Dua jam perjalanan ini tak sedikit pun menghipnotis mataku untuk terpejam. Entahlah, kenapa kenangan itu berlari-lari dalam otakku. Memaksa memunculkan setiap bayangan wajahnya yang sungguh menggoda. Wajah yang selama ini kucari dan ingin kuajak pulang.
***
Pertama kali melihatnya di bus. Terkantuk, ingin telapak tanganku melindungi kepalanya agar tidak terbentur kaca. Ada nama kecil yang menempel di saku baju sekolah. Swastika. Mungkin sudah cukup porsiku dalam posisi ini. Lebih menikmati memandang tanpa niatan bersapa.
Entah karena merasa kuperhatikan, dia terbangun. Memandangku dan tersenyum. Kursi tempat duduk sebelah kami sama-sama kosong. Namun tak ada niatan untuk berajak. Cukup senyum yang mewakili kata. Apakah kami mulai terikat dengan rasa yang tak perlu dideskripsikan? Dan kejadian seperti itu terus berulang. Kami tetap dalam diam.
Tuhan ternyata mempunyai sebuah rencana. Tuhan bermaksud mempertemukan kami. Dalam acara yang sungguh membuatku ingin berlari jauh.
“Hari ini ada yang ingin ibu dan Om Yudha sampaikan.” Ibuku memang sedang dekat dengan Om Yudha. Tidak ada alasan untuk aku melarangnya. Aku yakin Om Yudha mampu membuat ibu bahagia. Menggantikan Ayah yang entah kemana. Siapa peduli.
“Ibu mau menikah? Kalau ibu bahagia, Ragit juga bahagia.”
“Ya. Nanti kamu juga akan bertemu dengan anak perempuan Om Yudha.” Ada senyum tergambar di wajah ibuku yang tetap cantik ini. Aku selalu menyukai senyum ibu yang membawa kedamaian.
Malamnya, petaka itu datang. Aku datang terlambat ke tempat yang dijanjikan untuk bertemu dua keluarga yang sebentar lagi bersatu ini. Ketika melewati sebuah lorong menuju tempat makan, aku seperti melihat perempuan di bus itu, Swastika. Aku menyangkal, dan mungkin saja aku hanya terbayang-bayang wajahnya.
Kutemukan meja mereka. Tapi kenapa hanya ada Ibu dan Om Yudha. Bukankah ibu yang bilang tadi akan memperkenalkan anak Om Yudha.
Aku menuju meja itu. Kemudian menarik kursi berdampingan dengan kursi Ibu. Aku lihat kursi di depanku masih kosong. Kursi untuk seorang perempuan yang sebentar lagi menjadi adik tiriku.
“Nah itu anak Om Yuda.” Ucapan Om Yudha mengalihkan pandangaku.
Deg! Aku sungguh terkejut melihat perempuan dengan tatapan yang sama melihatku. Sama terkejutnya.
“Ini yang tadi sore ibu bilang sama Ragit. Saudara perempuan Ragit.” Kata-kata ibu menghancurkan lamunanku. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan.
“Swastika.”
“Ragit,” kataku singkat.
Sepanjang makan malam ini, aku tidak benar-benar duduk di hadapan Swastika. Ragaku di tempat ini, namun pikiranku entah berjalan kemana. Aku hanya mengiyakan setiap perkataan Om Yudha maupun Ibu. Dan sesekali ikut tertawa. Entah apa yang mereka tertawakan. Sepertinya dengan asik mereka membicarakan rencana pernikahan. Sementara aku dan Swastika disibukkan dengan pikiran masing-masing.
Swastika, kenapa harus perempuan itu yang menjadi anak Om Yudha? Padahal dengan diam-diam aku menyukainya. Menyukai perempuan yang akan menjadi adik tiriku. Sungguh konyol!
***
Ada alasan kenapa aku duduk di bus ini. Aku mencari Swastika, adikku. Kenyataan yang memaksa aku menyebutnya adik. Aku ingin mengajaknya pulang. Berkumpul menjadi satu keluarga utuh. Dan meninggalkan kecanggungan yang dulu dengan tanpa sengaja sedikit demi sedikit kami bangun. Aku masih mencari cara bagaimana meruntuhkan kecanggungan itu. Mengganti rasa sayang ini. Sebatas sayang kepada seorang adik perempuan.
***
Tepatnya setelah acara makan malam itu, diam-diam aku mengajak Swastika bertemu. Tentunya tanpa sepengetahuan orang tua kami.
“Akhirnya aku mengetahui namamu, setelah sekian lama aku pendam rasa penasaranku.” Ucapan yang untuk kesekian kali membuatku terkejut malam ini.
“Ya, salam kenal. Memang sebelumnya kita belum sempat bertegur sapa,” jawabku dingin.
“Tenyata kita malah dipertemukan di sini. Jujur saja. Malam ini aku sangat terkejut.”
“Aku juga.”
“Aku sayang sama Tante Sari.” Suara Swastika lirih.
“Semoga juga sayang dengan anaknya.” Niatku sebenarnya ingin sedikit bercanda. Namun ternyata berbeda dengan tanggapannya.
“Aku bingung menggambarkan rasa ini, Ragit.”
***
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mewujudkan pernikahan itu. Sebenarnya ada sisi hati yang tidak mengharapkan hal ini terjuwud. Untuk pertama kalinya, hatiku berlaku jahat kepada ibu.
“Aku tidak bisa seperti ini Ragit. Jujur saja, aku merasa ada yang kurang pantas tentang perasaan yang kamu bangun untukku.”
“Kamu bisa melihatnya?”
“Sejak dulu, sejak pertama kali kamu memperhatikan aku di bus.”
“Biarkan saja aku seperti ini. Aku tidak mengaharapkan kamu ikut membangunnya.”
Itu adalah percakapanku terakhir dengan Swastika. Untuk menghindariku, dia memutuskan pindah sekolah di luar kota. Aku tidak pernah menyalahkan sikapnya.
Kedua kalinya aku merasa kehilangan. Kehilangan perasaan yang harusnya bisa kami satukan. Dan kehilangan raganya karena untuk membunuh perasaan itu.
***
Setelah dua tahun Swastika tidak pulang, kini saatnya aku yang menjemputnya. Aku akan mencari dan mengajak kembali ke rumah, tanpa sungkan melihat mataku lagi. Aku sudah berdamai dengan keadaan. Merubah perasaan ini. Untuk adik yang kusayangi, Swastika.