KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat, hidayah, kasih sayang dan barokah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “DEKRIT PRESIDEN PADA MASA ORDE LAMA” ini. Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita, Rasullullah Muhammad SAW sebagai pembawa revolusioner sejati, beserta keluarga, para sahabat dan umatnya sampai hari kiamat, Amin.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari peran dan sumbangsih pemikiran serta intervensi dari banyak pihak. Karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Badan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum tahun 1955, dipersiapkan untuk merumuskan UUD (konstitusi) yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Pada tanggal 20 Nopember 1956, Dewan Konstituante memulai sidangnya dengan pidato pembukaan dari Presiden Soekarno. Sidang yang akan dilaksanakan oleh anggota-anggota Dewan Konstituante adalah untuk menyusun dan menetapkan UUD Republik Indonesia tanpa adanya pembatasan kerja. Sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah dapat merumuskan UUD yang baru.
Keadaan seperti ini semakin menggoncangkan situasi politik Indonesia pada saat itu. Bahkan, masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Sementara itu, sejak akhir tahun 1956 keadaan kondisi dan situasi politik Indonesia semakin memburuk dan kacau. Keadaan semakin memburuk karena daerah-daerah semakin memperlihatkan gejolak dan gejala separatisme, seperti pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Manguini, dan Dewan Lambung Mangkurat. Daerah-daerah tersebut tidak lagi mengakui Pemerintahan Pusat dan bahkan mereka membentuk pemerintahan sendiri, seperti Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) atau Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Keadaan yang semakin bertambah kacau ini dapat mengancam keutuhan Negara dan bangsa Indonesia dari dalam negeri. Suasana semakin bertambah panas, ketegangan-ketegangan diikuti oleh keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik dalam Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang. Konstituante ternyata tidak dapat di harapkan lagi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kekalutan Konstitusional
Gagalnya Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya dalam membuat Undang-Undang Dasar baru, menyebabkan Negara kita dilanda kekalutan konstitusional. Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hokum pelaksanaan pemerintahan Negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara1950 dengan system pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut Konsepsi Presiden.
Konsepsi Presiden menginginkan terbentuknya "kabinet kaki empat" (yang terdiri atas empat partai terbesar PNI, Masyumi, NU dan PKI) dan Dewan Nasional, yang terdiri atas golongan fungsional dan berfungsi sebagai penasihat dan pemerintah. Ketua Dewan dijabat oleh Presiden sendiri.
Konsepsi yang diajukan ini menimbulkan perdebatan. Berbagai argument pro dan kontra muncul. Yang menolak konsepsi ini menyatakan perubahan yang mendasar dalam system kenegaraan hanya bisa dilaksanakan oleh Konstituante. Sebaliknya, yang menerima konsepsi ini beranggapan bahwa krisis politik hanya bisa diatasi jika konsepsi itu dilaksanakan.
2.2. Pemungutan Suara Kembali ke UUD 45
Pada tanggal 22 April 1959, di depan sidang Konstituante, Presiden Soekarno menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia. Menanggapi pernyataan Preiden Soekarno pada tanggal 30 Mei 1959 Konstituante mengadakan sidang pemungutan suara. Hasil pemunguta suara menunjukkan bahwa mayoritas anggota Konstituante menginginkan kembali berlakunya UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia. Namun, jumlah suara tidak mencapai dua per tiga dari anggota Konstituante, seperti yang diisyaratkan pasal 137 UUDS 1950. Pemungutan suara diulang kembali sampai dua kali. Pemungutan suara yang terakhir diadakan pada tanggal 2 Juni 1959, tetapi juga mengalami kegagalan dan tidak dapat mencapai dua per tiga dari jumla suara yang dibutuhkan. Dengan demikian, sejak tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses (istirahat).
2.3 Larangan Kegiatan Politik
Untuk menghindari bahaya yang disebabkan oleh kegiatan partai-partai politik, maka pengumuman istirahat Konstituante diikuti dengan larangan – larangan dari Penguasa Perang Pusat untuk melakukan segala bentuk kegiatan politik.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada presiden soekarno agar mendekritkan berlakunya UUD 1945 dan membubarkan konstituante serta kembali memberlakukan UUD 1945.
2.4 Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959
1. Pembubaran konstituante
2. Berlakunya UUD 1945
3. Tidak berlakunya UUDS 1950
4. Pembentukan MPRS dan DPAS
Dekrit presiden mendapat dukungan penuh dari masyarakat, sedangkan Kasat mengeluarkan perintah harian kepada seluruh anggota TNI untuk mengamankan dekrit presiden. Mahkamah Agung juga membenarkan dekrit itu dan DPR hasil pemilu menyatakan kesediannya untuk terus bekerja berdasarkan UUD 1945.
Peristiwa yang mendorong keluarnya dekrit presiden adalah tidak berhasilnya Sidang Konstituante menetapkan Undang-Undang Dasar. Penyelenggaraan Pemilu I tanggal 29 September 1955 (untuk memilih anggota DPR) dan tanggal 15 Desember 1955 (untuk memilih anggota konstituante) tidak dapat mengatasi kondisi Negara yang labil akibat pergolakan di daerah-daerah. Pemilu ini dilaksanakan berdasarkan Konstitusi RIS dan UUD 1945 yang dirancang dan disusun oleh pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia waktu itu.
Anggota DPR yang terdiri dari puluhan wakil partai terpecah-pecah dalam berbgai ideologi yang sukar disatukan. Sementara itu, di kalangan masyarakat, sangat kuat gerakan dalam demontrasi dan petisi untuk menuntut diberlakukannya kembali UUD 1945. Menyikapi keadaan, Presiden Soekarno pada tanggal 25 April 1959 menyampaikan amanat kepada Konstituante yang isinya anjuran kepala Negara dan kepala pemerintahan untuk kembali ke UUD 1945.
Sidang Konstituante yang menyikapi amanat presiden tersebut menyepakati untuk melaksanakan pemungutan suara untuk menetapkan UUU1945 menjadi UU Republik Indonesia. Sidang yang dilaksanakan 30 Mei 1959, mayoritas menghendaki kembali kepada UUD 1945. Namun, jumlah suara ini tidak memenuhi ketentuan dua pertiga dari jumlah suara yang masuk sebagaimana ketentuan UUDS 1950. Sidang selanjutnya tanggal 1 dan 2 Juni 1959 juga gagal mencapai dua pertiga.
Dalam keadaan yang demikian, Penguasa Perang Pusat melarang kegiatan politik. Larangan ini tertuang dalam peraturan Nomor PRT/PEPERLU/040/1959, tanggal 3 Juni 1959. Dampak dari larangan ini, Konstituante menjadi reses. Dalam keadaaan yang masih tak menentu, beberapa fraksi menyatakan tidak akan menghadiri siding selanjutnya.
Situasi keamanan Negara dalam kondisi gawat, pemberontakan-pemberontakan daerah terus terjadi. Dengan tujuan untuk menciptakan ketatanegaraan, menjaga persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta keberlangsungan pembangunan semesta menuju mnasyarakat adil dan makmur,
PRESIDEN SOEKARNO MENGELUARKAN DEKRIT.
Dekrit
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat :
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri siding. Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya;
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil makmur;
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi;
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adlah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante.
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagfi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama Rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
SOEKARNO
Dengan keluarnya dekrit presiden ini, pada tanggal 10 Juli 1959, Kabinet Djuanda dibubarkan. Selanjutnya, dibentuk kabinet baru yang perdana menterinya adalah presiden. Kabinet ini mempunyai tiga tugas pokok yaitu program sandang, pangan, keamanan dan penyelesaian Irian Barat.
2.5 Pelaksanaan Sistem Demokrasi Terpimpin
Dekrit presiden merupakan tindakan presiden yang memenuhi harapan rakyat, namun dalam kenyataannya tidak dilakukan secara murni dan konsekuen. Serta hanya menjadi slogan- slogan belaka.
2.5.1 Kedudukan presiden
Berdasarkan UUD 1945 kedudukan presiden berada dibawah MPR, akan tetapi kenyataan MPRS tunduk pada presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal ini terlihat jelas dari tindakan presiden dalam pengangkatan ketua MPRS (dirangkap oleh wakil PM III) dan pengangkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai-partai besar serta wakil ABRI yang kedudukannya sebagai menteri dan tidak memimpin departemen.
2.5.2 Pembentukan MPRS
Pembentukan MPRS dilakukan oleh Presiden Soekarno berdasarkan penetapan presidan no 2 tahun 1959. tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno itu bertentangan dengan UUD 1945, karena di dalamnya telah ditetapkan bahwa pengangkatan anggota MPR sebagai lembaga tertinggi Negara harus melalui pemilu, sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat lah yang memiliki anggota yang duduk di MPR. Selain itu penyimpangan yang dilakukan presiden antara lain:
Ø Presiden mengeluarkan ketentuan perundang-undangan yang tidak ada dalam UUD 1945 misalnya, penetapan presiden.
Ø Presiden soekarno diangkat oleh MPRS sebagai presiden seumur hidup, padahal ketentuan uud 1945 menyebutkan bahwa masa jabatan presiden adalah 5 tahun dan sesudahnya dapat dip[ilih kembali.
2.5.3 Manifesto politik republik indonesia
Bentuk pelaksanaan lainnya dalam rangka system Demokrasi Terpimpin adalah Pidato Presiden 17 Agustus 1959 yang berjudul " Penemuan Kembali Revolusi Kita". Pidato itu dikenal sebagai "Manifesto Politik Republik Indonesia", yang kemudian ditetapkan sebagai garis-garis besar haluan Negara atas usulan DPA yang bersidang pada tanggal 23-25 September 1945. inti manipol adalah USDEK (UUD 1945, sosialisasi Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan kepribadian Indonesia).
2.5.4 Pembubaran anggota DPR
Angoota DPR hasil Pemilu I yang mencoba untuk melaksanaakn fungsinya dengan menolak RAPBN yang diajukan oleh Presiden dibubarkan, dan diganti dengan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). DPR-GR yang diduduki oleh beberapa partai besar seperti PNI,NU, danPKI. Ketiga partai ini dianggap telah mewakili seluruh golongan seperti Nasionalis, Agama dan Komunis yang sesuai konsep NASAKOM. Dalam Pidato Presiden Soekarno pada upacara pelantikan DPR-GR pada tanggal 25 Juni 1960 disebutkan tugas DPR-GR sbb:
Ø Melaksanakan Manipol
Ø Merealisasikan amanat penderitaan rakyat
Ø Melaksanakan Demokrasi Terpimpin
Selanjutnya dalam menegakkan Demokrasi terpimpin presiden soekarno mendirikan lembaga Negara lainnya seperti, front nasional yang dibentuk melalui penetapan presiden no 13 tahun1959.
2.5.5 Pembentukan front nasional
Front nasional adalah suatu organisai massa yang memeperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam uud 1945 diketuai oleh presiden soekarno.selain itu presiden membentuk musyawarah pembantu pimpinan revolusi ( MPPR) yang merupakan badan pembantu pemimpin besar revolusi dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Kekuatan politik yang menonjol yaitu presiden soekarno, pki dan tni-ad. Pki sangat lihai mendekati presiden mereka juga berusaha menempatkan dirinya sebagai golongan yang menerima pancasila sebagai dasar Negara ri. Hal ini merupakan strategi pki untuk mengambil alih kekuaaan di Indonesia. Sikap pki yang loyal menyebabkan presiden mendukung pki misalnya, presiden mengangkat wakil pki untuk duduk dalam dpr-gr yang dibentuk oleh presiden. NASAKOM (Nasionalis Komunis dan Agama) yang merupakan ajaran presiden sangat menguntungkan pki karena ajaran ini dianggap sebagai unsur yang sah dan memeperoleh kesempatan yang sama dengan pihak lain untuk duduk dalam pemerintahan dan percaturan politik di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan demikian dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959, pukul 17.00 Ir. Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia/Panglima tinggi Angkatan Perang mengeluarkan Dekrit, yang menyatakan, bahwa terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit itu UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan tidak lagi UUDS.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.C.S.T. Kansil, S.H. 1993, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara.
Harjono, Anwar, S.H. 1997, Perjalanan Politik Bangsa, Jakarta: Gema Insani Press.
Haryanto, Setio, S.Pd., Drs.Purnomo dkk. 2006, LKS Pendidikan Kewarganegaraan, Surakarta: CV Teguh Karya.
Anshari, Endang Saifuddin, MA .1997.Piagam Jakarta ,Jakarta :Gema Insani Press.
Huda, Ni’matul,S.H., M.Hum., Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.