BAI' AL MURABAHAH
Pengertian
ADALAH jual beli barang pda harga asal dengan tembahan keuntungan yanng disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syari’ah murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan.
Dalam bai' al murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan. Dalam al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi ini dengan istilah al-amir bi al-syira . Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada sesorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa keuntungan atau tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut beada di tangan pemesan
Dasar Hukum
• QS. Al-Baqarah [2] : 275
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
• Hadits Riwayat Ibn Majah
Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhan (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah)
OPERASIONAL MURABAHAH
Produk murabahah adalah pembiayaan perbankan syariah dengan memakai prinsip jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, atau sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan kesepakatan bersama.
Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif. Persamaannya antara lain, pembiayaan yang diberikan adalah barang (motor, mobil, dll.)/bukan uang, dan pembayarannya secara cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai dengan fatwa DSN MUI, karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa perbedaan utama antara jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumen.
Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai tingkat bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak boleh berubah. Jadi, sejak awal perjanjian sampai dengan masa pelunasan, bank syariah tidak diperbolehkankan mengubah harga yang telah diperjanjikan/ diakadkan. Pada lembaga keuangan konvensional, dimungkinkan membuat sebuah klausul untuk meningkatkan bunga seperti karena akibat ketergantungan pada situasi pasar, krisis BBM, dan krisis nilai tukar. Keunggulan dari sebuah produk jual beli murabahah adalah memberikan kepastian dan kenyamanan kepada nasabah terhadap angsuran pembiayaan.
Perbedaan kedua, akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam. Dalam hal ini belum tentu ada barangnya. Pada pembiayaan konsumen, nasabah diberi uang yang akan dipergunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan. Dalam praktiknya, sering kali terjadi penyalahgunaan pemakaian.
Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah, utang nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga perolehan/pembelian barang ditambah keuntungan yang disepakati. Apabila nasabah mengangsur utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar pembayaran angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan. Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah adalah sebesar pokok kredit ditambah dengan bunga. Bila dibayar secara angsuran, utang nasabah akan berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam pembiayaan konsumen dikenal adanya utang pokok dan hutang bunga.
Apabila kita sebagai nasabah suatu bank syariah ingin mengajukan pembiayaan murabahah untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
• Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank syariah.
• Jika bank syariah menerima permohonan tersebut, bank harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. Bank membeli barang keperluan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Dalam hal ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Dimungkinkan bagi bank memberikan kuasa pembelian barang kepada nasabah untuk membeli barang yang dibutuhkannya. Jika demikian, akad jual beli (murabahah) harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
• Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual sebesar harga beli plus margin/keuntungannya. Nasabah harus membelinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat. Kemudian, kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
• Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad/perjanjian tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah
• Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
Dalam jual beli tersebut bank dibolehkan meminta nasabah untuk menyediakan jaminan dan atau membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Hal ini untuk menghindari cedera janji dari nasabah.
Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. Apabila nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
Nasabah dapat menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, dan tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
Ilustrasi Perhitungan Cicilan ”Murabahah”
Dalam akad murabahah, apabila bank syariah mendapat diskon pemebelian dari pemasok, harga perolehan/pembelian adalah harga setelah didiskon. Diskon adalah hak nasabah. Namun, bila diskon dari pemasok diberikan setelah akad murabahah, pembagian diskon antara bank syariah dengan nasabah didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum pada akad.
Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, bank syariah boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad, yang besarnya diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan bank syariah
Syarat-syarat:
• Bank Islam memberitahu biaya modal kepada nasabah.
• Kontrak pertama harus sah.
• Kontrak harus bebas dari riba.
• Bank Islam harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi sesudah pembelian dan harus membuka semua hal yang berhubungan dengan cacat.
• Bank Islam harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
• Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan:
a.melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
b.kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan.
c.membatalkan kontrak.
PERKEMBANGAN BAI' AL-MURABAHAH DI INDONESIA
Di Indonesia pun demikian. Data statistik yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) mengenai laporan perkembangan perbankan syariah tahun 2004 menunjukkan sekitar 66,3 persen pembiayaan syariah menggunakan akad jual-beli. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maulana Ibrahim Kendati mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 71,5 persen, hal itu bukan berarti peminat pembiayaan murabahah menurun. Hal ini justru menunjukkan, bahwa produk perbankan syariah lainnya juga sangat diminati.
Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin mengungkapkan, masih besarnya peminat perbankan syariah produk pembiayaan murabahah menunjukkan bahwa produk dengan akad jual beli dengan sistem bagi hasil ini diminati oleh nasabah perbankan syariah karena dinilai memiliki resiko yang paling kecil. Sebab pembiayaan dengan sistem murabahah ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas dan keamanannya juga jelas. Karena itu, wajar kalau produk pembiayaan murabahah ini masih banyak diminati.
Begitu besarnya peminat produk murabahah ini, bukan berarti produk perbankan syariah lainnya dianggap tidak menguntungkan. Menurut Kyai Ma'ruf, hal itu disebabkan produk pertama yang ditawarkan oleh perbankan syariah adalah produk pembiayaan jual-beli. Dan hal ini dilakukan untuk mengetahui dan mengenal karakteristik calon nasabah perbankan syariah. Produk lainnya seperti mudharabah (jenis pembiayaan bagi hasil dengan kesepakatan antara bank sebagai penyedia modal dan nasabah sebagai pengelola) dan musyarakah (kerja sama) juga makin banyak peminatnya.
Data statistik Bank Indonesia (BI) menunjukan bahwa kedua produk perbankan syariah ini -- (musyarakah dan mudharabah) -- meningkat cukup tajam. Pertumbuhan pembiayaan berbasis bagi hasil yang terdiri atas pembiayaan mudharabah dan musyarakah ternyata melebihi pembiayaan berbasis jual-beli (murabahah) sehingga per November 2004 pangsa pasar pembiayaan bagi hasil tersebut mencapai 28,3 persen dibandingkan posisi tahun 2003 yang baru mencapai 19,9 persen.
Beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi peningkatan pangsa pembiayaan bagi hasil tersebut adalah meningkatnya kerja sama bank syariah dengan lembaga keuangan non-bank seperti koperasi dan pegadaian, serta adanya proyek-proyek jangka pendek infrastruktur dan public service (pelayanan umum).
Maulana menyebutkan, secara umum pembiayaan perbankan syariah berjalan sangat bagus. Hal itu bisa dilihat dari tingkat Non-Peforming Fiancing (NPF) (pembiayaan bermasalah). NPF perbankan syariah per November 2004 hanya 2,8 persen, atau turun dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 3,4 persen. Dengan pertumbuhan pembiayaan baru yang lebih tinggi dibandingkan penurunan kualitas sebagian aset, penurunan NPF tersebut mencerminkan kualitas pengelolaan perbankan syariah cukup baik.
asnoer/badilag (dari berbagai sumber al : Cara Mudah Memahami Akad-Akad Syariah : Edukasi Profesional Syari'ah, http://www.banksyariahmandiri.co.id, http://www.republika.co.id)
AQAD
Secara etimologi akad berarti :
1. ikatan, yaitu : ikatan antara ujung sesuatu (dua perkara), baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara abastrak, dari satu atau dua sisi. Atau juga mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain, sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi satu benda ;
2. Sambungan, yaitu sambungan yang memegang kedua tepi itu dan mengikatnya ;
3. Janji, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah [5] : 1”…hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janjimu
Sedangkan menurut terminologi, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan khusus.
Pengertian umum
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya memmbutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, sewa-men’yewa, perwakilan, dan gadai.
Pengertian khusus
Pengertian akad secara khusus adalah perikatan (yang ditetap¬knn dengan) ijab dan qabul berdasarkan ketentuan syara yang brrdampak pad a objeknya.
Contoh, ijab adalah pernyataan seorang penjual, "Saya telah menjual barang ini kepadamu" atau sejenisnya. Contoh qabul: "Saya belibarangmu" atau sejenisnya. Dengan demikian, ijab qabul adalah adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih.
Berdasarkan pengertiaan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimakdus dengan akad adalah suatu yang sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masing-masing
PEMBENTUKAN AKAD
RUKUN AQAD
Mengenai rukun aqad terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun aqad adalah ijab dan qabul. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa aqad memiliki tiga rukun, yaitu :
1. Aqid (orang yang beraqad) terkadang masing-masing pihak terdiri dari seorang saja, dan kadang kala dari beberapa orang;
2. Ma’qud Alaih (sesuatu yang diaqadkan); ma’qud ‘alaih atau mahallul aqdi adalah benda yang menjadi objek aqad, seperti benda-benda yang dijual dalam aqad ba’i (jual beli) yang dihibahkan dalam aqad hibah, yang digadai dalam akad rahn, dan lain-lain.
3. Shighat al-aqd, yaitu ijab dan qabul ucapan yang menunjukan kehendak kedua belah pihak.
UNSUR-UNSUR AQAD
unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu:
1. sighat al-‘aqd, yaitu sesuatu yang disandarkan dari dua belah yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan. Shighat tersebut disebut ijab dan qabul
Metode shighat atau ijab qabul dalam akad dapat diLakukan dengan berapa cara:
1. Akad dengan lafad (ucapan); akad dengan lafad yang dipakai untuk ijab dan qabul harus jelas pengertiannya, harus bersesuaian antara ijab dan qabul, dan shighat ijab dan qabul harus sungguh-sungguh atau tidak diucapkan secara ragu-ragu. Karenanya, apabila shighat al- 'aqd tidak menunjukkan kesungguhan akad, maka menjadi tidak sah. Atas dasar inilah para fuqaha berpendapat bahwa berjanji menjual belum merupakan akad penjualan, dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya.
2. Akad dengan tulisan; dibolehkan akad dengan tuLisan, baik bagi mereka yang mampu berbicara maupun tidak, dengan •syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak dan dapat difahami oleh kedua belah pihak. Sebab tulisanha sebagaimana dalam qaidah fiqhiyah, "tulisan bagaikan ucapan". Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dengan tulisan adalah sah jika kedua belah pihak yang berakad tidak hadir, namun jika yang akad hadir, tidak diperkenankan menggunakan tulisan, sebab tulisan tidak dibutuhkan.
3. Akad dengan perbuatan. Dalam akad terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi cukup dengan perbuatan yang menunjukkan saling meridhai. Hal ini sangat umum terjadi pada zaman sekarang. Dalam menanggapi persoalan ini, para ulama berbeda pendapat.
o Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan akad dengan perbuatan terhadap barang-barang yang sudah sangat diketahui secara umum oleh manusia. Jika belum diketahui secara umum, akad seperti itu dianggap batal.
o Mazhab Maliki membolehkan akad dengan perbuatan jika jelas menunjukkan kerelaan, baik barang ter-sebut diketahui secara umum maupun tidak, kecuali dalam pernikahan.
o Ulama Syafi'iyah, Syiah, dan Dzahiriyah berpendapat bahwa akad dengan perbuatan tidak dibenarkan karena tidak ada petunjuk yang kuat terhadap akad tersebut. Selain itu, keridhaan adalah sesuatu yang samar, yang tidak dapat diketahui kecuali dengan ucapan.
Namun para ulama sepakat bahwa akad dalam per¬nikahan hanya dibolehkan menggunakan ucapan. Begitu pula dalam talak dan ruju' diutamakan dengan tulisan dibandingkan dengan isyarat apabila tidak mampu berbicara
1. 4. Akad dengan isyarat. Bagi orang yang mampu berbicara tidak dibenarkan akad dengan isyarat, melainkan harus dengan menggunakan lisan, tulisan atau perbuatan. Adapun bagi mereka yang tidak dapat berbicara, boleh menggunakan isyarat, tetapi jika mampu menulis dan bagus, maka dianjurkan atau lebih baik dengan tulisan.
1. Al- 'Aqid(pelaku), yaitu orang yang melakukan akad. Keberadaannya adalah sangat penting sebab tictak dapat dikata-kan akad jika tidak ada 'aqid. Begitu pula tidak akan terjadi ijab dan qabul tanpa adanya 'aqid.
Secara umum 'aqid disyaratkan harus ahli dan memiliki kemampuan untuk melakukan akad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika ia menjadi wakil.
Ulama Malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan 'aqid harus berakal, yakni sudah mumayyiz, anak yang agak besar yang membicarakannya dan jawaban yang dilontarkan dapat dipahami, serta berumur minimal 7 tahun. Oleh karena itu, dipandang tidak sah akad yang dilakukan oleh anak kecil yang belum mumawiz,orang gila dan lain-lain.
Adapun ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mensyaratkan 'aqid harus baligh, berakal, mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, ulama Hanabilah membolehkan seorang anak kecil membeli barang sederhana atas izin walinya.
1. AI Ma'qud' Alaih (Mahal al- 'Aqad), yaitu objek akad atau benda yang dijadikan akad, bentuknya tampak dan membekas. Barang tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan. Berupa benda bukan harta, seperti akad pernikahan; dan dapat pula dalam bentuk suatu kemanfaatan, seperti dalam masalah upah mengupah, dan lain-lain.
Dalam Islam, tidak semua barang dapat dijadikan objek akad, misalnya minuman keras. Oleh karena itu, para fuqaha menetapkan beberapa syarat dalam objek akad berikut ini :
1. Ma'qud 'alaih (barang) harus ada ketika akad. Maka tidak sah akad seperti menjual anak kambing yang masih dalam kandungan induknya atau membeli sesuatu yang masih dalam tanah.
2. Ma'qud 'alaih harus masyru' (sesuai dengan ketentuan syara), maka tidak sah akad atas barang yang diharamkan syara, seperti bangkai, minuman keras/khamar, dan lain¬lain.
3. Ma'qud 'alaih dapat diberikan waktu akad. Tidak seperti jual beli burung yang masih di udara, harta yang diwakaf¬kan, dan lain-lain, maka tidak dipandang terjadi akad.
4. Ma'qud 'alaih harus diketahui oleh kedua pihak yang akad.
5. Ma'qud 'alaih harus suci, yaitu tidak najis dan mutanajis (terkena najis), seperti anjing, bangkai, darah, dan lain¬lain. Namun ulama Hanafiyah tidak menetapkan syarat ini.
Syarat-Syarat Akad
Ada beberapa syarat yang harus terdapat dalam akad, namun dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, syarat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala macam akad.
Kedua, syarat khusus, yaitu syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain. Syarat-syarat ini biasa juga disebut syarat tambahan (syarat idhafiyah) yang harus ada di samping syarat- syarat umum, seperti adanya saksi, untuk terjadinya nikah, tidak boleh adanya ta'liq
dalam aqad muawadha dan aqad tamlik, seperti jual beli dan hibah . Ini merupakan syarat-syarat idhafiyah.
Sedangkan syarat-syarat yang harus terdapat dalam segala macam akad adalah:
1. Ahliyatul 'aqidaini (kedua pihak yang melakukan akad cakap bertindak atau ahli).
2. Qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek akad dapat menerima hukuman).
3. Al-Wilyatus syar'iyah fi maudhu'il aqdi (akad itu diizinkan oleh syara dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si 'aqid sendiri).
4. Alla yakunal 'aqdu au madhu'uhu mamnu'an binashshin syar'iyin (janganlah akad itu yang dilarang syara) seperti bai' munabadzah.
5. Kaunul 'aqdi mufidan (akad itu memberikan faedah).
6. Baqaul ijabi shalihan ila mauqu'il qabul (ijab berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul).
7. Ittihadu majalisil 'aqdi (bertemu di majelis akad). Maka ijab menjadi batal apabila berpisah salah seorang dari yang lain dan belum terjadi qabul
Kedudukan Aqad dalam Fiqh Muamalah
Kedudukan aqad dalam fiqh muamalah adalah penting dintjau dari fungsi dan pengaruhnya. Sehingga suatu muamalah (transaksi) dapat dikatakan sah jika akad yang dilaksakan itu terpenuhi syarat dan rukunnya. Pengaruh-pengaruh umum yang berlaku pada semua akad transaksi muamalah terbagi dua yaitu :
Pertama lafaz (langsung terlaksana), yaitu akad yang dilakukan langsung menghasilkan sejak mulai akad. Dengan terjadinya akad, maka terjadilah apa yang dimaksud. Seperti, akad jual beli (ba’i), dimana akad ini memindahkan barang yang dijual kepada yang pembeli dan alat pembayarannya berpindah ke tangan penjual.
Kedua, Ilzam. Ini menimbulkan kewajiban (iltizam) bagi salah ;atu 'aqid kepada 'aqid yang lain atau objek masing-masing dan ;yarat-syarat yang disepakati untuk berakad dan ikatan ini tidak :iapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa disetujui oleh pihak lain fang bersangkutan. Disebut juga luzum. Contoh iltizam adalah (ewajiban menyerahkan barang yang telah dijual, membayar harga txirang sesuai kesepakatan, tidak menjual barang titipan (wadi'ah), dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat kapan akad tidak memiliki sifat luzum. Menurut Mazhab Syafi'i dan Hanbali sifat luzum dikenai setelah majelis akad bubar. Sebelum mereka berpisah, maka masing-masing 'aqid boleh mencabut akadnya atau disebut dengan istilah khiyar. Pendapat ini berdasarkan hadis, "penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah."
Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa akad dipandang sah dan berlaku serta tidak dapat diganggu gugat lagi setelah terjadinya ijab qabul.
Dalam 'adamulluzum ini ada sembilan transaksi muamalah yang terbagi tiga kelompok, yaitu:
Akad-akad yang tidak harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.
1. 'Ida (penitipan). Muwaddi&;#39; (yang menyimpan barang) maupun wadi' (yang bertugas memelihara barang) berhak membatalkan akad 'ida secara sepihak.
2. I'arah, yaitu mendapat manfaat dari barang yang dipinjam secara cuma- cuma. Musta'ir (yang memin¬jam) boleh tidak jadi mengambil manfaat dari barang yang dipinjamkan atau mengembalikannya kepada mu'ir (yang meminjamkan) dan mu'ir boleh meminta kembali kapan saja dia mau.
3. Syirkah dan mudharabah, atau perkongsian antara dua. pihak dengan ketentuan bahwa modal dipikul oleh salah seorang, sedangkan usaha dilakukan oleh seseorang lagi. Maka masing-masing pihak dapat membatalkan akadnya dan meminta perhitungan
Akad-akad yang hukum asalnya tidak lazim (luzum), tetapi bisa menjadi lazim dalam sebagian keadaan.
1. Wakalah, yaitu menyerahkan sesuatu kepada sese-or¬ang untuk mengelolanya. Penerima kuasa (wakil) dapat menarik diri dari tugasnya dan muwakkil (yang memberi kuasa) dapat menarik kuasa wakil kapan saja. Namun bila wakalah ini berkaitan dengan pihak ketiga atau orang lain, maka akad tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan orang ketiga tersebut.
2. Tahkim, yaitu kedua pihak mengadukan perkaranya kepada seseorang yang dipercayai untuk menjadi hakim antara keduanya dalam gugatan-gugatannya (selain dari hakim resmi). Mudda'i; dan mudda'i 'alaih dapat membatalkan akad tahkim dan membatalkan penunjukannya sebelum ia memberikan putusan. Tapi setelah ia memberikan putusan, maka berbagai pihak tidak dapat membatalkannya lagi.
3. Washiyat. Washi (yang memberi wasiat) dapat mem¬batalkan dan mencabut kembali wasiatnya sebelum ia meninggal. Sesudah ia meninggal, para ahli warisnya tidak dapat mencabut wasiat itu.
4. Hibah. Hibah dapat dicabut kembali selama tidak ada halangan, yaitu al-mauhubu laha (yang menerima hibah), suami (zuaj) dari yang memberi hibah, atau kerabatnya yang mahram.
Akad akad yang hukum asalnya luzum, tetapi pada sifatnya ada sesuatu yang membawa kepada tidak luzum dalam suasana- suasana tertentu.
o AIqdu Ijarah. Hukum asalnya adalah luzum. Namun jika muj'ir (yang menyewa) kedatangan uzur di kemudian hari, maka dapatlah membatalkan atau tidak meneruskan akad. Namun ia tetap harus mengganti kerugian-kerugian pihak kedua yang timbul akibat pembatalan tersebut. Seperti menyewa ahli masak untuk walimah, tetapi karena ada udzur dan tidak jadi mengadakan walimah, maka ia harus mengganti kerugian si ahli masak seperti bahan-bahan keperluan yang telah dibelinya.
o 'Aqad Muzara'ah, yaitu berkongsi memanfaatkan/ menanami tanah yang dimiliki satu pihak dan pihak lain yang lagi berusaha. Maka bila bibit telah ditanam, muzara'ah menjadi lazim tidak dapat dibatalkan lagi.
Pembatalan dalam akad-akad yang ghaira lazimah ini tidak memiliki daya surut. Maka pencabutan kuasa tidak merusak apa yang telah dilakukan sebelumnya. Penarikan kembali hibah tidaklah mengharuskan si mauhub 'alih menyerahkan hasil-hasil yang diperoleh dari hadiah tersebut.
Dalam tataran operasional akad-akad syari’ah tersebut memiliki standar-standar istilah yang dideduksikan dari Al- Qur’an dan Al-Sunnah, yakni :
• Bai’ al-murabahah;
• Bai’ al-salam;
• Bai’ al-Istishna;
• Al-ijarah;
• Al-Musyarakah;
• Al-Kafalah;
• Al-Wakalah;
• Hiwalah;
• Dhaman;
• Rahn;
asnoer/badilag (sumber : Cara Mudah Memahami Akad-Akad Syariah : Edukasi Profesional Syari'ah