KAFIR HARBI DAN KAFIR ZIMMI

Dalam pandangan syariat Islam, non muslim itu bisa diklasifikasikan menjadi dua macam. Yaitu kafir harbi (ahlul harb) dan kafir zimmi (ahlu zimmah). Kafir harbi adalah orang-orang kafir yang sedang terlibat pertempuran berdarah dengan muslimin. Darah mereka halal untuk ditumpahkan sebagaimana mereka pun punya hak untuk membunuh muslimin. Hubungan antara ahlul harb dengan muslimin memang hubungan bunuh membunuh di dalam wilayah konflik.

Adapun selain ahlul harb, semua non muslim adalah zimmy atau ahlu zimmah. Kata zimmi berasal dari kata zimmah, yang bermakna aman atau janji. Ahlu zimmah berarti orang kafir yang mendapatkan keamanan dari pihak muslim. Juga dipahami sebagai orang yang telah mendapatkan janji dari umat Islam atas keamanan dirinya.

Dengan demikian, haram hukumnya bagi muslimin untuk mengganggu kafir zimmi, menyakiti, menzalimi atau mengurangi hak-haknya. Apalagi sampai membunuh mereka. Tentu sebuah perbuatan yang telah diharamkan secara mutlak dalam syariat Islam.

Dekat sekali dengan pengertian ahlu zimmah adalah ahlul-aman. Mereka adalah orang kafir yang mendapatkan perlindungan sementara dari umat Islam. Misalnya, mereka berasal dari kalangan kafir harbi, namun meminta izin untuk sementara waktu datang kepada umat Islam. Bedanya dengan ahlu zimmah adalah keamaan yang dijaminkan kepada mereka bersifat sementara dan dalam waktu tertentu saja. Di antara contohnya adalah juru runding dari pihak kafir harbi yang datang ke wilayah muslimin, di mana mereka akan mendapatkan jaminan keamanan atas diri dan hartanya, selama menjadi tamu di kalangan muslimin.

Hak-hak Ahli Zimmah

Di antara hak-hak yang harus didapat oleh ahli zimmah dari umat Islam adalah hal-hal berikut ini:

1. Hak untuk mendapatkan izin tinggal dan menjadi penduduk secara resmi di dalam wilayah hukum Islam.

Di masa lalu seorang ahlu zimmah berhak untuk tetap bertahan di atas tanah yang menjadi miliknya yang sah. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk mengusirnya dari tanahnya itu. Bahkan setingkat gubernur Mesir pun tidak punya hak. Padahal saat itu Gubernur Amr bin Al-Ash sedang melakukan proyek renovasi masjid, lantaran daya tampungnya yang semakin dibutuhkan. Kebetulan, proyek perluasan masjid itu harus mengenai lahan millik seorang ahli zimmah, maka gubernur menyediakan uang pengganti atas tanahnya. Namun di ahli zimmah bertahan dan tidak mau pindah. Akhirnya, dengan kekuasaan sebagai pemerintah, rumahnya digusur dan uangnya diberikan.

Ahli zimmah ini kemudian melapor kepada khalifah Umar ra, atasan langsung gubernur Amar bin Al-Ash. Segera saja Umar ra. memarahi bawahannya dan memerintahkannya untuk mengembalikan rumah dan tanah miliknya. Sebab hak-hak para ahli zimmah memang dijamin oleh umat Islam.

2. Jaminan keamananan atas nyawa mereka dan keluarga, baik dari ancaman orang Islam atau dari ancaman sesama orang kafir.

Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang menzalimi seorang mu'ahid (ahlu zimmah), atau mengurangi haknya, atau membebaninya di atas kemampuannya, atau mengambil darinya sesuatu di luar haknya, maka aku menjadi lawannya di hari kiamat." (HR Abu Daud)

3. Jaminan keamanan atas harta benda yang dimilikinya.

Pernah suatu ketika panglima Abu Ubaidah Ibnul Jarrah mengembalikan uang pajak kepada para ahli zimmah. Hal itu dilakukan lantaran negara merasa tidak mampu melindungi mereka dari serbuan tentara kafir dari negeri lain. Pengembalian pajak kepada rakyat ahli zimmah ini adalah sebuah catatan sejarah yang pertama kali. Sedemikian besar tanggung jawab pemerintah Islam dalam menjamin harta benda ahli zimmah, sehingga ketika negara tidak mampu memberikan kewajibannya, uang mereka pun dikembalikan.

4. Jaminan untuk melaksanakan agamanya di dalam wilayah negeri muslim.

Konsekuensi yang harus dijalankan muslimin dengan ahlu zimmah adalah memberikan kepada mereka jaminan untuk bebas melakukan kegiatan agamanya, sesuai dengan keyakinannya. Dilarang buat muslimin untuk memaksa, menyudutkan atau memerintahkan mereka masuk Islam, kecuali bila atas kesadaran mereka sendiri. Sebab Allah SWT telah mengharamkan pemaksaan untuk masuk agama Islam buat ahli zimmah.

Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah: 256)

Menarik untuk diperhatikan tentang kenyataan sejarah, yaitu tatkala pasukan muslimin mengalahkan negeri kafir dan masuk ke dalamnya, nyaris semua gereja, biara dan tempat ibadah milik penduduknya dibiarkan kokoh berdiri. Tidak ada satu pun yang dirusak apalagi dirobohkan. Bahkan hingga hari ini, di Mesir, Syiria dan negeri muslim lainnya, rumah-rumah ibadah itu masih tetap ada.

Bahkan bila ajaran agama mereka membolehkan minum khamar, tidak hak bagi muslimin untuk melarang mereka melakukannya. Atau makan daging babi, atau makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan. Asalkan dengan syarat tidak dilakukan terang-terangan di hadapan umat Islam.

Berikut adalah sebuah petikan perjanjian yang ditulis para ahli zimmah terhadap pemerintah muslim, "Kami (ahli zimmah) tidak membunyikan lonceng kecuali dengan perlahan di dalam gereja, tidak menonjol-nonjolkan salib, tidak meninggikan suara kita saat sembahyang di dalam gereja, tidak memajang salib dan Al-Kitab di tengah komunitas muslim."

5. Jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Islam tidak mengharamkan umatnya bermuamalat dengan orang non muslim. Bahkan Rasulullah SAW masih saja menggadaikan pakaian perangnya kepada seorang yahudi serta berjual beli dengan mereka. Demikian juga dengan para shahabat, mereka akitf di pasar bersama-sama dengan non muslim dalam mencari rezeki.

6. Jaminan atas keamanan kehormatan dan harga diri mereka, baik yang terkait dengan nama baik, nasab, susila dan lainnya.

7. Jaminan dari berbagai macam ganggungan lainnya, baik yang berasal dari umat Islam atau pun dari orang kafir lainnya.