Seksualitas dari Sudut Pandang Tradisional/ Sexuality of Traditional Perspective

Seksualitas dari Sudut Pandang Tradisional
(Source/ Sumber:  Noname.2004.Kesehatan Reproduksi.Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.)
(Rewritten by Dimas Erda Widyamarta: www.ithinkeducation.blogspot.com)
Seksualitas adalah konsep yang meliputi kemampuan fisik seseorang dalam menerima rangsangan dan kenikmatan seksual serta pembentukan identitas seksual dan gender yang melekat pada perilaku seksual yang dipahami oleh individu maupun masyarakat. Utomo (1999) menyatakan bahwa seksualitas sangat dipengaruhi oleh sejarah dan budaya, karena itu setiap masyarakat memiliki norma-norma dan nilai-nilai seksual sendiri. Perilaku seksual yang dianggap normal oleh suatu masyarakat mungkin dianggap tidak normal oleh masyarakat lain.
Kosep seksual di Indonesia sebagian ebsar berasal dari India dan selebihnya berasal dari tradisi masyarakat tradisional. Pada saat itu, seks tidak dihubungan dengan ‘moralitas’ tetapi sebagai sesuatu yang alami seperti kebutuhan akan makan dan minuman. Bukti keterbukaan terhadap seksualitas terhadap pada pahatan di candi India yang menunjukkan berbagai posisi hubungan seksual.
Kebudayaan Jawa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Serat Centini, sebuah mahakarya sastra Jawa yang terdiri 12 volume dan ditulis pada awal abad19 Masehi oleh Sultan Pakubuwana V, secara terbuka membahas seksualitas. Salah satu cerita menggambarkan bagaimana tiga bersaudara berbagai informasi dan pengalaman mereka saat berhubungan seksual dengan seorang tamu laki-laki yang bermalam di rumah mereka. Seks dalam cerita ini terlihat alami dan digambarkan secara jelas. Yang menarik, perempuan bisa meminta, memulai dan menentukan posisi yang diingini saat hubungan seksual. Mereka tidak takut untuk meminta laki-laki agar mereka bisa mencapai orgasme. Hal ini sangat berbeda dengan konsep seksualitas pada masa modern, di masa perempuan diharapkan tidak mengekspresikan kebutuhan seksualitas mereka termasuk meminta atau memulai hubungan seksual.
Sebelum penyebaran agama Islam dan Kristen, hubungan seksual pra nika diperbolehkan di Kalimantan bagian Utara dan Indonesia Timur. Di dua wilayah tersebut berkembang pemahaman yang salah bahwa hubungan seks dengan “perempuan sehat” dapat menyembuhkan seorang priadari penyakit kelamin karena dia telah mengembalikan “makhluk asing” ke perempuan tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa pengidap gonore sangat tinggi di Murut (Kalimantan Utara) pada tahun 1930 dan Sumba pada tahun 1960, masing-masing 80% dan 90% dari perempuan yang diperiksa.
Pada masa perdagangan, laki-laki bersedia mehahan sakit dengan memasang benda, seperti pin logam, roda, taji atau kancing ke penisnya. Praktik ini masih dilakukan di bagian barat laut Kalimantan. Di Makasar, praktik ini dapat ditekan sehubungan dengan kedatangan Islam tetapi di Toraja Sulawesi (non Islam) kegiatan melukai penis masih dilakukan hingga akhir abad 20. Praktik ini juga ditemukan di Jawa, tetapi melalui Islamisasi dan Kristenisasi, kebiasaan ini hilang pada pertengahan abad 17.

Reformasi Islam pada abad 19 dan awal abad 20 membawa perubahan sosial besar di Indonesia. Sebagai contoh, konservatisme seksual dominan di Sumatera karena gerakan reformasi Islam paling kuat terjadi di sini, sedangkan di Indonesia Timur di mana gerakan reformasi Islam lemah sikap liberal terhadap seksualitas masih berlaku.