamaian. Namun, anak perempuan masih mengalami diskriminasi akibat pandangan budaya, pernikaan dan kehamilan dini, keterbatasan akses pendidikan dan materi pendidikan yang bias gender.
3.      Kesehatan. Kesehatan perempuan mencakup kesejahteraan fisik dan emosional mereka, yang tidak ahnya dipengaruhi oleh faktor biologi tetapi juga turut ditentukan oleh konteks sosial, politik dan ekonomi. Tercapainya standar kesehatan fisik tertinggi penting bagi kehidupan dan kesejahteraan perempuan. Hal ini akan mendukung perempuan untuk partisipasi baik di masyarakat maupun dalam kehidupan pribadinya. Hak kesehatan perempuan harus terpenuhi secara adil sepanjang siklus hidupnya.
4.      Kekerasan. Perempuan dan anak perempuan merupakan subyek kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi tanpa dibatasi oleh status sosial ekonomi dan budaya baik di kehidupan pribadi maupun masyarakat. Segala bentuk kekerasan berarti melanggar, merusak atau merenggut kemerdekaan perempuan untuk menikmati hak asasinya.
5.      Konflik bersenjata. Selama konflik bersenjata, perkosaan merupakan cara untuk memusnahkan kelompok masyarakat/ suku. Praktik tersebut harus dihenti dan pelakunya harus dikenai sanksi hukum.
6.      Ekonomi. Perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan sering diperlakukan secara tidak layak (seperti gaji rendah, kondisi kerja yang tidak memadai dan terbatasnnya kesempatan kerja profesional).
7.      Pengambilan keputusan. Keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan belum mencapai target 30% di hampir semua tingkatan pemerintahan, sebagaimana ditetapkan oleh lembaga sosial dan ekonomi PBB (the UN Economic and Social Council) pada tahun 1995.
8.      Mekanisme Institusional. Perempuan sering terpinggirkan dalam struktur kepemerintahan nasional, seperti tidak memiliki mandat yang jelas, keterbatasan sumber daya dan dukungan dari para politisi nasional.
9.      Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia bersifat universal. Dinikmatinya hak tersebut secara penuh dan setara oleh perempuan dan anak perempuan merupakan kewajiban pemerintah dan PBB dalam mencapai kemajuan perempuan.
10.  Media. Media masih terus menonjolkan gambaran yang negatif dan merendahkan perempuan. Misalnya menampilkan kekerasan, pelecehan dan pornografi yang berdampak buruk bagi perempuan.
11.  Lingkungan. Perusakan alam menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat terutama terhadap perempuan di segala usia.
12.  Diskriminasi. Diskriminasi sudah dialami perempuan sejak awal kehidupannya. Perilaku dan praktik yang berbahaya menyebabkan banyak anak perempuan tidak mampu bertahan hidup hingga usia dewasa. Kurangnya perlindungan hukum atau kegagalan dalam penerapannya, menyebabkan perempuan rentan terhadap segala bentuk kekerasa, serta mengalami konsekuensi hubungan seksual usia dini dan tidak aman, termasuk HIV/ AIDS (Center for Women Policy Studies, 2000).
A.     Telaah Lima Tahunan :ICPD+5 (1999)
Lima tahun setelah ICPD Kairo (ICPD+5), PBB mengundang para pemimpin negara untuk membahas tentang kemajuan dan kegagalan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang terkait dengan pembangunan dan kependudukan (PRB, 2000).
Pada ICPD+5, isu seksualitas remaja dan aborsi, masih mengundang kontroversi. Selain itu, muncul kontroversi baru mengenai kontrasepsi darurat dan peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam negoisasi antar pemerintah. Pertemuan ICPD+5 ditutup dengan mengadopsi “beberapa tindak lanjut penerapan program aksi ICP (Key Action for the Further Implementation of Programme of Action of the International Conference on Population and Development)”. Termasuk di dalamnya adalah target baru untuk tahun 2015 yang mempertajam fokus dari tujuan pada tahun 1994 (PRB,2000).