BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah sekilas penjelasan tentang “peradaban, fikih, dan pendidikan” yang terkait dengan Islam.
C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah untuk menggali potensi subtansi dari penjelasan tentang peradaban, fiqhi, dan pendidikan yang terkait dalam permasalahan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Peradaban, Fikih dan Pendidikan
Jauh sebelum itu sejarah Islam juga memerlihatkan fenomena yang mungkin sama. Dalam waktu yang singkat mayarakat Islam berkembang mencapai kemajuan yang menakjubkan. Sepanjang enam ampai delapan abad lamanya sejak Nabi Muhammad menyampaikan risalah, Islam memberi inspirasi kepada umatnya mencapai kemajuan dalam membangun peradaban dunia. Sebuah peradaban yang memberi pengaruh besar terhadap renaisanse yang melahirkan revolusi industri di Inggris sekitar abad 18. Revolusi industri itu yang menjadi cikal bakal kebangkitan teknologi abad modern ini, terutama dalam bidang IT.
Sekitar abad 12-13 orang-orang Jerman, Perancis dan Inggris masih memakai baju dari kulit domba, di sana hanya ada jalan setapak yang berdebu, mereka makan langsung dari binatang yang diburu, tak ada sajian pesta makan dengan piring dan garpu dengan meja besar dan lampu penerang. Kondisi berbeda dengan yang ada di Spanyol, Mesir, Baghdad atau Isfahan. Di sana sudah ada landskap kota, jalan tertata baik dengan lampu penerang di malam hari, pertanian dengan irigasi teratur, ada rumah penginapan (hotel), pemandian umum. Makanan disajikan dengan lauk yang merangsang, ada buah, ada piring, garpu dan meja kursi tertata rapi. Orang yang datang memakai pakaian wool bertenun dan sutera halus buatan Cina.
Ketika bangsa-bangsa Eropa (Amerika belum dikenal) masih berperadaban primitif dan nomaden, ilmuan muslim sudah menulis ribuan buku. Jalal Al-Din Al-Suyuti dan Abu Hamid Al-Ghazali (abad 12), sudah menulis ratusan buku. Ibn Taymiyah (abad 13) menulis lebih lima ratus judul buku. Salah satu judul buku Al-Majmu’ tediri atas 36 jilid tebal. Pada abad 15 Ibn Khaldun menulis buku babon bidang sejarah, sosial dan politik dengan kata pengantar teoretik diberi judul Muqaddimah. Belum lagi penulis bidang sains dan filsafat sepanjang abad 10-14 seperti ‘Umar Khayyam, Ibn Rusyd, Al-Biruni atau Ibn Sina yang menghasilkan ribuan judul buku. Buku Ibn Sina القانون في الطب bahkan masih dipakai sebagai buku wajib mahasiswa kedokteran di Eropa sampai abad 19.
Yang menakjubkan adalah temuan angka Arab 1-9 yang tersusun dalam desimal puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya, oleh Abu Musa Al-Kawarizmi pada abad 10. Namanya menjadi bahasa Latin Algorithma. Tak bisa dibayangkan kalau dunia sekarang masih memakai angka Romawi yang tak bisa dijumlah, dikali, dibagi. Tak ada simbol angka minus dan nol untuk melambangkan sesuatu yang tak ada. Jika dunia tetap memakai angka Romawi tak bakal ada semua temuan teknologi modern sekarang. Ilmuwan Barat modern mengakui sumbangan Islam terhadap peradaban dunia modern yang mereka capai. Sebab semua temuan itu dibangun dengan dasar matematika yang ditemukan Al-Khawarizmi.
Seorang ilmuwan Jepang meneliti sistem irigasi pertanian zaman Muwahhidun. Pada zaman itu Salah Al-Din Al-Ayyubi memimpin 200.000 pasukan untuk membebaskan Palestina dan menjadikan Palestina wilayah damai bagi tiga penganut agama. Tanpa kemajuan ekonomi, politik dan militer yang dibangun dari basis pertanian yang maju, rasanya mustahil pengerahan pasukan sebesar itu dari Afrika Utara menuju Palestina dengan kemenangan yang menakjubkan.Dari pengalaman pertempuran dengan pasukan Muslim di Palestina dalam Perang Salib selama 300 tahun, tentara Nasrani Eropa membawa pengalaman baru. Mereka mengenal parfum, bumbu masak, etika menghidangkan makanan, mode pakaian, al-ruz kemudian berubah menjadi rice, al-sukkar menjadi sugar, sabun menjadi soap, selain ribuan buku karya sarjana muslim yang dibawa pulang dan masih banyak lagi.
Sistem perdagangan dan keuangan pun peradaban Islam memberi sumbangan penting. Sistem pos, treveller cheque bahkan perbankan sudah dipraktekkan pedagang muslim sejak abad 11. Pasukan Napoleon mengambil Al-Majallat Al-Ahkam Al-‘Adaliya dari Turki Ottoman menjadi Code Pena. Selanjutnya ketika Perancis menjajah Belanda undang-undang itu di praktekkan di Belanda. Ketika Belanda menjajah Nusantara aturan hukum itu diadopsi sebagai Hukum Pidana dan Perdata.Tetapi semua itu tinggal kenangan. Sejak abad 16-17 peradaban Islam mengalami kemerosotan. Lebih-lebih abad 18-19 ketika terjadi kolonialisasi bangsa Eropa terhadap negeri-negeri muslim. Tak muncul lagi karya orisinal. Zaman itu merupakan zaman syarah dan hasyiyah. Tak ada buku asli. Semua karya dan temuan sarjana muslim yang menginspirasi kemajuan bangsa Eropa, ditinggal begitu saja. Pusat-pusat pendidikan dan keilmuan Islam tak pernah mengembangkannya bahkan karya ilmiah mereka menjadi “barang rongsokan” yang dianggap merusak agama. Sepanjang empat abad antara abad 17 sampai abad 20, pendidikan di negeri-negeri muslim hampir tak memberi sumbangan penting bagi kemajuan pradabannya sendiri.
Petanyaan yang muncul ialah mengapa dahulu kemajuan peradaban manusia memiliki momentum dan relasi dengan kemajuan Islam, tetapi sekarang justru kemiskinan, keterpurukan, rendahnya tingkat pendidikan, masyarakat yang korup, konflik yang menimpa negeri-negeri muslim? Pertanyaan itulah kemudian menjadi tantangan. Di masa lalu agama memberi sumbangan besar terbangunnya sistem budaya yang mampu menyangga pengembangan peradaban. Mengapa sekarang tidak? Perlu dikembangkan pemahaman agama (Aswaja) yang lebih konprehensif (شاملة) meliputi semua aspek budaya dan sejarah. Pemahaman terhadap suatu realitas tergantung bagimana cara memandangnya. Cara pandang yang parsial (متجيز) akan menghasilkan pemahaman yang parsial pula. Dalam lieratur (المادة المطبوعة) pesantren Aswaja dipahami dengan pendekatan kalam yang rasional spekulatif atau fikih yang bersifat bayani, suatu pemahaman yang besandar pada penguraian makna teks.
Tentu saja pemahaman seperti itu tak menghasilkan pemahaman realitas yang utuh atau komprehensif, sebab pemahaman makna teks adalah salah satu produk budaya sebagaimana bahasa yang dimaknainya. Oleh karena itu memahami makna teks juga harus menggunakan instrumen lain untuk memahami sebuah realitas yang kompleks. Memahami teks ما أنا عليه اليوم وأصحابي yang dipakai sebagai dasar pembenaran paham Aswaja, tak sekadar bagaimana Nabi dan para sahabat menempatkan teks Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama pemahaman agama. Tetapi juga bagaimana impilkasinya (تضمين) dalam realitas sejarah dan peradaban, ekonomi, politik dan sosial seperti yang dikemukakan di atas.
Jadi pemahaman makna Aswaja bukan sekadar makna ritual bagaimana menjamin keselamatan di akhirat, tetapi yang lebih penting bagaimana pemaknaannya memberikan jaminan bagi kesejahteraan dan kemajuan peradaban umat manusia. Allah menurunkan agama bukan untuk kepentingan Allah sendiri, tetapi untuk kepentingan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat لصلاحهم في الدنيا والآخرة. Para ahli astronomi modern membuat kesimpulan menakjubkan bahwa sistem tata semesta ini diciptakan menunggu kehadiran manusia. Maka memaknai suatu “ideologi” atau pemahaman agama adalah upaya menggali nilai-nilai agama sehingga agama itu dapat membangun budaya dan peradaban yang membawa kemajuan umat manusia.
Mungkin perlu direnungkan kembali konstruksi (بناء) fikih dalam konteks pendidikan berupa beban(تكليف) dalam wujud konstruksi hukum al-ahkām al-khamsah: al-wujūb, al-tahriīm, al-mandūb, al-ibāhah dan al-karāhah. Model konstruksi demikian dapat menciptakan pandangan seolah-olah pemberi beban, dalam hal ini Allah, mendapat keuntungan jika taklīf itu dilaksanakan, sementara yang menerima beban (mukallaf) melaksanakan tugas-tugasnya memenuhi kewjibannya “hanya sekadar” memenuhi kewajiban. Padahal taklīf itu sepenuhnya demi keuntungan atau kemaslahatan mukallaf sendiri. Konsep taklīf harus ditekankan sebagai kebutuhan manusia sendiri seperti tampak dalam konsep al-maslahah Al-Ghazali yang terbagi dalam tiga kategori: al-darūrī, al-hājī dan al-tahsīnī. Karena itu seluruh muatan taklīf harus dipandang sebagai kebutuhan yang memberi implikasi pada perilaku manusia yang membawa maslahah. Selanjutnya maslahah itu mewujud dalam budaya yang dapat menyangga peradaban yang maju.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Karena itu pengajaran taharah harus juga menekankan mengenai pentingnya air bagi kehidupan umat manusia dan akibat-akibatnya. Mengapa sanitasi rumah tangga menyalurkan semua buangan air dan limbah tersalur ke sungai? Akibatnya sungai tercemar dan pesisir laut tempat muara sungai juga tercemar. Ikan yang ditangkap juga tercemar limbah. Akibatnya jelas mata rantai mengalami kerusakan (mafsadah) yang menggurita.
SARAN
Maka ketika jawaban ditemukan dan aplikasi jawaban itu memberi makna penting perubahan sesuai dengan ide atau konsep, maka itulah Aswaja. Dengan demikian, pendidkan Aswaja, dalam hal ini keseluruhan makna dan nilai agama, harus mampu memberi solusi tehadap problem sosial, ekonomi, budaya dan peradaban yang dihadapi umat. Untuk itu diperlukan kerja besar membangun tradisi membaca yang kuat. Seluruh pemangku kepentingan pendidikan, khususnya para guru,
DAFTAR PUSTAKA
Haida, Ali, HM, Dr, “Ahlussunnah wal Jamaah NU”, Jawa Timur: Forum Kajian Islam, 2009.
Al-‘arusi, aziz, abdul, ir, dr, prof, “menuju islam yang benar”. Semarang: dina utama, al-hai’ah al misyhriyyah al-ammahli al-kitab,1992. cet, ke-1