Meningkatnya kasus perceraian perceraian yang terjadi saat ini menyebabkan kita agar selalu waspada agar hal itu jauh dari kita. Sebagaimana yang sebelumnya sudah pernah dibahas mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, maka ada baiknya jika kita mengetahui hak-hak suami. Hal ini penting mengingat hak-hak ini mulai diremehkan oleh para istri dewasa ini.
Berikut uraiannya.
Makalah ini dinukil dari kitab "Al-Insyirah fi Adab an-Nikah" karya Syeikh Abu Ishak al-Huwaini al-Atsari. Diterjemahlan secara bebas dan dengan peringkasan pada catatan kaki oleh Retno Ishmah Widiastuti.
Hak-hak seorang suami alas isterinya banyak dan luhur, yang demikian itu karena agungnya hak suami atas isterinya. Rasulullah telah bersabda: Seandainya aku diperbolehkan menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, pasti telah kusuruh seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya. 1
Ketaatan seorang isteri kepada suaminya adalah sebuah kewajiban, jika ia (isteri) membangkang dan terus menerus dalam menyelisihi suami, maka ia akan selalu berada dalam murka Allah hingga sang suami ridha kepadanya.
Dalam hadits Hushain Bin Mihshan, ia berkata bahwa: Bibiku telah bercerita kepadaku seraya berkata: "Aku datang kepada Rasululullah karena sebagian kebutuhan, maka beliau berkata: "Siapa ini, apakah seseorang yang sudah bersuami?" Aku menjawab: "Ya." Beliau berkata: "Bagaimana perlakuanmu kepadanya?" Dia (Bibiku) menjawab: "Aku tidak mengabaikannya (artinya aku tidak mengurangi ketaatan kepadanya). Kecuali yang aku tidak mampu."
Beliau berkata: "Nah, perhatikanlah bagaimana seharusnya engkau kepadanya, karena sesungguhnya ia adalah surga dan nerakamu." 2
Karena perkara tersebut (hak-hak suami, pent) seperti yang telah kami (Abu Ishak al-Huwaini) sebutkan (betapa agung dan pentingnya, pent) maka kami perlu meringkas sebagian hak suami atas isterinya, di antaranya:
1. Hendaknya seorang isteri tidak mengurangi ketaatan kepada suaminya, sedangkan asal ketaatan adalah dalam hal-hal yang ma'ruf (sesuai syar'i).
Maka jika suami menyuruh isterinya untuk melakukan sesuatu yang haram dan yang semisalnya, maka ia (isteri) harus tidak mau taat (tidak boleh taat, pent) menurut ijma'. Yang demikian itu karena sabda Rasul "Tidaklah ketaatan itu kecuali hanya dalam hal-hal yang ma'ruf." 3
Dan juga karena sabda beliau: "Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan taat pada hal yang ia sukai dan ia benci kecuali jika disuruh untuk melakukan kemaksiatan. Maka jika disuruh untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat." 4
Apabila suami menyuruh isterinya untuk meninggalkan sesuatu dari amalan-amalan sunnah seperti misalnya puasa dan lain-lain, maka wajib bagi isteri untuk meninggalkannya (tidak puasa). Jika tidak, maka ia (isteri) berdosa dan puasanya tertolak. Dan sebab yang demikian itu adalah karena ada kalanya suami mempunyai kebutuhan (biologis) kepadanya (isteri), sedang puasanya (isteri) menjadi penghalang. Karena itu wajib bagi isteri untuk minta ijin dulu sebelum melakukannya (amalan-amalan sunnah).
Adapun amalan yang menjadi kewajiban keduanya (suami isteri) maka tidak halal untuk meninggalkannya hingga seekor unta masuk ke lubang jarum, karena sabda Rasul: "Selain puasa Ramadhan, tidak dihalalkan bagi seorang wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan ijinnya (suami)." 5
Begitulah namun aku nasehatkan kepada para suami untuk tidak mempersulit dalam masalah (pemberian ijin) ini, cukuplah hendaknya bagi seorang suami untuk ridha dan menerima apa adanya jika isterinya adalah seorang yang ta'at dan suka beribadah. Maka hendaknya suami tidak menyulitkan pemberian ijin kepada isteri kecuali jika benar-benar ada kebutuhan. Dan kepada Allah-lah kita mohon ditunjukkan kebaikan.
2. Hendaknya ketika suami tidak ada, isteri tidak memasukkan ke rumah suaminya, seseorang yang bukan mahramnya atau seseorang yang tidak disukai suami walaupun ia termasuk mahramnya.
Sabda Rasul, "Janganlah kalian masuk kepada wanita!" Maka berkata seorang sahabat Anshar: "Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang ipar?" Beliau menjawab: "Ipar adalah maut". 6
Bentuk jamak dari (Al-hamwu) adalah (Ahmaa-u), mereka adalah saudara-saudara dari pihak suami dan saudara-saudara dari pihak isteri, tetapi yang dimaksudkan (di sini) adalah saudara-saudara suami. Maka ia (saudara suami) bukan termasuk mahram (bagi isteri).
Namun jika yang dimaksud adalah Bapak suami, maka ia termasuk mahram. Jika demikian halnya, apalagi orang lain yang bukan mahram! (saudara suami saja tidak halal, apalagi orang lain yang jelas-jelas bukan mahram). Hal ini dikatakan oleh al-Baghawy dalam "Syarhus-Sunnah"
Dan juga karena sabdanya, "Dan sesungguhnya kalian (wahai para suami) mempunyai hak atas mereka (para isteri) yaitu hendaknya mereka tidak memasukkan ke rumah kalian seseorang yang tidak kalian sukai, maka jika mereka melakukan hal itu maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka juga punya hak atas kalian yaitu menafkahi mereka dan memberikan mereka pakaian secara ma'ruf." 7
-----------------------------------------------------------------------------------------
Catatan Kaki
1 Hadits shahih dikeluarkan Tirmidzi (4/323-Tuhfah), Ibnu Hibban (1291), Baihaqi (7/291) dari hadits Abu Hurairah. Tirmidzi berkata: "Hadits Hasan".
Hadits ini mempunyai jalan lain dari Abu Hurairah dalam riwayat al-Bazzar (2/178) dengan sanad yang ada kelemahannya. Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Anas. Dikeluarkan oleh Ahmad (3/185), Al-Hafidz Al-Haitsami berkata dalam "Al-Majma" (9/4): "Para rawi-rawinya adalah rawi-rawi yang terdapat dalam kitab shahih selain Hafsh bin Abi Anas, tetapi dia adalah seorang yang tsiqah".
Aku (Abu Ishaq) berkata: Al-Haitsami telah bertasahul (Menganggap enteng) perkara Hafsh, maka sesungguhnya ia (Hafsh) kacau, dan aku tidak tahu apakah rawi mendengar darinya sebelum ia kacau atau tidak. Hanya saja hadits ini hasan dalam syawahidnya.
Disana masih ada riwayat-riwayat lain yang secara umum hadits ini berdasarkan syawahidnya adalah shahih, dapat diterima, demikian secara ringkas, -pent
2 Hadits shahih, dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam "AI-Mushannaf" dan Nasa'i dalam 'Isyratun Nisa' dalam "As-Sunanul-Kubra", Humaidi (335), Thabrani dalam "AI-Ausath" , Hakim (2/189) dan Baihaqi (7/291). AI-Hakim berkata: "Shahih sanadnya" dan disepakati oleh Dzahabi.
3 Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (13/233, Fathul Bari), Muslim (12/226-227 -Nawawi), Abu Dawud (3/40), Nasa'i (7/159-160), Ahmad (1/82,94,124) dan lain-lain dari hadits "Ali Bin Abu Thalib. Dan sungguh aku telah mengtakhrijnya dalam kitab "Badzlul-Ihsan" (4196).
4 Hadits Shahih dikeluarkan Bukhari (13/121-122, Fathul Bari), Muslim (2216 -Muslim) dan lafadnya adalah lafadz Muslim. Dan Abu Dawud (3/ 40-41), Nasa'i (7/160), Tirmidzi (1707), lbnu Majah (2/202) serta Ahmad (2/17, 142) dari hadits Ibnu'Umar, Tirmidzi berkata: "Hadits hasan Shahih".
5 Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (9/293,295 -Fathul Bari), Muslim dan Abu Dawud (7/128 -'Aun), Ibnu Majah (1/535-536), Ad-Darimi (2/12), Tirmidzi (3/495 -Tuhfah), Ahmad (2/316,444,464,476,500), Al-Humaidy (1016), Ibnu Hibban (954,955), Al-Hakim dan AI-Khotib dalam "Tarikh Baghdad (2/383) dari beberapa jalan dari Abu Hurairah. Dan sebagian pentakhrij hadits ini menambahkan sesuatu di dalam matannya. Tirmidzy berkata: "Hasan Shohih" Hakim berkata: "Shohih sanadnya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
6 Hadist shahih, sudah ditakhrij sebelumnya.
7 Hadits Shahih dan hadits diatas merupakan potongan dari hadits Jabir yang panjang dalam haji wada'. Dikeluarkan Muslim (1218), Abu Dawud (1905), Nasa'i (2713), Ibnu Majah (2/257), Ad-Darimi (1/377), Ahmad (5/73) dan lain-lain.
***
Hak-hak Suami (2/3)
Dikutip dari majalah As-Sunnah 05/IV/1420H hal 60 - 62.
Pembahasan selanjutnya mengenai hak-hak seorang suami, maka yang dibahas berikut ini adalah hak agar istri tidak keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya. Apa saja batasan-batasan seorang istri dapat boleh keluar rumah? Kebutuhan-kebutuhan apa yang menyebabkan ia harus keluar kerumah? Simak jawaban beserta dalil-dalil yang kuat mengenai masalah ini.
3. Hendaknya isteri tidak keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya, jika ia berbuat demikian (keluar tanpa ijin) maka ia terus berada dalam kemaksiatan dan ia Iayak untuk mendapat adzab.
Syaikhul Ibnu Taimiyah berkata: "Tidak dihalalkan bagi isteri untuk keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya (suami), dan tidak dihalalkan bagi siapapun untuk mengambilnya (isteri) darinya (suami) dan menahannya dari suaminya, baik keadaan isteri sebagai ibu susu atau bidan atau profesi-profesi lain. Dan apabila ia keluar dari rumah suaminya tanpa seijinnya maka ia telah berbuat nusyuz (durhaka) bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia layak mendapat adzab." 8
Bahkan beliau (Ibnu Taimiyah) berkata: "Jika isteri keluar rumah suami tanpa seijinnya maka tidak ada hak nafkah dan pakaian".
Nabi bersabda yang artinya: "Tidak halal bagi seorang wanita untuk berada di rumah suaminya sedangkan suaminya tidak suka (ridha) dan janganlah ia keluar rumah dalam keadaan suaminya tidak ridha. Janganlah mentaati seorangpun di rumah suaminya (selain suaminya), janganlah ia menjadikan suaminya gusar, janganlah ia menjauhi ranjang suaminya dan janganlah ia merugikan suaminya walaupun ia (suaminya) lebih dhalim darinya (wanita) sampai (si isteri) mencari keridhaan suami. Maka jika suami ridha dan menerimanya, maka itu suatu kenikmatan baginya (wanita). Allah akan menerima udzur-udzurnya dan akan berserilah wajahnya dan ia tidak berdosa, tapi jika suami menolak untuk ridha kepadanya maka sungguh ia telah menyampaikan udzur-udzurnya." 9
Sekalipun demikian diperbolehkan bagi seorang wanita untuk ikut shalat di masjid, karena sabda Rasul, "Jika isteri salah seorang di antara kalian minta ijin untuk ke masjid maka janganlah melarangnya." 10
Dalam hadits di atas ada petunjuk bahwa, keluar (ke masjid) adalah harus dengan ijin suaminya, kalau suami melarangnya, suami tidak berdosa menurut pendapat terpilih dari pendapat para pentahqiq. Dan sungguh al-Baihaqi telah berkata: "Itu adalah pendapat umumnya para utama."
Adapun hadits: "Janganlah kalian larang hamba-hamba perempuan Allah untuk pergi ke masjid." 11
Maka perintah ini tidak menunjukkan wajib, jika seandainya wajib, maka hadits tentang minta ijin tidak akan ada artinya. wallahu a'lam.
Bersamaan dengan diperbolehkannya wanita keluar untuk ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di rumah lebih utama daripada ikut berjamaah. Karena sabda Rasul: "Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama dari shalatnya di kamarnya, shalatnya di bilik khususnya lebih utama dari shalatnya di rumahnya." 12
Diperbolehkan bagi wanita untuk keluar ke pasar dan sebagiannya untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap mempunyai rasa malu yang besar dan harus komitmen dengan pakaian syar'i dan menjaga anggota badan dari melakukan kemungkaran-kemungkaran.
Karena hadits 'Aisyah yang berkata: "Telah keluar Saudah bintu Zam'ah pada suatu malam, maka Umar melihatnya dan mengenalinya, kemudian dia berkata: "Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak tersembunyi dari kami". Maka kembalilah Saudah kepada Nabi, kemudian Saudah menceritakan hal itu kepada Rasulullah, ketika itu beliau berada di rumahku ('Aisyah -red) sedang makan malam dan di tangan beliau ada tulang, maka turunlah wahyu kepada beliau, yang memberikan keringanan terhadap masalah itu, Beliau berkata: "Sungguh Allah mengijinkan kalian (para wanita) untuk keluar memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian." 13
4. Hendaknya istri menjaga harta suaminya, maka ia tidak menggunakannya tanpa ridha suaminya dan tidak membelanjakannya tanpa sepengetahuan suaminya
Karena sabda Rasulullah, "Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatupun dari rumah suaminya kecuali dengan ijin suaminya." Dikatakan: "Wahai Rasulullah, tidak juga makanan?" Rasul berkata: "Itu adalah. harta kita yang paling utama." 14
Beliau juga bersabda: "Jika seorang wanita memberikan sesuatu dari rumah suaminya (dalam keadaan) perasaan suaminya enak (lapang maka baginya (wanita) pahala seperti pahala suaminya, baginya kebaikan sebagaimana yang ia niatkan dan bagi yang memiliki harta (suami) begitu juga (sama-sama mendapat pahala. -pent.)" 15
-----------------------------------------------------------------------------------------
Catatan Kaki
8 Majmu' Fatawa (32/281).
9 Hadits Hasan dikeluarkan Baihaqi dalam "Sunan"nya (7/293) dan Hakim (2/189-190) dari jalan 'Atha bin Abu Muslim al-Khurasany dari Malik bin Yakhamir as-Saksaky dari Mu'adz bin Jabal secara marfu' maka ia menyebutkannya.
Dan 'Atha al-Khurasany banyak wahm-nya ia seorang mudalis dan sungguh ia telah meriwayatkan hadits dengan 'an'anah (dari Fulan, dari Fulan -red). Hakim berkata: Sanadnya shahih. Tetapi Adz-Dzahabi membantahnya dengan perkataan: "Bahkan ia munkar dan sanadnya terputus."
Dan dikeluarkan Thabrani dalam "Mujamnya" dengan sanad yang dikatakan oleh al-Hafidz al-Haitsami dalam "al-Majma'" bahwa: Para perawi salah satu sanadnya orang-orang tsiqah.
Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Ibnu 'Umar Dikeluarkan Ath-Thayalisi (1951) dan dari jalan itu juga dikeluarkan al-Baihaqi (7/292) dan Ibnu 'Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/231) dari jalan Laits bin Abu Sulaim dari 'Atha' dari Ibnu 'Umar dengan sebagian lafadznya. Dan pada riwayatnya:
... Dan hendaknya isteri tidak keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya, maka jika ia berbuat demikian (keluar tanpa ijin) malaikat melaknatnya, baik malaikat kemurkaan ataupun malaikat rahmat hingga ia (isteri) bertobat dan kembali. Dikatakan: "Walaupun suaminya dhalim? " Rasul menjawab: "Walaupun suaminya dhalim".
Baihaqi berkata: "Laits bin Abu Sulaim menyendiri dengan lafadznya". Aku berkata: "Dia (Laits) lemah hafalannya, maka aku berharap haditsnya menjadi syahid yang balk yang menguatkan hadits tersebut. wallahu a'lam
Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Ibnu 'Abbas. Dikeluarkan Bazzar (2/177/1464) dengan sanad yang didalamnya ada Husain bin Qois dan ia dhaif sebagaimana dikatakan al-Haitsami (4/307).
10 Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (2/347 -Fathul Bari), Muslim (442), Abu 'Awanah (2/56,57), Abu Dawud (566), Nasa'i (2/42), Tirmidzi (570), Ibnu Majah (16), ad-Darimi (1/235), Ibnu Hibban (3/486-487), Ahmad (2/7,9), Ibnu Khuzaimah (1677) (1678), Ibnu 'Abdil Barr dalam "Al-jami'" (2/195), Abdul Razzaq dalam "AI-Mushonnaf" (5107,5108,5122), Al-Baihaqi (3/133), Ibnu Hazm dalam "AIMuhalla" (3/130), ath-Thobrany dalam "AI-Kabir" (13350,13471,13472,13565,13570), dan al-Baghawi dalam "Syarhus-Sunnah" (3/439-440) dari beberapa jalan dari Ibnu 'Umar. Aku menyebutkan nya secara terpisah di "Badzlul-Ihsan" (713).
11 Hadits shahih dikeluarkan Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain sebagaimana telah aku tahqiq dalam kitab "AI-Mashdarus-Sabiq".
12 Hadits shohih diriwayatkan Abu Dawud (570), Ibnu Khuzaimah (1685, 1688, 1690), Hakim (1/209), Al-Baihaqi (3/131), Ibnu Hazm dalam "Al-Muhalla" (3/136-137), al-Baghawi dalam "Syarhus-Sunnah" (3/441-442) dari jalan Hamam dari Qatadah dari Mauruq al-'Ajli dari Abu al-Ahwash dari Ibnu Mas'ud secara marfu'. Al-Hakim berkata:
"Shahih dengan syarat Asy-Syaikhani (Bukhari-Muslim) dan sungguh keduanya berhujjah dengan al-Mauruq al-'Ajli"
Dan telah disepakati oleh adz-Dzahabi.
Aku berkata: Akan tetapi Qatadah mudallis dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Ibnu `Umar secara marfu': Janganlah kalian larang isteri-isteri kalian untuk me masjid-masjid dan rumah-rumah mereka adalah lebih baik buat mereka"
Dikeluarkan oleh Abu Dawud (567), Ibnu Khuzaimah (1/92-1684), Hakim (1/209), Baihaqi (3/131), Al-Baghawy dalam "Syarhus-Sunnah" (3/441), Ahmad (2/76-77) dari jalan al-'Awwam bin Hausyab dari Habib bin Abu Tsabit dari Ibnu 'Umar, maka ia menyebutkan haditsnya. Hakim berkata: "Shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim" Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Aku berkata: "Seandainya saja Hubaib bin Abu Tsabit bukan seorang mudallis, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban mensifati demikian."
Dan hadits yang lain adalah dari Ummu Salamah. Dikeluarkan Ahmad (6/391), Ibnu Khuzaimah (1683), al-Hakim (1/209), al-Baihaqi (3/131) dari jalan Darroj Abus-Samhi dari as-Saib budaknya Ummu Salamah secara marfu':
Sebaik-balk masjidnya wanita adalah dalam rumah mereka".
Aku berkata: "Darraj adalah dhaif dan as-Saib budaknya Ummu Salamah tidak diketahui keadaannya. Ibnu Khuzaimah berkata: "Aku tidak mengetahui keadilannya dan cacatnya."
Dan syahid yang lain dari hadits isterinya Abu Hamid as-Sa'idi ia berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu", maka Rasul menjawab:
"Sungguh aku tahu engkau senang shalat bersamaku, tapi shalatmu di rumahmu lebih balk dari shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih balk dari shalatmu di masjidku".
Di sana (yakni dalam kitab "al-Insyirah fi Adab an-Nikah" karya Syeikh Abu Ishak al-Huwaini al-Atsari -red. vbaitullah.or.id) masih ada riwayat-riwayat lain yang berdasarkan syawahidnya shahih, hadits ini secara umum adalah shahih, dapat diterima, demikian ringkasnya. -pent.
13 Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (9/337) dan lafadznya milik Bukhari, (juga dikeluarkan) Muslim dan Ibnu Sa'ad (8/125-126), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (22/25), Ahmad (6/56), al-Baihaqi (7/88).
14 Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud (3565), Tirmidzi (670), Ibnu Majah (2398), Ahmad (5/567), ath-Thoyalisi (1127), Abdul Rozzak dalam "al-Mushonnaf" (16621), Ibnu 'Abdil Barr dalam "at-Tamhid" (1/230), Baihaqi (4/193-194), al-Bahgowy dalam "Syarhus-Sunnah" (6/ 204) dari jalan Ismail bin 'Iyasy dari Syarohbil bin Muslim al-Khoulany dari Abu Umamah al-Bahili secara marfu' maka ia menyebutkan haditsnya.
Masih ada beberapa riwayat hadits ini yang secara umum shahih. -pent.
15 Hadits shahih dikeluarkan Syaikhani, Arba'ah, dan as-Sahmi (1/10/391) dari hadits 'Aisyah, Ahmad dan lain-lain sebagaimana telah kusebutkan di "Badzalul-Ihsan".
***
Hak-hak Suami (3/3)
Dikutip dari majalah As-Sunnah 05/IV/1420H hal 63 - 64.
Simak bahasan terakhir di antara hak-hak suami yang kurang mendapat perhatian istri adalah hak untuk mendapatkan pelayanan, bantuan dari istri, rasa bersyukur dan berterimakasih dari istri terhadap suami yang telah berbuat baik kepadanya. Hal inilah salah satu penyebab sebagian besar dari penghuni neraka adalah wanita. Lalu apa hak-hak suami dan sebab yang lainnya?
5. Hendaknya isteri memberikan pelayanan kepada suami di rumahnya, dan membantunya untuk mendapatkan rasa hidup yang indah, maka sesungguhnya hal itu membantunya (suami) untuk bisa mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran untuk melaksanakan kewajibannya.
Terlebih lagi jika ia (suami) sibuk dengan ilmu. Maka isteri shalihah "bukanlah bagian dari dunia melainkan (isteri shalihah itu) adalah yang menjadikanmu mencurahkan waktu, tenaga dan pikiranmu untuk akhirat", sebagaimana dikatakan ad-Darany, sebagaimana terdapat dalam "al-lhya" (4/699) karangan al-Ghazali. Dan telah lewat hadits yang menguatkan masalah tersebut.
Khidmah (pelayanan) seorang isteri kepada suaminya adalah wajib menurut pendapat yang paling rajih (kuat), pendapat selain itu dhaif, tidak bisa dijadikan hujjah.
Tentang kewajiban isteri memberikan pelayanan kepada suaminya telah dirajihkan guru kami al-Albani dalam "Adabuz-Zifaf" (180-181). Bahwa Khidmah (pelayanan/bakti) yang telah disebutkan, wajib dilakukan secara ma'ruf dalam batas-batas kemampuan isteri. Maka khidmah seorang (yang biasa) tinggal di kampung berbeda dengan (yang biasa) tinggal di kota, dan baktinya seorang yang kuat tidak sama dengan baktinya seorang yang lemah, sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah. 16
Dan jika seorang isteri tidak mampu melakukan sesuatu, maka suami tidak boleh membebani apa yang diluar batas kemampuannya. Sementara jika suami mampu melakukannya, maka hendaknya ia melakukannya, karena hadits 'Aisyah yang berkata: "Bahwa Rasul biasa menjahit pakaiannya sendiri, menambal kasutnya (sandalnya) dan beliau berlaku sebagaimana seorang laki-laki berlaku di rumahnya." 17
Hendaknya isteri bersyukur (berterima kasih) atas segala kebaikan suami kepadanya dan janganlah isteri mengingkari kebaikan suaminya, maka sesungguhnya yang demikian itu akan mendatangkan kebencian dari Allah, karena sabda Rasul, "Allah tidak mau melihat wanita yang tidak tahu berterima kasih kepada suaminya sedang ia (wanita) tidak merasa cukup kepadanya (suaminya)." 18
Dan juga karena sabda Rasul, "Diperlihatkan kepadaku neraka, maka sebagian besar penghuninya adalah para wanita yang kufur. Dikatakan: "Apakah mereka kufur kepada Allah?" Rasul menjawab: "Mereka kufur terhadap suami mereka dan mereka mengingkari kebaikan suami mereka. Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang masa, kemudian ia (wanita tersebut) melihat sesuatu (yang tidak disukainya), ia akan berkata:
"Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan padamu." 19
Hadits ini merupakan peringatan penting bagi para wanita yang beriman kepada Allah dan bagi wanita yang mengharapkan kampung akhirat. Dalam hal ini ada bukti dari hadits lain: "Penghuni surga yang paling sedikit adalah dari kalangan wanita." 20
Maka tidak pantas seorang wanita yang mencari keselamatan kemudian menyelisihi suami kepada yang selain diberikan suami dengan kufur/mengingkari kebaikan suaminya atau banyak mengeluh karena sebab-sebab yang sangat sepele.
Dan wanita mana saja yang menyakiti suaminya akan dilaknat para Bidadari (Wanita-wanita surga yang disediakan sebagai isteri-isteri pria beriman -red). Maka ia (wanita) akan berada di jurang kehancuran jika terus-menerus melakukan perkara yang dilarang itu.
Sesuai dengan sabda Rasulullah, "Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia, kecuali berkata isterinya yang dari bidadari: "Janganlah kau sakiti dia (suami) -Semoga Allah mencelakakan mu- maka tidak lain dia (suami) disisimu hanya seorang asing yang sebentar lagi akan meninggalkanmu menuju kepada kami." 21
Dan masih ada beberapa hak suami selain ini, aku (Abu Ishak al-Huwaini) tidak ingin menyebutkannya lagi khawatir terlalu berlarut-larut dan apa yang telah kami sebutkan telah cukup. Walhamdulillah.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Catatan Kaki
16 Dalam al-Fatawal-Kubra (2/234-235).
17 Hadits shahih dikeluarkan Abdur Razzaq (20492), Ahmad (6/121,167,256,260), Abusy -Syaikh dalam "Akhlaqun-Nabi" (1/1/20), al-Baghawi dalam "Syarhus-Sunnah" (13/242-243) dan lain-lain.
Aku telah menyebutkan mereka dalam kitabku "Al-'Aqdu Adz-Dzahaby" takhrij kitab "Akhlaqun-Nabs" nomor 11.
18 Hadits shahih, dikeluarkan An-Nasa'i dalam "Al-Kubra" (3/168) dari jalan Sarar bin Masyjar dari Sa'id bin Abu 'Arubah dari Qatadah dari Sa'id bin Al-Musayyab dari Abdullah bin 'Amr secara marfu'.
Aku berkata: Sanad hadits ini shahih seandainya tidak ada 'an'anah-nya Qatadah, maka sesungguhnya Sarar bin Masyjar dari kalangan sahabat Sa'id bin 'Arubah yang terdahulu. Hadits ini di-mutaba'ah-kan oleh Abdullah Ibnul Mubarak dari Sa'id dengan lafadz itu.
Masih ada beberapa riwayat yang secara umum shahih, -pent.
19 Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (1/83-2/540-9/298 -Fathul Bari) dan lafadz Bukhari, Muslim (6/212-213 Nawawi), Abu 'Awanah (2/379-380), Malik (1/194-195-Tanwir), Nasa'i (3/146,147,148), Baihaqi (7/294) dari beberapa jalan dari Ibnu 'Abbas.
Juga dikeluarkan Bukhari (1/405-3/325-4/191-51266 Fathul Bari), Muslim (2/67 Nawawi), Nasa'i (3/187), Ibnu Majah (1288), al-Baghawy dalam "Syarhus-Sunnah" (1/36-38), Ahmad dan lain-lain dari hadits Abu Sa'id Al-Khurdy khot. Masih ada beberapa riwayat yang secara umum shahih, demikian untuk ringkasnya, -pent.
20 Hadits shahih dikeluarkan Muslim dan Ahmad (4/327,336,443), Ibrahim bin Thuhman (1/1/127), Ath-Thayalisy (832), Abdur Razzaq (20610), Thabrany dalam "AI-Kabir" (18/111), Hakim (3/602), Abu Nu'aim dalam "AI-Hilyah" (3/85), Khotib dalam "Ath-Tarikh- (5/221-222) dari jalan Abut-Tiyah dari Mathawif bin Abdullah dari 'Imron bin Hushain secara marfu' maka ia menyebutkan haditsnya.
21 Hadits shahih dikeluarkan at-Tirmidzi (4/338-Tuhfah), Ibnu Majah (1/621), Ahmad (5/220) dari jalan Ismail bin'Iyasy dari Buhair bin Sa'ad dari Kholid bin Ma'dan dari Katsir bin Murroh At-Hadhromy dari Mu'adz bin Jabal secara marfu' maka ia menyebutkan haditsnya.
Tirmidzi berkata: "Ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini." Dan riwayat Isma'il bin 'Iyasy dari orang-orang Syam lebih baik. Ismail mempunyai beberapa riwayat munkar dari orang-orang Hijaz dan 'Irak.
Dan dalam 'Illatil Hadits (1/420) Ibnu Abi Hatim. menukil dari Abu Zur'ah, ia berkata: "Mereka tidak melihat hadits ini dari Buhair kecuali Ismail."
Aku katakan: Aku tidak tabu sisi peng-gharib-an Tirmidzi terhadap hadits ini. Dan Isma'il juga meriwayatkan dari orang-orang Syam, maka ia telah benar sebagaimana dikatakan Bukhari dan lain-lain. Sedangkan Buhair ini adalah orang Syam, orang Himsh, maka kalau demikian haditsnya benar.