Perempuan Pembangun Mushola


Sore hari, jerit kelelawar melengking memecah jingga langit. Waktu merangkak cepat menuju malam. Suara anak-anak berkejaran di pekarangan rumah. Pohon-pohon berdiri menjulang tinggi dengan bayangan yang berubah seperti iblis ketika terterpa sinar matahari senja hinggap di tubuhnya. Mereka menakuti anak-anak untuk segera berlindung ke dalam rumah, takut dengan cerita wewe gombel yang hendak menculiknya. Anak-anak akan segera pulang mencicipi dingin air sebelum malam tiba. Setelah itu mereka anteng di rumah untuk menikmati hiburan televisi. Tidak terdengar sedikitpun suara anak-anak mengaji, mengeja a ba ta, apalagi suara azan. Kejadian ini sama seperti sepuluh tahun lalu, hingga kini aku berada di sini.
Aku seorang Perempuan. Namaku Pratiwi, usiaku 22 tahun. Aku  Lahir dan dibesarkan di Gunung Kidul, di pesisir pantai Wediombo. Bebatuan menjulang menjelma raksasa mengepung berwujud gunung. Batu menjadi temanku dan aku mencoba berteman dengan batu. Tanyakan kepadaku mengenai air. Langit memang berbaik hati memberikan air ketika musim penghujan datang. Selebihnya, kering kerontang. Tetapi pohon-pohon jati tetap menjulang antara bebatuan serta tanaman sepanjang musim tumbuh disela-sela batu tanpa bantuan air.
Aku teringat bagaimana masa kecilku dulu. Untuk bertemu dengan Bapak membutuhkan waktu yang lama. Bapak merantau memenuhi kebutuhan hidup keluarga kami. Sementara Simbok pontang-panting mengerjakan pekerjaan rumah, mencari air, memasak, mencukupkan uang yang tidak seberapa, yang dikirimkan oleh Bapak untuk kebutuhan keluarga kami. Masih juga mencari alasan ketika aku merengek ingin bertemu Bapak. Kesibukannya itu membuatnya tak ada waktu, tidak sempat sholat ataupun mengaji. Apa yang terjadi pada keluargaku dulu sama seperti yang terjadi pada keluarga lainnya di kampung ini, kini.
Kerasnya hidup lebih kurasakan ketika Bapak mengalami kecelakaan di tempat kerja. Aku menjadi anak yatim. Melihat kemiskinan keluarga kami, Simbok menitipkan aku pada keluarga lain yang tinggal jauh dari kampung ini. Di keluarga itu, aku diajari mengaji, sholat, dan pelajaran tentang hidup lainnya. Aku bersyukur dengan itu semua. Ketika aku kembali ke kampung, aku jadi bertanya, apakah anak- anak yang tadi kulihat, akan mengalami nasib yang sama? Apakah mereka bisa membaca a ba ta, mengaji dan mengerjakan sholat? Aku tak yakin mereka melakukan itu, karena tradisi di dalam keluarga mereka tidak ada, sama seperti keluargaku dulu.  Apalagi di dalam  keluarga, di kampung ini saja, mushola tidak ada.
Suara azan terdengar sayup-sayup, sangat jauh. Berasal dari kampung tetangga. Suara azan seperti hujan yang menyejukkan kemarau panjang. Alunan yang memikat dan membuat hati tentram. Untuk mencapai kampung itu tidak bisa dikatakan dekat, sehingga orang-orang di sini tidak pernah pergi ke mushola. Mereka yang mau, akan melakukan sholat sendiri di rumah, sedang yang lainnya mungkin tak sempat. Ada rasa menggelitik dalam diri ini untuk berbuat sesuatu. Agar setiap hari bisa merasakan sejuk suara azan di kampung ini. Senja menjadi saksi, aku bertekad akan membuat mushola.
Sementara aku duduk, Simbok sibuk di pawon menata beberapa kayu untuk memasak esok hari. Menjejernya di dekat tungku agar terkena hangat abu sisa-sisa masak tadi. Susunan berjejer kayu sangat teratur seperti sebuah jembatan. Semoga juga keinginanku tentang mushola seperti jembatan yang menghubungkan orang kampung untuk menyebrang demi kehidupan yang lebih baik.
Simbokku sudah tua, wajar untuk seorang ibu dari lima anak perempuan. Empat saudaraku lainnya telah hidup dengan suami masing-masing. Dan sekarang tinggal aku yang tinggal di sini. Sebagai anak ragil, pengangguran, dan belum menikah.
“Mbok, Tiwi ingin membangun mushola.” Sejenak Simbok menghentikan menata kayu. Tetapi kemudian melanjutkannya lagi. Tak sedikitpun perkataanku diperhatikan.
“Mbok, Tiwi ingin membangun mushola.” Ulangku, dengan nada yang lebih keras. Akhirnya Simbok meletakkan kayu-kayu itu. Mengengok ke arahku.
“Untuk apa membangun mushola?”
“Di kampung kita tidak ada mushola, kalau ingin sholat harus ke kampung tetangga yang jaraknya tidak dekat.” Sekarang perhatian Simbok sepenuhnya tertuju padaku. Melihat kegigihanku, Simbok beranjak dari dekat pawon. Melangkah, duduk di sampingku.
“Mendirikan mushola itu perlu tanah. Tanah mana yang akan  kamu pakai?”
“Lahan samping rumah ini Mbok.”
“Tanah itu jatahmu dan Mbakyumu Wi. Misal dipakai untuk mendirikan mushola, nanti kalau kalian membutuhkan uang, mau jual apa?” Aku tidak menjawab pertanyaan Simbok. “Mendirikan mushola itu butuh banyak biaya. Siapa nanti yang membayar bahan material? Siapa yang memasang listrik? Bayar tagihan listrik? Uang berasal dari mana? Sementara ini kamu juga belum bekerja. Pokoknya simbok ora lilo.” Aku belum sempat menjawab, Simbok beranjak dari tempat duduknya. Kembali menata beberapa kayu, keningnya berkerut membuat kedua alis bertemu. Tanda Simbok sedang berpikir keras.
Apakah berdosa jika aku menentang keinginan Simbok sekali ini saja? Melihat kondisi orang-orang di sini membuat tekadku untuk mendirikan mushola semakin kuat.
***
Peluh masih membasahi wajahku. Perjalanan yang tidak mudah untuk sampai di gunung ini. Berbekal sebotol air minum aku menenggak sedikit. Meletakkan gendongan kemudian mengeluarkan pukul dan linggis serta membenarkan letak caping yang miring diterpa angin. Semilir angin menggoda tidak bisa menyejukkan panas udara hari ini, padahal waktu baru menunjukkan 09.00.
“Aku harus menaklukkan bongkahan batu-batu ini.” Tekadku.
Hantaman pertama di batu. Rontok batu runcing kuambil dengan tangan kosong. Tak sengaja darah segar mengalir. Perih tangan ini mengingatkan pada kepergianku pagi ini. Keluar rumah tanpa sapa dari Simbok dan pandangan aneh orang-orang yang mengintip dari balik jendela atau yang terang-terangan bergerombol menyaksikan kepergianku. Cemooh para tetangga yang menganggapku edan, ora waras. Sungguh perih melebihi luka bersimbah darah ini.
“Anak Bu Narsih itu maunya apa ya Bu. Melebihi pekerjaan laki-laki, mengusung batu dari gunung.” Terdengar suara bu Tarmi sambil tangannya menunjuk-nunjuk kearahku.
Hentakkan palu kedua, teringat pada jejak-jejak langkah kaki yang membawaku sampai di tempat ini. Langkah terseok-seok menghindari tajam dan rincing batu yang kulewati. Bertetes-tetes peluh jatuh menyatu dalam batu yang terpecah dan peluh itu dikeringkan matahari setelah beberapa kali linggis menerobos angkuh batu yang bisa kupecahkan. Kususun dalam wadah yang sudah kusiapkan tadi dan kuangkut sendiri batu itu dalam gendongan menuruni terjal gunung. Hari semakin terik.

Tak terasa sudah tiga minggu melakukan pekerjaan ini. Perjalanan bolak-balik ke gunung berteman terik matahari membuat tubuhku kini kurus dan hitam legam, terkena sinar matahari. Beberapa luka di tangan robekan batu runcing sudah kering dan digantikan luka lain membuat telapak tangan kasar. Tapi ada rasa bahagia setelah melihat hamparan batu yang kini terkumpul di tanah yang pernah menjadi perdebatan Simbok dan aku. Tanah jatahku dan Mbakyuku.
Setelah selesai menggali tanah untuk kokoh pondasi, akhirnya aku menata batu-batu yang kukumpulkan beberapa hari ini, menyusunnya berkeliling berbentuk gambar yang sudah kubuat semalam. Desain mushola sederhana. Aku mendapat kesulitan dalam pemasangan atap mushola ini. Untuk genting, aku bisa membelinya dengan uang tabunganku yang tidak seberapa ditambah dengan kalung pemberian orang tua angkatku. Kalung satu-satunya yang kumiliki akhirnya berpindah tangan. Tetapi untuk yang bersedia memasangnya, aku memerlukan seorang laki-laki yang mau membantu.
Orang-orang di kampungku jelas tidak akan sudi memberikan tenaganya untuk memasang atap mushola. Jadi, hari ini aku berkunjung ke kampung tetangga. Aku mengunjungi mushola yang ada di situ. Ada seorang laki-laki yang menjadi imam ketika sholat Ashar. Selepas sholat aku menemuinya. Namanya Mas Bandi. Dia bersedia membantu memasang genting untuk pembuatan mushola.
“Mulai besok saya bisa membantu ke sana Mbak Tiwi.” Ujarnya setelah kesepakatan yang kami bicarakan.
“Saya berterima kasih sekali dengan bantuan Mas Bandi, semoga semua ini bermanfaat.”
Masih ada bisik mengenai pembangunan mushola ini. Sampai menghubungkan diriku yang belum menikah dan datangnya Mas Bandi yang membantuku. Tetapi buatku ini bukan suatu masalah, karena sebentar lagi aku akan melihat mushola yang kuimpikan berdiri.
***
Hampir sebulan perjuangan ini. Lahan kosong kini berdiri sebuah mushola sederhana. Simbok tidak banyak berkomentar setelah melihat mushola yang kubangun, karena aku telah membuktikan bahwa kekhawatiran dulu mengenai biaya telah dapat kuatasi.
Sore membungkus langit, aku menggelar tikar sederhana dan menyalakan lampu sentir di mushola. Terduduk dan tertunduk. Merenung, apakah perjuanganku sia-sia? Setelah susah payah mendirikan mushola ini serta meyakinkan Simbok agar percaya keputusanku tidak salah, telapak tangan kasar, tubuh kurus kering, tabungan terkuras. Namun tak seorangpun datang ke mushola. Aku menangis. Duniaku selesai.
Namun tiba-tiba ada suara seret langkah kecil-kecil yang semakin lama semakin banyak. Aku menoleh, masih dengan air mata meleleh. Mereka adalah anak-anak kecil yang dulu pernah kulihat asyik berkejaran di pekarangan rumah. Anak lelaki yang paling besar berkata mewakili teman-teman lainnya.
“Mbak Tiwi saya mau mengaji. Ajari kami mengaji.”
Duniaku belum selesai. Kedatangan mereka adalah pelangi yang muncul setelah hujan air mataku. Membawa kebahagiaan melebihi apapun. Pelangi itu melingkar di mushola. Allahuakbar.