AQIDAH AHMADIYAH

BAB I
PENDAHULUAN

Kaum Muslimin mulai berkuasa di India ketika Sultan Mahmud Al-Ghaznawi berhasil menaklukan kawasan itu. Dengan penaklukan ini, India diperintah oleh kaum Muslimin. Akan tetapi, toleransi Islam membuat pemerintah Islam membiarkan orang-orang India tetap memeluk agamanya. Sedangkan agama yang mendominasi di India adalah Budha dan Brahmana, hanya saja agama yang kedua lebih banyak pengikutnya. Agama Islam sendiri banyak mempengaruhi aqidah-aqidah orang India yang tidak memeluk Islam, sehingga dalam masyarakat India terdapat orang-orang yang berusaha untuk menggabungkan antara Islam dan agama Hindu.Tanak yang meninggal dunia pada tahun 1938 M mendirikan agama kombinasi antara Islam dan Hindu yang dianut oleh sebagian golongan Sikh di India utara.
Setelah Inggris menduduki India dan menggantikan pemerintahan kaum Muslimin dengan pemerintahan mereka, masuklah kebudayaan Eropa Kristen ke negeri ini. Ketika sebagian bangsa India telah masuk Kristen, banyak diantara warga India yang tidak rela jika Kristen menjadi kelompok ketiga yang jumlahnya mendekati dua kelompok besar sebelumnya, yaitu kaum Muslimin dan kaum Hindu, termasuk di dalamnya golongan sikh. Kebudayaan Eropa berusaha memerangi jiwa orang-orang yang memeluk Islam, sementara dalam diri mereka masih terdapat sisa-sisa Hinduisme.
Inggris yang membawa peradaban Eropa ke negeri ini memilih orang-orang Islam yang terpengaruh oleh kebudayaan mereka dan mendekati mereka. Pemerintahan Inggris mengangkat mereka menjadi penguasa atas nama mereka sebagai seorang Muslim dan mewakili pemeluk Islam di negeri itu. Inilah sebabnya di India ditemukan beberapa kelompok yang menyimpang. Kelompok yang paling menonjol, paling kuat dan paling agresif, sekalipun jumlahnya kecil adalah kelompok Ahmadiyah.
Pendiri kelompok yang berafiliasi keIslaman ini ialah Mirza Ghulam Ahmad Al-Qodiyani yang meninggal dunia pada tanggal 26 Mei tahun 1908. Ia dinisbahkan kepada Qodiyan yang letaknya 60 mil dari Lahore, dan dikebumikan disana. Diatas kuburnya tertulis: "Mirza Ghulam Ahmad yang Dijanjikan". Maksudnya ialah bahwa ia adalah Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu dan dijanjikan untuk menghidupkan syari'at dan diterima kelak pada hari kiamat. Maksudnya, bahwa ia diberi kegembiraan berupa masuk surga.


























BAB II
PEMBAHASAN

AQIDAH AHMADIYAH
DALAM PANDANGAN ISLAM


Ahmadiyah adalah sebuah gerakan Islam yang didirkan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di Qadian, Distrik Gurdaspur Punjab (sekarang termasuk wilayah India) pada tahun (1255 H/1839 M-1326 H/1908 M) di anak benua India pada akhir abad ke-19, tepatnya bulan Maret 1889. Nama Ahmadiyah dinisbahkan oleh pendirinya yaitu Ahmad.
Mirza Ghulam Ahmad adalah anak seorang hakim kolonial Inggris di India, termasuk bangsawan dari keturunan Dinasti Mogul di India. Semasa kecilnya Ahmad mendapat pendidikan agama secara tradisional dari keluarganya. Kemudian Ahmad belajar bahasa Persia dan Arab. Sejak berusia muda Ahmad dikenal suka merenung dan bermeditasi. Pada usia 54 tahun, ia mengaku sering mendapat petunjuk langsung dari Allah SWT. Pengakuan ini membuat murid Ahmad berkeyakinan bahwa dia adalah seorang Mujadid yang berarti "pembaharu" dan bahkan lebih dari itu, yaitu sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih Al-Mau'ud (al-Masih yang dijanjian Tuhan kedatangannya ke muka bumi).
Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan bahwa ia menerima langsung dari Tuhan yang dijanjikan dan agar umat berbai'at kepadanya. Adapun isi bai'atnya sama seperti ajaaraan Islam, namun pada bai'at ini tidak termasuk zakat dan haji, dalam hidupnya ia tidak pernah zakat dan haji dengaan alasan tidak mampu.
Ikrar bai'at yang harus diucapan oleh seorang anggota ialah "persaudaraan dengan Mirzaa Gulam dan dengan konsekwensi, jika anggota meninggal, segala harta kekayaan dikelola oleh Ghulam Ahmad, bentuk persaudaran ini merupakan ajaran tertinggi dikalangan Ahmadiyah.
Para pengikut Ahmadiyah menerima pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai utusan Allah SWT yang bertugas menegakkan ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya. Menurut mereka, ajaran Ahmadiyah adalah ajaran yang lurus. Atas dasar itu, mereka menyebut aliran ini True Islam (Islam yang benar). Sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad (1908), kepemimpinan Ahmadiyah beralih ke tangan Maulwi Nuruddin sampai 1914. Mirza Ghulam Aahmad dipandang sebagai pemimpin pertama Ahmadiyah. Khalifah pengganti atau wakil pertama dalam aliran ini adalah Maulwi Nuruddin. Kemudian ketika Nuruddin wafat pada 1914, kepemimpinan Ahmadiyah dipegang oleh Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad dan ia dipandang sebagai khalifah kedua gerakan ini.
Ahmadiyah, seperti halnya aliran-aliran lain, terpecah menjadi dua kelompok: Ahmadiyah Qadiyan (Jama'at-I Ahmadiyyah Anjuman Isa at-I Islam). Kedua agama ini dinisbahkan kepada pusat kegiatan masing-masing organisasi tersebut. Ahamadiyah Qodiyan berpusat di Qadiyan, India di bawah pimpinan Basiruddin Mahmud, dan kemudian pindah ke Rabwah (Pakistan). Ahmadiyah Lahore, Pakistan di bawah pimpinan Maulwi Muhammad Ali.
Pemicu utama perpecahan kedua kelompok itu adalah pernyataan Basiruddin Mahmud, yang secara tegas menempatkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang Nabi. Pernyataan itu ditolak oleh sebagaian pengikut Ahmadiyah karena mereka menempatkan sebagai Mujadid. Dari keyakinan yang berbeda itu akhirnya Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok Ahmadiyah Qodiyan yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, dan kelompok Lahore yang mengaui Mirza Ghulam Ahmad sebaga pembaharu.
Kenabian Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya ditentang oleh Ahmadiyah Lahore, bahkan ditentang oleh umat Islam secara umum. Atas pandangan inilah kaum yang diluar Ahmadiyah memandang Ahmadiyah Qodiyan sebagai kafir.
Tidak hanya itu yang mendapat tantangan dari umat Islam, Ahmadiyah Qodiyan yang memandang Qodiyan sebagai kota suci ketiga setelah Mekkah dan Madinah.
Paham Ahamdiyah Lahore pada prinsipnya tidak jauh berbeda dari ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Hanya saja terdapat paham dasar kelompok Ahmadiyah yang dipandang berbahaya, sesat, dan menyesatkan. Paham itu ialah pengakuan akan adanya seorang Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Bagi kaum Muslim umumnya, Nabi terakhir ialah Nabi Muhammad SAW, sesudahnya tidak ada lagi Nabi.
Bagi pengikut Ahmadiyah Qodiyan, Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Menurut mereka, kedudukan Mirza Ghulam Ahmad terhadap Nabi Muhammad SAW laksana fungsi kenabian Nabi Isa AS yang dihubungkan dengan Nabi Musa AS. Paham demikian dipandang oleh mayoritas kaum Muslim sebagai paham sesat dan menyesatkan. Bukan saja bertentangan dengan Al-Qur'an, khususnya Surah al-Ahzab ayat 40, yang menyatakan Muhammad SAW sebagai nabi dan Rasul penutup, tetapi juga menyalahi pernyataan Nabi yang mengatakan: لا نبي بعدى "Tidak ada Nabi sesudahku".
Tentang akhir hayat Nabi Isa AS. Menurut Mirza Ghulam Ahmad, ia tidak mati di tiang salib seperti yang diyakini oleh umat kristiani, dan tidak pula "diangkat" ke hadirat Allah SWT, sepert yang diyakini oleh umat Islam pada umumnya. Menurut Ahmadiyah, Nabi Isa memang disalibkan, tetapi tidak sampai mati di tiang salib, ia hanya pingsan. Setelah itu seorang pengikutnya menurunkannya secara diam-dia dari tiang salib, lalu menyembunyikannya dan merawatnya sampai sembuh. Kemudian Nabi Isa meninggalkan Palestina secara diam-diam dan sampai di Kashmir India. Disini Nabi Isa beristri dan berketurunan, salah satu keturunannya ialah Mirza Ghulam Ahmad.
Pandangan Ahamdiyah tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan akhir hayat Nabi Isa ditentang keras oleh kaum Muslimin. Organisasi Islam sedunia, di bawah anjuran Rabithah Alam al-Islami, dalam pertemuan khsusus (6-10 April 1994) yang diadakan untu membahas ajaran Ahmadiyah, merekomendasian agar seluruh negara Islam menekan Ahamdiyah dengan berbagai cara, antara lain menyatakan sekte Ahmadiyah Qodiyan sebagai aliran kafir yang menyesatkan, memutuskan berbai hubungan bisnis dan pemboikotan ekonom, sosial, budaya terhadap mereka, dan menghindarkan mereka dari kemunginan memegang atau menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan. Lebih dari itu diusahakan agar para pengikut Ahmadiyah dilarang menunaikan ibaadah haji ke Mekkah.
Propaganda menentang Ahmadiyah Qodiyan tidak terbatas pada beberapa seruan tersebut tetapi juga dilakukan dengan cara-cara lain baik lisan maupun tulisan. Baik Ahmadiyah Qodiyan maupun Ahmadiyah Lahore, dewasa ini berpusat di Pakistan. Keduanya berupaya keras untuk mendakwahkan ajaran-ajaran yang mereka anut.
Lambat laun Ahmadiyah mendapat pengikut di berbagai negara di Inggris, Jerman, dan di Indonesia. Ahmadiyah Qadiani masuk ke Indonesia pada tahun 1925, atau pada abad kedua puluh, dibawa oleh Rahmat Ali, ahli dakwah Ahmadiyah. Mula-mula ia tinggal di Tapaktuan (Aceh), kemudian di Padang hingga tahun 1930, dan akhirnya di Jakarta. Ajarannya banyak menimbulkan kesenjangan sosial dalam umat Islam. Salah satu serangan yang paling keras bagi Ahmad Ali yaitu datang dari Ahmad Hasan, tokoh pembaharu Islam dari Bandung.
Mereka berdebat secara terbuka pada tahun 1933 di Bandung, dan tahun 1934 di Jakarta, mengenai beberapa ayat Al-Qur'an, terutama surat Ali-Imran ayat 55 yang menjadi dasar kepercayaan Ahmadiyah tentang Yesus. Dakwahnya tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi (teerutama Makassar dan Gorontalo). Ajaran-ajaran Ahmadiyah, juga disebarluaskan melalui penerbitan buku-buku berbahasa Indonesia seperti, Nabi isa AS dengan salib (1938).
AL-Qadiyaniyah itu tidak memiliki hubungan apapun dalam Islam, tetapi mereka hanya menipu orang banyak, dengan bersembunyi dibelakang nama Islam
Aqidah mereka (Al-Qadiyaniah) bernggapaan bahwa seseorang diluar mereka tidak akan dishalatkan dan tidak dimakamkaan di maqbaroh kaum Muslimin, seperti ungkapan Ghulam Ahmad yaang berbunyi "orang yang tidak percaya padaku maka ia tidak beriman kepada Allah dan Rasulnya". Dan kaum Muslimin yang tidak memeluk Al-Qadiyaniyah berarti dia adalah kafir.
Pandangan Al-Qadiyaniyah yang bertentangan dengan kaum Muslimin antara lain:
1. Semua kaum Muslim yaang tdak masuk Al-Qadiyaniyah dimasukan kedalam neraka jahanam, karena orang yang tidak masuk ke dalam gaolongan mereka disebut kapir.
2. Orang Al-Qadiyaaniyah tdaa boleh shalat dbelakang orang Muslim karena orang Muslim dianggap najis.
3. Larangan meminta apaapun bagi kaum Muslim untuk orang-orang Al-Qadiyaniyah.
4. Al-Qadiyaniyaah tidak menikahkan dan tidak membolehan menikah dengan wanita Muslim, disebabkan mereka hanya boleh menikah dengan orang Al-Qadiyaniyah sendiri (orang India dan orang Sikh), seperti yang diungkapkaan oleh ulama Al-Qadiyaniyah yang di ambil dari sebuah hadits:"Tidakah berzina seorang pezina ketka a melakukan zina dalam keadaan Muslim (mu'min).
5. Tidak menshalatkan Qadaniyah yang pernah menshalatkan kaum Muslim karena ia dianggap sudah syirik tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Rasul Allah.

BAB III
PENUTUP



A. Kesimpulan
Jema'at Ahmadiyah hanya menjadikan Islam sebagai kedok untuk menyebarkan paham-paham agama mereka. Pada hakikatnyaa agama yang mereka bawa bertolak belakang dengan ajaran Islam. Apalagi terhadap Allah Mirza Ghulam Ahmad berkeyakinan bahwa Allah sendiri melakukan sholat, tidur, bersetubuh, dan melahirkan. Demikian pula terhadap Rasul-Nya, ia menghina para Rasul Allah, ia beranggapan bahwa dirinya itu mulia dari semua Nabi dan utusan Allah.
Mulai dari munculnya jama'ah ini telah menimbulkan kontroversi dalam Islam, sehingga menyebabkan rusaknya aqidah Islam. Oleh karena itu, perlu adanya rekonstruksi aqidah Islamiyah yang berlndaskan kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah.
B. Referensi
 Dr.Zahir Ilahi Ihsan, Mengapa Ahmadiyah dilarang?, Darul Falah, Jakarta 2006.
 Prof. Dr.Abu Zahroh Muhammad Imam, Aliraan Politik dan Aqidah Dalam Islam, Logos Publishing House, Jakarta 1996.
 Abbas, Sirajuddin I'tiqad ahli Sunnag wal Jama'ah Pustaka Tarbiyah Jakarta 2004
 A. Qomar Ijaz Ahmadiyah di dalam literatur Barat Modern Majalah Sinar Islam Jakarta 1984 Hal: 11
 Am Ubaidiyah Mirza Ghulam Ahmad Nabi palsu dari India Jakarta 1982
 Amidhan Ahmadiyah Berada di luar Hukum Islam Majalah Forum No. 14 31 Juli 2005 Hal:16
 Syamsudin Din, Ahmadiyah Boleh berdiri di Indonesia tapi jangan membawa nama dan ajaran Islam
 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
 Majalah Al Muslimun, Iqbal Versus Ahmadiyah tahun 1983 Hal: 48