Tinjauan Fikih Terhadap:
Keabsahan Perjanjian Tidak Tertulis Menurut KUH Perdata
Abstrak:
Sebuah perjanjian sudah selayaknya dicatat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang melakukan perjanjian bahkan jika perlu disertakan tanda tangan para saksi. Hal ini perlu sebagai salah satu alat bukti terjadinya perikatan dan sekaligus mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakan isi perjanjian. Namun dalam keseharian, kita mendapati bahwa perjanjian apa pun yang kita lakukan, khususnya perjanjian jual beli, tidak pernah atau amat jarang ditulis meski sekedar dalam bentuk nota sekalipun.
Tulisan ini berawal dari ide sederhana bahwa pada dasarnya kita memerlukan kepastian hukum dalam bertindak khususnya ketika melakukan perikatan. Namun, di sisi lain muncul pertanyaan dalam diri kita ”masa beli rokok di warung depan rumah pakai ditulis-tulis segala.” Oleh karena itu, tulisan ini ingin memberikan kepastian hukum atas tindakan kita sehari-hari dalam melakukan jual beli, atau dengan kata lain, ingin menjelaskan tentang sah atau tidaknya tindakan kita itu dalam kaca mata hukum baik Hukum Perdata Indonesia yang nota bene produk Barat dan tentunya sah atau tidak menurut Fikih. Sehingga ketika kita membeli -dengan tanpa menulis jual beli itu- kue, permen, atau rokok, kita sadar bahwa jual beli itu sah karena memang sah secara hukum, bukan sah karena kita menganggapnya sebagai hal kecil, tak berharga, lagi sepele.
A. Pendahuluan
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib di antara para anggota masyarakat itu. Demikian diungkapkan oleh Wiryono Prodjodikoro.[1]
Hukum perdata dipercaya untuk mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat. Hukum perdata menciptakan kepastian hukum melalui aturan-aturan umum yang dapat dituntut penegakannya di muka hakim perdata dan mengandung sanksi-sanksi untuk memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang menderita kerugian.
Selain itu, hukum perdata juga menyediakan kesempatan untuk mengatur kepentingan-kepentingan pribadi dengan sebebas-bebasnya, yaitu agar masyarakat dengan prakarsa sendiri dapat memanfaatkan sarana dan prasarana yang telah disediakan untuk mempertahankan haknya serta menjalankan hak dan wewenangnya untuk mendapatkan berbagai hal sesuai kepentingan dan tujuannya, termasuk dalam membuat suatu perikatan dengan melakukan perjanjian.
Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata.[2] Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, dan perjanjian pinjam meminjam.
Dalam kegiatan ekonomi modern baik berupa transaksi dalam jumlah besar maupun kecil selalu menyertakan bukti tertulis terjadinya transaksi. Bahkan di lembaga-lambaga ekonomi profesional telah menyediakan berbagai jenis formulir perjanjian yang mereka layankan kepada para nasabahnya. Hal ini tentunya dilakukan dengan tujuan memperlancar jalannya perjanjian dan sebagai bukti telah terjadinya perjanjian itu sendiri sehingga di kemudian hari tidak timbul permasalahan dan keberatan dari salah satu pihak tentang perjanjian yang telah dilakukan.
Hal ini berbeda adanya dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga ekonomi dengan skala kecil. Perjanjian yang terjadi baik berupa jual beli dan lain-lain didasarkan hanya pada kesepakatan tanpa dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis. Mungkin bagi mereka kebiasaan seperti ini justru memudahkan dan tidak merepotkan dari pada harus menyediakan formulir tertentu untuk mencatat perjanjian. Sebagaimana yang terjadi pada para pedagang kaki lima di pasar-pasar dan di kampung-kampung.. Praktek seperti ini jelas rawan terhadap terjadinya penyelewengan dari salah satu pihak. Dan ketika hal ini terjadi maka salah satu pihak akan merasa dirugikan karena kesulitan untuk melakukan penuntutan terhadap pihak yang wanprestasi karena ketiadaan bukti tertulis.
Tulisan ini berusaha memaparkan berbagai argumen keabsahan perjanjian tidak tertulis menurut KUH Perdata. Kemudian argumen itu akan ditinjau secara fikhiyah berkaitan dengan kekurangan dan kelebihannya sekaligus tinjauan fikih ini menetapkan sah tidaknya perjanjian tidak tertulis dalam perspektif fikih (hukum Islam). Dalam tulisan ini tidak akan dibahas mengenai kemungkinan timbulnya kerugian akibat perjanjian tidak tertulis dan bagaimana menanggulanginya. Demikian pula tidak akan dibahas sebab-sebab sosiologis terjadinya perjanjian tidak tertulis ini, begitu pula mengenai proses terjadinya. Hal ini akan dibahas dalam kesempatan lain.
B. Pembahasan
A. Keabsahan Perjanjian Tidak Tertulis Menurut KUH Perdata
Pembahasan tentang keabsahan perjanjian tidak tertulis erat sekali kaitannya dengan pembahasan tentang hukum perjanjian itu sendiri. Oleh karena itu pembahasan kedua hal itu dilakukan secara beriringan dan bersamaan. Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan. Beberapa prinsip inilah yang menentukan sah tidaknya suatu perjanjian dan dengan demikian berimplikasi pada keabsahan perjanjian tidak tertulis.
a. Sistem Terbuka Dalam Hukum Perjanjian
KUH Perdata mempunyai dua sistem, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup adalah bahwa segala macam hak atas kebendaan adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengatur mengenai hak-hak kebendaan itu bersifat memaksa, sebagaimana ditetapkan pada Buku II KUH Perdata. Sedangkan sistem terbuka adalah bahwa setiap orang atau sekelompok orang boleh membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Adapun pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian bersifat pelengkap dari perjanjian tersebut, sehingga dimungkinkan untuk tidak menggunakan pasal-pasal KUH Perdata.
Dalam KUH Perdata ditentukan pula persetujuan bernama atau khusus yang diatur dalam bab V sampai XVIII. Adapun persetujuan tidak bernama tidak diatur secara khusus, namun pada kedua bentuk ini berlaku ketentuan-ketentuan bab I, II, dan IV buku III KUH Perdata.
Sistem terbuka yang mengandung kebebasan membuat suatu perjanjian dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Pasal ini menunjukkan kepada setiap orang untuk melakukan perjanjian apa saja. Dengan menekankan pada kata “semua” menunjukkan bahwa semua orang atau kelompok orang diperbolehkan untuk membuat perjanjian yang berisi apa saja dan berupa apa saja dan perjanjian tersebut mengikat yang membuatnya seperti suatu undang-undang.[3]
Sistem terbuka dalam hukum perjanjian adalah suatu keluwesan, tidak kaku, serta memberi kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat. Perjanjian yang diatur dalam undang-undang hanyalah perjanjian yang sudah terkenal seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat, timbul bentuk-bentuk baru dalam perjanjian yang pengaturannya menuntut inovasi tersendiri seperti perjanjian sewa beli yang merupakan percampuran antara perjanjian jual beli dan sewa menyewa. Hal ini bisa terjadi mungkin karena pembeli tidak mampu membayar harga barang sekaligus, tetapi hanya mampu membayar dengan mengangsur dalam jangka waktu tertentu. Tentunya dengan perjanjian yang disepakati bersama. namun hak milik atas benda tersebut baru berpindah kepada si pembeli apabila angsurannya telah lunas.
Pasal-pasal dalam undang-undang perjanjian berlaku apabila dalam membuat perjanjian itu tidak dibentuk suatu peraturan perjanjian baru. Dengan demikian yang berlaku adalah pasal-pasal dalam undang-undang. Jika dalam perjanjian itu dibentuk suatu peraturan baru mengenai perjanjian itu maka yang berlaku adalah peraturan yang telah dibuat bersama itu. Biasanya peraturan yang dibuat tersebut berupa akte, baik akte autentik maupun tidak atau berupa anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART).
Menurut hukum perjanjian, jika terjadi jual beli barang, maka barang yang diperjualbelikan itu harus diserahkan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian jual beli itu ditutup. Ini sesuai dengan pasal 1477 KUH Perdata yang berbunyi: “Penyerahan harus terjadi di tempat di mana barang terjual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak diadakan persetujuan lain”.
Dari bunyi pasal 1477 di atas dapat disimpulkan bahwa para pihak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri tempat penyerahan barang, tidak harus di tempat barang itu berada saat penjualan terjadi. Boleh saja penyerahan barang dilakukan di tempat lain seperti di rumah, di gunung dan lain-lain. Asalkan dalam perjanjian jual beli telah disepakati di mana akan menyerahkan barang yang diperjualbelikan itu.
Sistem terbuka ini juga berpengaruh pada masalah tanggung jawab penjual terhadap pembeli sebagaimana tertuang dalam pasal 1491 KUH Perdata yang berbunyi:
Penanggungan yang menjadi tanggung jawab si penjual terhadap si pembeli adalah untuk menjamin dua hal yaitu pertama, penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram terhadap adanya cacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa sehingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya.
Pasal ini menunjukkan keterikatan terhadap undang-undang hukum perjanjian. Namun, pada pasal lain menunjukkan adanya kebebasan bagi si penjual untuk tidak bertanggung jawab atas benda yang diperjualbelikan. Sebagaimana bunyi pasal 1493 KUH Perdata:
Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang. Bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan persetujuan-persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan beban penanggungan sesuatu apapun.
Begitu juga perjanjian yang melibatkan pihak ketiga, di mana pihak ketiga tidak boleh merugikan maupun menguntungkan sesuai dengan pasal 1340 ayat 2, bahwa persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, dan pihak ketiga tidak dapat mendapat manfaat karenanya. Namun demikian undang-undang pun menetapkan ketentuan yang memungkinkan pihak ketiga mendapatkan sesuatu dari persetujuan itu, seperti bunyi pasal 1317 KUH Perdata disebutkan:
Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat janji yang seperti itu.
Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apa bila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakan.
Benang merah yang dapat ditarik dari pembahasan tentang sistem terbuka yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia ini adalah bahwa undang-undang tidak mengikat secara kaku akan tetapi memperbolehkan kepada seluruh subyek hukum untuk secara bebas mencapai dan mempertahankan kepentingannya dengan membuat suatu perjanjian yang ketentuannya tidak mesti terikat kepada undang-undang.
Undang-undang juga tidak mengatur apakah suatu perjanjian harus ditulis dan segenap ketentuannya harus dituangkan dalam sebuah akte autentik maupun tidak. Oleh karena itu, perjanjian tidak tertulis adalah sah secara hukum, Dan secara adat, hal ini pulalah yang banyak terjadi di masyarakat.
b. Asas Konsensualisme dan Kepribadian Dalam Hukum Perjanjian
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Berbeda dengan perjanjian bersegi satu, tidak perlu adanya kata sepakat kedua belah pihak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan.[4] Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme.
Asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.[5] Dalam KUH Perdata pasal 1320 disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang meliputi: “(1) Sepakat mereka mengikat dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; (3) Suatu hal tertentu; (4) Suatu sebab yang halal”. Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif.
Syarat pertama dari pasal di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi persyaratan formil.
Persyaratan sepakat merupakan persyaratan bagi subyek hukum. Dalam hukum perjanjian dikenal dengan para pihak sebagai subyek hukum perjanjian. Ada dua subyek hukum perjanjian, yaitu: (1) Seorang manusia (persoon)walinya atau badan hukum (recht persoon) yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu, dan (2) seorang manusia atau badan hukum yang mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban.[6]
Sebagai subyek dalam hukum perjanjian mempunyai syarat-syarat yaitu dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau diperbatasi dalam melakukan perbuatan hukum yang sah seperti pailit.[7] Mengenai syarat-syarat tersebut telah ditentukan dalam undang-undang.
Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian.[8] Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga. Perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga sebagaimana yang dapat disimpulkan dari pasal 1316 KUH Perdata.
Dengan demikian meskipun disebutkan yang terikat dalam perjanjian hanya pribadi yang melakukan perjanjian, namun berdasar kesepakatan bisa saja menyangkut pribadi di luar yang melakukan perjanjian tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1339 KUH Perdata: "Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat pihak-pihak yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang".
Sesuatu yang urgen untuk ditekankan dalam pembahasan ini adalah bahwa menurut pasal 1320, syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat (asas konsensualisme). Dengan adanya kata sepakat maka seketika itu perjanjian telah terjadi, tanpa perlu adanya penulisan terlebih dahulu terhadap perjanjian tersebut. Adapun penulisan perjanjian hanya sekedar syarat formil dari perjanjian dan tidak mempengaruhi esensi perjanjian dan esensi dari terjadinya perjanjian itu sendiri, di samping –tentunya- adanya subyek hukum perjanjian yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian (asas kepribadian), dan adanya causa dalam perjanjian.
c. Causa Dalam Hukum Perjanjian
keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik, atau dalam hukum perjanjian dikenal dengan istilah itikad baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.[9]
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu.[10] Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah sebagaimana yang tersebut dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Yang dimaksud dengan causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan.
Antara itikad baik dan causa tidak dapat dipisahkan karena causa merupakan wujud dari itikad baik. Dalam pasal 1337 KUH Perdata disebutkan: “Suatu sebab adalah yang terlarang apa bila dilarang oleh undang-undang, atau apa bila melawan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”.
Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda. Suatu daerah tertentu menganggap suatu perbuatan bertentangan dengan kesusilaan, sedangkan daerah lain mengatakan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Bahkan bisa jadi kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah sesuai dengan kesusilaan tetapi bertentangan dengan undang-undang. Dalam keadaan seperti ini harus diperhatikan secara seksama falsafah hidup dan keyakinan yang berkembang di masyarakat sehingga bisa ditentukan sebuah isi perjanjian itu halal atau tidak. Begitu pula sulit untuk menentukan apakah causa perjanjian bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak.
Perjanjian tidak tertulis jika ditinjau dari perundangan yang berlaku di Indonesia jelas bukanlah tindakan terlarang sebagaimana dijelaskan di atas. Demikian pula jika dilihat dari perikehidupan masyarakat, Perjanjian tidak tertulis sudah menjadi adat kebiasaan dan karena itu jamak dilakukan sehari-hari. Dengan kata lain perjanjian tidak tertulis tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian tidak tertulis adalah suatu kebiasaan yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Perjanjian tersebut sah berdasarkan undang-undang yang berlaku yaitu berdasarkan adanya sistem terbuka yang membolehkan siapa saja membuat perjanjian dalam bentuk apa saja. Perjanjian bentuk ini juga telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, dan dengan demikian perjanjian ini tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, seperti biasa terjadi baik antara pedagang dengan pedagang maupun dengan pembeli dan dilakukan atas dasar rasa saling percaya
B. Tinjauan Fikih Terhadap Keabsahan Perjanjian Tidak Tertulis Menurut KUH Perdata
a. Sistem Terbuka dalam Hukum Islam
Ayat-ayat Alquran yang mengandung dasar hukum, baik mengenai format ritual maupun mengenai hidup kemasyarakatan disebut ayat ahkam. Ayat ahkam mengenai format ritual menjadi dasar pijakan dalam melaksanakan ritual ibadah khusus (mahdlah) seperti shalat, zakat, puasa, haji. Sedangkan ayat ahkam mengenai hidup kemasyarakatan menjadi dasar bagi hukum Islam yang dipakai untuk mengontrol dan menkonstruk masyarakat dalam Islam.
Dari sekitar 3630 ayat yang terkandung dalam Al-Quran, ayat ahkam relatif hanya sedikit jumlahnya.[11] Abdul Wahhab Khalaf merinci ayat-ayat ahkam tersebut sebgai berikut:[12]
• Ayat-ayat mengenai ibadat shalat, zakat, puasa, haji dll. 140
• Ayat-ayat mengenai hidup kekeluargaan dan warisan 70
• Ayat-ayat mengenai perekonomian dan berbagai transaksi 70
• Ayat-ayat mengenai kriminalitas 30
• Ayat-ayat mengenai hubungan antara agama 25
• Ayat-ayat mengenai pengadilan 13
• Ayat-ayat mengenai hubungan kaya dan miskin 10
• Ayat-ayat mengenai kenegaraan 10
Jumlah 368 ayat
Jumlah total ayat ahkam (368 ayat) ini hanya 5,8% dari seluruh ayat al-Quran, dengan rincian 2,3% merupakan ayat ahkam yang mengatur ibadah khusus, dan 3,5% mengatur kehidupan bermasyarakat (muamalat).[13]
Dari rincian di atas dapat diketahui bahwa ayat Alquran yang mengatur tentang hukum, khususnya hukum dalam bermuamalat, dan lebih khusus lagi hukum melakukan perikatan dan perjanjian ekonomi (sekitar tujuh puluh ayat saja) amat sedikit dibanding jumlah keseluruhan ayat Alquran. Terbatasnya ayat yang mengatur masalah ini telah memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk berkreasi dan berinovasi dalam mencapai keinginannya. Hal ini ditambah lagi dengan berbagai pernyataan Rasulullah yang membebaskan umat Islam untuk melakukan berbagai kegiatan mu’amalat selagi itu baik dan benar. Seperti ungkapan Rasulullah antum a'lamu bi umuri dunyakum dan lain-lain.
Hal ini mengilhami para ulama ushul fikih untuk menetapkan kaidah yang berbunyi Al- ashlu fi al-mu’amalat al-ibahah hatta yadulla al-dalil ala al-tahrim (semua kegiatan kemasyarakatan/mua'malat itu boleh, baru tidak diperbolehkan jika ada larangan). Dengan demikian dapat disimpulkan pula bahwa jauh pada masa lalu, sebelum manusia modern memformulasikan hukum mereka, Alquran telah menetapkan adanya sistem terbuka dalam hukum Islam. Atas dasar ini pula perjanjian tidak tertulis mendapatkan legitimasinya dalam teori hukum Islam.
b. Universalitas Hukum Islam Vis a Vis Hukum Perdata Barat
Sebagaimana biasa diungkapkan oleh para pakar, bahwa perbedaan mencolok antara Fikih dengan hukum perdata produk barat –dalam hal ini termasuk KUH Perdata- adalah terletak pada dimensi vertikal fikih yang tidak dimiliki oleh hukum perdata produk barat. Hal ini pun kentara sekali ketika membahas asas-asas dalam hukum perjanjian sebagaimana ditunjukkan dalam uraian di bawah ini.
Secara garis besar Alquran membolehkan untuk mendapatkan dan memakan segala sesuatu yang ada di muka bumi. Keumuman ayat ini dibatasi oleh ayat lain yang menyatakan kebolehannya hanya memakan sesuatu yang bersifat halalan thayyiban (halal lagi baik). Pengertian thayyib mengacu pada zat atau materi, sedang pengertian halal mengacu pada cara mendapatkannya. Dalam surat Albaqarah ayat 188 dijelaskan bahwa Allah melarang memakan harta orang lain secara bathil. Dengan kata lain yang halal adalah yang tidak bathil.
Tentang bentuk usaha yang tidak bathil dapat ditemukan jawabannya dalam surat Ali Imran ayat 29, yaitu mendapatkan harta orang lain secara "Taradhin" atau suka sama suka/rela sama rela. Dengan demikian taradhin menjadi prinsip dasar mu'amalat dalam hukum Islam.
Ketika membicarakan hukum perjanjian dalam KUH Perdata kita temukan bahwa terdapat empat syarat sahnya perjanjian sebagaimana terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu “(1) Sepakat mereka mengikat dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; (3) Suatu hal tertentu; (4) Suatu sebab yang halal”.
Jelas sekali terdapat perbedaan prinsipil antara hukum Islam dengan hukum perdata barat ketika membahas causa perjanjian (syarat obyektif), di mana KUH Perdata menyebutkan "suatu hal tertentu" dan "suatu sebab yang halal". KUH Perdata hanya mencantumkan dimensi halal saja (syarat ke-4), sedangkan dimensi Thayyib terabaikan atau minimal tersamarkan (syarat ke-3). Dengan demikian, dalam konteks perjanjian jual beli, barang yang diperjanjikan bisa berupa apa saja termasuk hal-hal yang terlarang, khoba'its, fahsya', dan bahkan membahayakan. Dalam hukum Islam, dimensi thayyib ini sangat ditekankan sehingga Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa keharaman bahkan hukuman (had/ta'zir) berkaitan dengan khamr –misalnya- berlaku atas orang yang menkonsumsinya, memproduksinya, dan orang yang memperjualbelikannya. Demikian pula hukum yang ditetapkan berkaitan dengan pemanfaatan babi dan lain-lain. Bahkan hukuman ini bisa lebih luas lagi mencakup orang yang mengedarkan, ikut mengantar, dan bahkan terhadap orang yang hanya menyaksikan transaksinya. Jadi dalam perspektif hukum Islam perjanjian jual beli khamr harus batal demi hukum karena ada satu syarat yang tidak terpenuhi -yaitu suatu hal tertentu yang "thayyib"- baik perjanjiannya itu tertulis maupun tidak tertulis. Adapun jika causa dalam perjanjian telah memenuhi syarat maka perjanjiannya dengan demikian adalah sah baik perjanjian itu tertulis maupun tidak tertulis.
Begitu juga ketika membahas tentang asas konsesualisme yang mengabsahkan perjanjian tidak tertulis, bahwa syarat utama dalam hukum perjanjian adalah adanya kesepakatan antara kedua pihak yang bertransaksi. Jika ditinjau lebih jauh, dalam kesepakatan tertentu mungkin menyimpan efek-efek yang tidak mengenakkan salah satu pihak. Bisa jadi salah satu pihak terpaksa menyepakati perjanjian karena tidak punya pilihan lain. Seperti perjanjian utang piutang dengan bunga tertentu baik secara modern (di bank konvensional) atau secara tradisional (para rentenir di pasar-pasar atau di kampung). Dengan kata lain sepakat belum tentu sama suka dan sama rela. Hal ini luput dari perhatian KUH Perdata. Berbeda dengan hukum Islam yang bersandar pada prinsip taradhin, Hukum Islam jauh ke dalam menyelami hasrat yang ada di hati manusia karena memang "rela" itu berada di lubuk hati dan karenanya lahir dari hati. Dengan prinsip ini manusia terbebas dari menjadi korban riba atau lebih parah lagi menjadikan orang lain sebagai korban riba, demi mengeruk riba.
Karena rela itu berada di hati sehingga tidak bisa diketahui orang lain, sedangkan hukum didasarkan kepada sesuatu yang nyata dan dapat dipersaksikan, maka sebagai sandaran hukum ('illat) perlu ditentukan mazhinnahnya yaitu sesuatu yang nyata dan dapat dipersaksikan yang menjadi indikasi adanya rela tersebut. Untuk itu lah para ulama terdahulu menetapkan adanya akad berupa ijab qabul. Satu hal menarik perlu dicatat bahwa dalam perkembangannya, ijab qabul secara lisan ini dianggap tidak praktis bahkan dapat menghalangi kelancaran transaksi. Dalam keadaan seperti ini, disederhanakanlah bentuk akad dari melakukan ijab qabul secara lisan dirubah menjadi lebih singkat cukup dengan saling mengunjukkan atau yang disebut dengan "muwathah".[14] Dengan demikian perjanjian tidak tertulis jelas diperbolehkan dalam hukum Islam tidak saja dengan lisan bahkan cukup dengan memberikan isyarat, seketika itu telah terjadi perjanjian.
c. Al- 'Adatu Muhakkamah
Kaidah di atas dapat diterjemahkan "'Adat/tradisi itu menjadi pertimbangan hukum". Kaidah tersebut didasarkan pada hadis yang diriwayatkan imam Ahmad yang artinya: "Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai sesuatu yang hidup lagi baik maka yang demikian di sisi Allah adalah baik".
Para ulama menyamakan arti 'adat dengan 'urf. Hanya saja kata 'adat yang berarti sesuatu yang berulang lebih bersifat netral. Bisa berarti positif bisa pula negatif, yang penting jika susuatu itu berlangsung atau dilakukan berulang-ulang maka ia adalah adat. Berbeda dengan 'urf yang satu akar kata dengan kata ma'ruf yang berarti kebajikan, maka 'urf memiliki konotasi positif. Dengan kata lain 'urf adalah adat/tradisi yang "pasti" positif.
Secara umum 'adat atau 'urf ini diamalkan oleh semua ulama fikih terutama di kalangan madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Hanafiyah biasa menggunakan istihsan al- 'urf (istihsan yang menyandar pada 'urf). 'Urf mereka dahulukan daripada qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum (mentakhsish umum nash). Ulama Malikiyah menjadikan tradisi Ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari pada hadis ahad. Berkaitan dengan 'urf ini, ulama Syafi'iyah menetapkan sebuah kaidah: "Setiap yang datang dengannya syara' secara mutlaq, dan tidak ada ukurannya dalam syara' maupun dalam bahasa, maka dikembalikanlah kepada 'urf".
Para ulama yang mengamalkan 'urf dalam istinbath hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima 'urf tersebut, yaitu:
1. 'Adat atau 'urf itu bernilai mashlahat dan dapat diterima akal sehat
2. 'Adat atau 'urf itu berlaku umum dan merata atau minimal berlaku pada sebagian besar orang-orang dalam lingkungan adat tersebut.
3. 'Urf yang dijadikan sandaran penetapan hukum itu sudah ada pada saat itu, bukan 'urf yang muncul kemudian.
4. 'Urf tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara' yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.[15]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi jual beli barang yang enteng (tidak mahal) seperti transaksi yang biasa terjadi di pasar tradisional atau di warung-warung, baik secara lisan maupun hanya dengan menunjukkan barang disertai dengan pembayaran antara penjual dan pembeli adalah sah dan tidak menyalahi aturan hukum akad jual beli.
Surat al-Baqarah ayat 282
Surat Albaqarah ayat 282 adalah ayat terpanjang dalam Alquran yang berisi tentang aturan bertransaksi terutama utang piutang, karenanya sebagian orang menyebut ayat ini sebagai ayat mudayanat (sebagaimana orang lazim menyebut surat Ali Imran ayat 104 sebagai ayat Muhammadiyah).
Secara garis besar dapat dijabarkan ayat ini berisi perintah kepada orang beriman untuk melakukan penulisan perjanjian utang piutang baik dalam jumlah besar maupun kecil. Penulisan ini penting mengingat perjanjian utang piutang pasti melibatkan waktu jatuh tempo. Adapun yang bertugas menulis adalah seseorang yang memang berprofesi sebagai penulis perjanjian (di zaman sekarang mungkin seorang notaris). Penulis ini menulis perjanjian yang diimla'kan oleh pihak berhutang dan pihak berpiutang atau wali dari masing-masing pihak. Di samping memerintahkan adanya seorang penulis, ayat ini juga memerintahkan adanya dua orang saksi laki-laki adil atau satu laki-laki adil dan dua perempuan adil. Keberadaan saksi ini diperlukan agar bisa saling mengingatkan jika lupa dan mencegah kecurangan. Selanjutnya dikecualikan transaksi (jual beli) langsung yang menjadi kebiasaan masyarakat, maka diperbolehkan tidak menulis perjanjiannya.[16] Al-Khatib menjelaskan bahwa perjanjian apapun termasuk jual beli selagi tidak langsung, tidak kontan/hutang piutang serta membutuhkan waktu jatuh tempo, harus ditulis dan dipersaksikan. Sedangkan jual beli kontan adalah perkecualian sehingga boleh tidak menulisnya. Meski demikian tetap diseyogyakan untuk mempersaksikan perjanjian jual beli langsung tersebut. Ayat ini ditutup dengan perintah bertakwa kepada Allah bagi semua pihak yang terlibat dalam transaksi mencakup pihak utang/piutang atau walinya, penulis, dan para saksi.
Berkaitan dengan penulis, Quraish Shihab menerangkan bahwa penulis adalah seseorang yang mempunyai keahlian menulis. Mengingat pada masa itu belum banyak orang yang bisa menulis dan belum berkembangnya profesi juru tulis perjanjian atau notaris di masa kini, maka penulis bisa siapa saja selagi memiliki kemampuan untuk menulis. Di samping penulis diperintahkan oleh Allah untuk tidak menolak jika dimintai tolong untuk menulis, namun karena ia tentu mendapatkan sedikit kerepotan karena diminta menulis sedangkan dia mempunyai kesibukan tersendiri berkaitan dengan ma’isyahnya, maka wajar saja jika ia mendapatkan imbalan atas jasanya itu.[17]
Dari berbagai argumen di atas dapat dilihat bahwa Islam selaras dengan Hukum Perdata Barat dalam hal keabsahan perjanjian tidak tertulis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perjanjian tidak tertulis yang biasanya berupa perjanjian jual beli langsung adalah sah menurut fikih.
C. Penutup
Perjanjian tidak tertulis sebagai sebuah tradisi yang hidup dalam masyarakat adalah telah memenuhi syarat perjanjian, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan demikian sah menurut KUH Perdata. Fikih memperkuat argumen keabsahan perjanjian tidak tertulis ini dengan mengetengahkan argumen-argumen baik naqli maupun aqli.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khotib, Abdul Karim, al-Tafsir al-Qur’aniy li al-Qur’an, Dar al-Fikr al-Arabiy, tt., t.th., Jil. 1
Khallaf, Abdul Wahhab, 'Ilm Usul Al-Fiqh, Kairo: tt., 1956, Cet. Ke-7
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI-Press, 1984
Prodjodikoro, Wiryono, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: Bale, 1986
………………………., Hukum perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur, 1981
Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, 1987
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, Jil. 1
Subekti, R., Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Internusa, 1991
............, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1987
Suma, Muhammad Amin, Tafsir Ahkam I, Jakarta: Logos, 1997
Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-Isu Penting Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2002
.............................., Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, 1999
Tangker, F., Hukum suatu Pendekatan Elementer, Bandung: Nova, 1993
JUDUL-JUDUL REFORMA
VOLUME 2, TAHUN IV, NOMOR 8, SEPTEMBER 2005
1. Puasa dan Pendidikan (H. M. Ma’rifat Iman KH.)
2. Metode Ijtihad Ibrahim Hosen (H. Toha Andiko)
3. Pendidikan Moral dalam Islam untuk Pembebasan dan Pencerahan (Arni Hayati)
4. Perkawinan dan Perceraian dalam Al-Qur’an (Abdul Wahab Abdul Muhaimin)
5. Poligami dalam Islam (Tafsir Surat al-Nisa’: 3 dalam Pendekatan al-Asbab al-Nuzul dan Ushul al-Fiqh) (Afni Rasyid)
6. Tinjauan Fikih terhadap Keabsahan Perjanjian Tidak Tertulis menurut KUH Perdata (Arif Hamzah)
Arif Hamzah adalah dosen FAI UHAMKA
[1] Wiryono Prodjodikoro, Hukum perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur, 1981, h. 17
[2] F. Tangker, Hukum suatu Pendekatan Elementer, Bandung: Nova, 1993, h. 30
[3] R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Internusa, 1991, h. 14
[4] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, 1987, h. 12
[5] R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit., h. 15
[6] R. Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: Bale, 1986, h. 17
[7] Ibid.
[8] R. Subekti, HukumPerjanjian, Op. Cit., h. 29
[9] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1987, h. 123
[10]R. Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Op. Cit., h. 35
[11]Secara garis besar, al-Quran berisi tentang aqidah (keimanan), akhlak, janji baik dan ancaman buruk (wa’d dan wa’id), kisah/sejarah, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain-lain. Lihat Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam I, Jakarta: Logos, 1997, h. 1
[12]Abdul Wahhab Khallaf, 'Ilm Usul Al-Fiqh, Kairo: tt., 1956, Cet. Ke-7, h. 34-35
[13]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI-Press, 1984, h. 8
[14]Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-Isu Penting Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2002, h. 135
[15]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, 1999, h. 363-378
[16]Abdul Karim al-Khotib, al-Tafsir al-Qur’aniy li al-Qur’an, Dar al-Fikr al-Arabiy, tt., t.th., Jil. 1, h. 383.
[17]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, Jil. 1, h. 567