BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.
2.2. Kiprah Ulama Aceh di Awal Kemerdekaan
Keterlibatan ulama di Aceh dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, setelah diproklamasikannya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sangat besar.
Meskipun berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di Aceh agak terlambat. Para pemimpin di Aceh yang mayoritasnya ulama, memperingatkan rakyat Indonesia bahwa kemungkinan besar Belanda akan menjajah Indonesia kembali. Kecurigaan tokoh-tokoh pimpinan Aceh tersebut, terbukti pada September 1945 yang mulai melakukan agresi militernya dan telah berada di Medan (Anthony Reid, 1979 ; 151-152).
Sehubungan dengan situasi seperti itu, beberapa ulama melakukan pertemuan yang memutuskan untuk memberi dorongan kepada Republik Indonesia terhadap Proklamasi kemerdekaannya. Pertemuan itu, menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut “Deklarasi Seluruh Ulama Aceh” yang ditandatangani oleh empat ulama terkenal, yaitu : Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Ja’far Siddiq dan Tgk. Hasan Krueng Kalee (Hasbi Amiruddin, 2004 ; 55).
Pernyataan politik tersebut berisi tentang perang jihad fisabilillah bagi seluruh ummat Islam untuk mempertahankan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan kalau gugur mendapatkan pahala syahid (Ali Hasjmy, 1997 ; 115). Deklarasi ini telah mendorong rakyat untuk bersatu mendukung “Pemimpin Besar Soekarno” dalam perlawanan terhadap Belanda yang ingin kembali ke Indonesia, karena Belanda diyakini akan menghancurkan kemurnian agama dan juga menindas serta melecehkan kehormatan dan merintangi kemakmuran rakyat Indonesia.
Keberhasilan Belanda dalam menggempur Surabaya (Jawa Timur), 10 November 1945 membuat sejumlah ulama di Aceh membentuk angkatan perang Islam yang dinamakan Lasykar Mujahiddin. Pertemuan pembentukan Lasykar Mujahiddin tersebut berlangsung di Mesjid Raya Baiturrahman pada tanggal 17 November 1945. Lasykar ini dipimpin oleh Tgk. Daud Beureueh, salah seorang ulama yang menandatangani deklarasi ulama. Organisasi pasukan militer ini dalam waktu yang singkat telah membangun lasykar di beberapa wilayah. Selanjutnya Lasykar Mujahiddin berubah namanya menjadi Divisi Tgk. Chik Di Tiro dan di Aceh Timur diberi nama Divisi Tgk. Chik Paya Bakong. Divisi Tgk. Chik Di Tiro dipimpin oleh Tgk. Daud Beureueh dan Divisi Tgk. Chik Paya Bakong dipimpin oleh Tgk. Amir Husein Al Mujahid (Jarahdam, 1972; 1-8).
Patriotisme perjuangan rakyat Aceh yang dibalut dengan semangat jihad fi sabilillah, membuat Belanda mengurungkan niatnya menyerang Aceh. Kendatipun, Belanda telah mendirikan markas-markasnya di Medan dan Inggris di Sabang. Agresi pertama Belanda pada 21 Juli 1947 gagal masuk ke Aceh.
Pada pertengahan tahun 1948, Presiden Soekarno mengunjungi Aceh dan mengumpulkan para tokoh dan pedagang Aceh untuk membantu perjuangan. Waktu itu semua anggota masyarakat terutama para pedagang mengumpulkan dana dan emas untuk membeli sebuah kapal terbang. Tokoh Aceh yang menjadi Gubernur Militer pada waktu itu, yakni Tgk. M. Daud Beureueh, meminta kepada Bung Karno untuk mengizinkan diberlakukannya syari’at Islam di daerah Aceh setelah merdeka. Bung Karno yang semula menyatakan setuju, setelah Tgk. M. Daud Beureueh menyodorkan konsep surat untuk ditandatangani, Bung Karno menangis terisak-isak sambil mengatakan : ”Kanda tidak percaya padaku, buat apa aku menjadi Presiden kalau aku tidak dipercaya”. Tgk. M. Daud Beureueh pun mengundurkan niatnya sesudah itu. Hal ini menjadi bukti tentang besarnya peranan seorang ulama dalam masyarakat Aceh.
Untuk menghargai besarnya peranan ulama di Aceh, Pemerintah Pusat menetapkan Tgk. Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Keputusan tersebut tertulis dalam Keputusan Presiden pada 26 Agustus 1949, No. 4/WKP/U/47 (Nazaruddin Syamsuddin, 1985; 27).
Latar belakang munculnya kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh, disebabkan sampai bulan Maret 1950 Pemerintah belum menetapkan Aceh sebagai Provinsi. Sebenarnya, Provinsi Aceh dibentuk tanggal 31 Januari 1950 melalui Peraturan Perdana Menteri pengganti Peraturan Pemerintah Nomor : 8/Des/WKPM/1949 yang tidak berlaku lagi. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, tentang pembentukan Provinsi Aceh dan memasukkannya kembali menjadi bagian Provinsi Sumatera Utara. Hal ini sangat ditentang oleh tokoh-tokoh pimpinan Aceh termasuk para ulama, kondisi ini menjadi permasalahan yang menimbulkan ketegangan hubungan Aceh dengan Pemerintah Pusat (Ramadhan dan Hamid Jabar, 1995:316).
Penghapusan provinsi Aceh, menyebabkan pembangunan dan perkembangan Aceh menjadi terhambat. Rasa tidak puas mulai muncul di tengah masyarakat. Sebagai suatu Keresidenan, banyak hal yang berubah. Para pegawai yang berasal dari Aceh, banyak yang dinon-aktifkan. Pelabuhan Ulee Lheue ditutup, semua barang dari Aceh harus melalui Belawan, Medan. Begitu juga halnya dengan penutupan Pelabuhan Lhokseumawe dan Langsa.
Aceh merasa dianaktirikan dan rasa tidak puas itu akhirnya meledak. Bersamaan dengan saat Presiden Soekarno meresmikan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-III di Stadion Teladan-Medan, tanggal 20 September 1953, pemberontakan di Aceh pecah. Mereka menamakan gerakannya Darul Islam (DI) dan Pasukan Tentara Islam Indonesia (TII), dibawah pimpinan Teungku M. Daud Beureueh (Ramadhan dan Hamid Jabar, 1995 : 316-317).
Disebut juga pada pertengahan tahun 1953, seorang intel dari Kejaksaan Agung (bernama Mustafa dengan nama samaran A. Fatah), pergi ke Aceh dan menemui beberapa tokoh Aceh, antara lain Wedana Kutaraja (Banda Aceh), Tgk. Syeikh Marhaban, dan Tgk. A. Wahab Seulimum. Mustafa, menginap tiga bulan di rumah Tgk. M. Daud Beureueh untuk mencari hubungan antara pergerakan yang dipimpin Tgk. Daud Beureueh dengan DI/TII pimpinan Sekarmaji di Jawa Tengah.
Setelah kepulangan Mustafa ke Jakarta dan rumahnya diperiksa oleh pihak Kejaksaan Agung, yang kemudian didapatilah surat kuasa yang ditandatangani oleh Tgk. M. Daud Beureueh, Jaksa Sunaryo dari Kejaksaan Agung berkali-kali mengunjungi Aceh dan memberikan keterangan pers bahwa tiga ratus pemimpin Aceh akan ditangkap. Setelah beberapa kali Sunaryo datang ke Aceh, tokoh-tokoh Aceh menjadi gelisah, karena beberapa orang diantaranya dipindahkan keluar Aceh. Maka timbullah pemberontakan yang diberinama DI/TII di Aceh .
Untuk menyelesaikan masalah ini, diselenggarakan Musyawarah Aceh di Medan yang dihadiri oleh seluruh organisasi masyarakat Aceh di luar Aceh dan wakil-wakil dari kabupaten diseluruh Aceh. Disamping itu para petinggi militer dari Pusat mengadakan pendekatan dengan tokoh-tokoh DI/TII, termasuk Jenderal Abdul Haris Nasution yang bertemu dengan Hasan Saleh Panglima Perang DI/TII yang kemudian membentuk Dewan Revolusi, mengambil alih kekuasaan dari tangan Tgk. M. Daud Beureueh. Wakil Presiden Mohammad Hatta juga mengirimkan utusan ke pedalaman Aceh menemui Perdana Menteri DI/TII, Tgk. Hasan Ali.
Akhirnya datang ke Aceh suatu missi resmi dari Pemerintah Pusat dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia, Mr. Hardi. Missi ini kemudian terkenal dengan nama Missi Hardi. Setelah beberapa hari berunding dengan tokoh-tokoh Aceh, termasuk Gubernur Aceh, Ali Hasymy, dan tokoh-tokoh DI/TII disimpulkan bahwa kepada daerah Aceh diberikan keistimewaan dalam tiga bidang, yaitu : (1) bidang Agama; (2) bidang Adat; dan (3) bidang Pendidikan. Pemberian keistimewaan itu dituangkan dalam Keputusan Peradana Menteri No. 1/Missi/1959, dan sejak waktu itu Propinsi Aceh dinamakan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Akan tetapi, Keputusan Wakil Perdana Menteri ini tidak punya efek apa-apa terhadap daerah Aceh. Setelah Keputusan Wakil Perdana Menteri ini, pada tahun 1962 dilanjutkan dengan Keputusan Panglima Komando Daerah Militer I/ Iskandar Muda, Kolonel M. Jasin dengan menetapkan berlakunya syari’at Islam di Aceh. Keputusan ini merupakan Keputusan Penguasa Perang Daerah (Peperda). Tetapi pada waktu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang ini, ternyata ditolak oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan peraturan pelaksanaan terhadap Keputusan Wakil Perdana Menteri Hardi, tidak pernah muncul di tingkat pusat.
Masyarakat Aceh secara keseluruhan telah menjadi penganut agama Islam, dalam kehidupannya sehari-hari sejauh mungkin dicoba untuk diselaraskan dengan tuntunan ajaran Islam. Karenanya sistem budaya etnis yang dimilikinya yaitu adat telah disesuaikan dengan berbagai segi ajaran Islam, sehingga antara keduanya sudah sukar untuk dipisahkan, seperti telah diutarakan dalam ungkapan tersebut di atas.
2.3. Kiprah Ulama Aceh pada Masa DI/TII
Adanya perbedaan pendapat yang muncul antara pemimpin Aceh dengan pemerintah pusat (Jakarta), merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya pemberontakan DI/TII tahun 1953, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Saat itu, rakyat Aceh mengharapkan daerahnya menjadi salah satu provinsi yang mendapat perlakuan yang istimewa (Hasbi Amiruddin, 2004:59).
Sebenarnya ada beberapa alasan lain yang menjadi latar belakang mengapa rakyat Aceh menentang pemerintah pusat. Pertama, rakyat Aceh sudah lama terlibat perang untuk mempertahankan negerinya dari jajahan kolonial Belanda. Hampir seratus tahun tidak ada pembangunan yang dapat dilakukan, ekonomi dan pendidikan tidak dapat dikembangkan.
Rakyat Aceh merindukan pemimpin yang berasal dari daerah Aceh atau putra daerah. Karena dengan pemimpin yang berasal dari daerah sendiri, maka diharapkan dapat memahami kebutuhan rakyat dan memahami watak rakyat Aceh yang agak berbeda, khususnya dipandang dari aspek agama dan budaya, dibandingkan dengan masyarakat dari wilayah lainnya di Indonesia.
Akan tetapi, Pemerintah pusat mempunyai sisi pandang yang berbeda mengenai permintaan masyarakat tersebut. Propinsi Aceh yang baru berumur setahun disatukan dengan Sumatera Utara untuk dijadikan satu provinsi. Sejak saat itu, kekecewaan demi kekecewaan mewarnai situasi Aceh.
Suasana menjadi semakin panas dengan adanya penangkapan-penangkapan sejumlah tokoh yang lantang dan bersuara keras, yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Karenanya, Tgk. Daud Beureueh, pada 21 September 1953, memutuskan perang melawan Pemerintah Indonesia. Ia menyatakan bergabung dengan gerakan SM Kartosuwiryo dibawah bendera DI/TII, yang sudah mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat pada 17 Agustus 1949.
Sebagian besar Ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), ikut berjuang bersama Tgk. Daud Beureueh saat itu yang sudah naik gunung. Ulama yang ikut mengangkat sejata tersebut, tergabung dalam resimen 5 DI/TII, sekaligus pengawal paling setia Tgk. Daud Beureueh (Otto Syamsuddin Ishak, edisi Agustus 2005, Aceh Kita).
Sjafruddin Prawiranegara, sebagai Perdana Menteri Sementara saat itu, memahami keinginan dari masyarakat Aceh tentang status khusus tersebut, namun keinginan ini ditolak oleh pemerintah pusat (Soekarno dan Hatta).
Pemberontakan yang terjadi di Aceh pada awal tahun lima puluhan melibatkan mayoritas masyarakat Aceh, karena digerakkan oleh sejumlah ulama yang terkenal pada waktu itu, di antaranya yaitu Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Pemerintah pusat tidak dapat meredam pemerintakan tersebut, yang berlangsung selama sembilan tahun yaitu 1953-1962. Pemberontakan ini berakhir setelah pemerintah pusat menerima status daerah Istimewa Aceh. Rakyat Aceh diberi hak otonomi, yaitu dalam bidang keagamaan, pendidikan, dan adat istiadat. Dalam mengakhiri pemberontakan tersebut, ditandai dengan adanya perdamaian yang juga dipelopori oleh sejumlah ulama Aceh pada waktu itu.
2.4. Keikutsertaan Ulama Aceh dalam Penumpasan Komunis dan Pembentukan Majelis Ulama Indonesia
Ideologi Komunis yang telah mewabah di Indonesia pada tahun 60-an, mendapat kerisauan dari segenap masyarakat dan tokoh-tokoh nasionalis, termasuk kaum agamis. Kekhawatiran terhadap pengaruh komunis tersebut juga turut dirasakan di Aceh. Penyebaran pemahaman dan ajaran politik yang berkiblat pada negeri Cina dan Russia tersebut terus saja membuat pihak pemerintah Indonesia was-was dan meminta fatwa ulama untuk memberantas komunis di Indonesia. Apalagi setelah penculikan dan pembantaian yang dilakukan terhadap enam perwira militer di Jakarta (Soe Hoe Gie ;)
Di Aceh, pemahaman ideologi komunis yang berkembang mendapat tantangan keras dari para ulama. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ali Hasjmy (1997 : 147) sebagai berikut :
Pada penghujung tahun 1965, dua bulan setengah setelah terjadi pengkhianatan kaum Komunis Indonesia yang didukung gerakan kaum komunis internasional, di Banda Aceh berlangsung Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh di bawah pimpinan ulama besar Teungku Haji Abdullah Ujongrimba. Musyawarah antara lain mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ajaran komunisme dan menyatakan bahwa para penggerak, pelopor dan pelaksana G-30 S (Gerakan 30 September) adalah “kafir harbi” yang wajib dibasmi. Fatwa tersebut ditandatangani oleh Teungku Abdullah Ujongrimba sebagai Ketua Presidium Musyawarah dan para ulama peserta musyawarah lainnya.
Dalam rangka menumpas kaum komunis tersebut di Aceh, Ishak Juarsa, Panglima Kodam I Iskandar Muda selaku Penguasa Perang Daerah untuk Daerah Istimewa Aceh, secara terpisah meminta pendapat berupa Hukum Islam mengenai G 30 S. itu kepada ;
· Teungku Haji Abdullah Ujongrimba (Ketua Mahkamah Syari’ah/Pengadilan Agama Daerah Istimewa Aceh);
· Teungku Haji Hasan (Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Daerah Istimewa Aceh);
· Drs. Haji Ismuha (Rektor IAIN Jamiah Ar-Ranirry Darussalam, Banda Aceh).
Meskipun mereka tidak bermusyawarah, bahkan satu sama lain tidak tahu menahu, namun jawaban mereka sama, yaitu karena masalah ini besar, maka sebaiknya diundang para ulama seluruh Aceh untuk sama-sama membicarakan masalah tersebut.
Saran tersebut diterima oleh Pangdam Iskandar Muda dengan mengundang seluruh ulama yang ada di Aceh dalam kegiatan Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 17-18 Desember 1965 (23-24 Syakban 1385 H), yang dihadiri oleh sebanyak 56 alim ulama terkemuka dari seluruh Tanah Aceh.
Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Tgk. H. Abdullah Ujongrimba tersebut, keluarlah beberapa keputusan yang menyatakan ajaran komunisme kufur/haram hukumnya, penganutnya yang sadar adalah kafir, pelaku G. 30. S adalah kafir harbi yang wajib ditumpas, pembubaran PKI wajib hukumnya, orang yang menumpas G. 30. S karena Allah dan terbunuh mati syahid hukumnya.
Pertemuan ulama se-Daerah Istimewa Aceh tersebut juga memutuskan untuk mendirikan organisasi ulama yang diberi nama Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh, yang dipimpin dan diketuai oleh Tgk. H. Abdullah Ujongrimba untuk pertama kalinya.
Setelah keluarnya fatwa ulama tersebut, maka pada tanggal 19 Desember 1965 Panglima Kodam I Iskandarmuda mengumumkan pembubaran Partai Komunis Indonesia dan organisasi-organisasi bawahannya dalam daerah hukumnya, yaitu Daerah Istimewa Aceh.
2.5. Keberadaan Ulama dalam Konflik Gerakan Aceh Merdeka
Pada masa lampau, peran dayah tidak hanya sebatas sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Namun, menyentuh ranah sosial politik, kekuasaan, bahkan lebih jauh menjadi tempat melahirkan panglima perang.
Pada era Kasultanan Aceh, Abdul Rauf As-Singkili merupakan ulama kerajaan yang membuat kanun atau hukum pemerintahan dan kemasyarakatan. Adapun pada masa perang Aceh melawan kolonial Belanda, dayah di Aceh menjadi tempat menyusun strategi. Sebagian dayah menjadi semacam lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima dan prajurit sebelum terjun ke medan perang. Dayah seperti ini biasanya dinamakan zawiyah (dalam lidah Aceh sering disebutkan sebagai Dayah). Salah satu di antaranya adalah Zawiyah Tanoh Abee di Aceh Besar.
Tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah, di antaranya, adalah Tgk H Syeh Abdul Wahab yang merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya adalah pimpinan generasi kelima, Zawiyah Tgk. Chiek Tanoh Abee, yang menjadi penasihat Perang Aceh, seperti diutarakan almarhum Tgk. M Dahlan Al Fairussi, pimpinan generasi kesembilan di zawiyah itu.
Namun, sejak konflik RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hampir semua dayah di Aceh berupaya memberi jarak pada urusan politik. Dayah berupaya ”hanya” menjadi pusat pendidikan agama.
Selama masa konflik RI dengan GAM, dayah berada di posisi terjepit di antara dua kekuatan yang bertikai, sehingga ruang geraknya menyempit. Santri-santri dan ulama tidak leluasa berdakwah dan melakukan pengajian karena khawatir dicurigai, baik oleh TNI/Polri maupun oleh GAM. Santri dan abu (pemimpin dayah) seperti terpenjara dalam lingkungan dayah. Bahkan, untuk menyerukan perdamaian pun bisa dicurigai karena dianggap melemahkan perjuangan salah satu pihak.
Dayah lambat laun memilih peran dengan berdiam diri dan dengan itu mereka menjadi pelindung masyarakat dari teror dan tekanan konflik. Mereka harus ekstra hati-hati. Demi kelangsungan hidup dayah, mereka berjuang untuk tetap berada di garis tengah agar tidak terseret ke dalam arus konflik.
Setelah Tgk. Daud Beureueh turun gunung dan berdamai dengan Pemerintah RI, keterlibatan beliau dalam perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pimpinan Hasan Tiro, kembali dikait-kaitkan.
Meskipun banyak asumsi yang menuai pro-kontra mengenai keterlibatan beliau (Tgk. Daud Beureueh) terhadap Perlawanan GAM yang dikumandangkan oleh Hasan Tiro di Puncak Gunung Halimun, Pidie, namun perlawanan tersebut mendapat dukungan penuh dari beberapa tokoh pendukung DI/TII. Diantaranya adalah Teungku Ilyas Leubee dan Daud Paneuk. Ilyas merupakan ulama yang disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung setia Daud Beureueh (Zakaria, tokoh GAM di Thailand, edisi Agustus 2005, Aceh Kita).
Deklarasi pendirian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diketuai oleh Hasan Tiro, pada awalnya merupakan sebuah perjuangan kelanjutan dari Republik Islam Aceh (RIA). RIA lahir melalui sebuah gerakan pembebasan yang ingin membebaskan rakyat Aceh dari belenggu “penjajahan” Republik Indonesia. Sang arsitek GAM, Tgk. Daud Beureueh, menginginkan Aceh harus menjadi Negara Islam yang didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Menurut Tgk. Daud Beureueh, dengan bersandarkan kepada Al-Quran dan Al hadist, maka rakyat Aceh akan mendapatkan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran sebagaiman sejarah Aceh tempo dulu. Maka dalam perjuangan menegakkan Negara Islam Aceh, semangat hukum Islam sangat ditonjolkan (Abu Jihad,.. : 45).
Dalam melanjutkan perjuangan tersebut, tentunya Tgk. Daud Beureueh tidak mempunyai kuasa lagi. Hal itu dikarenakan fisik nya yang mulai melemah dan kontrol yang sangat ketat dari Intelijen Indonesia. Karenanya, perjuangan menegakkan Negara Aceh yang berdaulat dengan berlandaskan hukum Islam diberikan kepada Hasan Tiro.
2.6. Peran Ulama dalam Lahirnya UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh
Sebagaimana diketahui bahwa proses lahirnya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh, juga melibatkan peran ulama sebagai salah satu komponen masyarakat Aceh. Di samping itu, tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai elemen juga memiliki andil dalam proses lahirnya undang-undang tersebut.
Di samping itu, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia yang mewakili daerah pemilihan Aceh terus bejuang di lembaga legislatif untuk kepentingan kesejahteraan rakyat pasca Daerah Operasi Militer (DOM), baik lewat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) maupun lewat departemen terkait terutama departemen-departemen di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesra/Taskin, bergerak langsung memberikan bantuan bagi korban DOM, pemugaran rumah-rumah yang terbakar, penegerian sekolah-sekolah dan madrasah, pengangkatan guru-guru dan pegawai negeri sipil yang berasal dari putra-putri korban DOM dan sebaginya.
Dalam pembahasan UU tentang Pemerintahan Daerah, para anggota DPR RI dari daerah pemilihan Aceh berhasil menempatkan Aceh sebagai Daerah Istimewa dengan keistimewaan dalam bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam satu UU tersendiri. Berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang mencantumkan sebutan Daerah Istimewa Aceh hanya dalam penjelasan.
Mereka berjuang keras pula memperjuangkan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah (PKPD) yang dapat menampung tuntutan daerah terutama dalam memasukkan penerimaan sektor migas menjadi bagian yang harus diperhitungkan dalam perimbangan keuangan. Puncak dari perjuangan Anggota DPR-RI periode 1997-1999 dari daerah pemilihan Aceh adalah terbentuknya UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Keistimewaan Aceh yang selama ini hanya berdasarkan Keputusan Missi Hardi, berkat perjuangan anggota DPR-RI yang memiliki kepedulian terhadap nasib dan masa depan Aceh, berhasil merumuskan dalam sebuah UU. Secara tidak berlebihan jika dikatakan ini merupakan lompatan sejarah yang mesti disyukuri.
UU No. 44 tahun 1999 lahir setelah diadakan berbagai diskusi sesama anggota Dewan dengan bimbingan para senior, saran Tim Penasihat Presiden Urusan Aceh, masukan dari para ulama, kaum cendekiawan, Gubernur dan Pemerintah Daerah, desakan Taman Iskandar Muada (TIM Jakarta) dan mahasiswa Aceh, para anggota DPR RI sampai pada kesimpulan, dalam era reformasi dan kepemimpinan pemerintahan yang demokratis, sekarang inilah momentum yang paling tepat untuk mengajukan UU usul inisiatif tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh yang merupakan pedoman penyelenggaraan di daerah.
Kesimpulan inilah yang kemudian secara kompak dilaksanakan oleh para anggota Dewan dengan mengumpulkan 48 tanda tangan dari para anggota yang mencakup semua Fraksi yang ada di Dewan. Dalam tanggapannya, semua Fraksi menyatakan persetujuannya untuk menerapkan syari’at Islam di Aceh.
Pelaksanaan sebagian syari’at Islam di seluruh daerah Republik Indonesia sesunggunhya telah dimulai tahun 1974 dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Perkawinan khusus untuk umat Islam.
Dengan disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Pelaksanaan Keistimewaan Propinsi Aceh menjadi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, maka terdapatlah landasan yang kuat untuk menyelenggarakan syari’at Islam dalam satu propinsi dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Pelaksanaan syari’at Islam di Daerah Istimewa Aceh ditetapkan dalam Peraturan Daerah setelah mendapat fatwa dari Majelis Pertimbangan Ulama yang independen, yang dibentuk dengan keputusan DPRD. Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pembahasan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, para anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Aceh berhasil menempatkan Aceh sebagai Daerah Istimewa dengan keistimewaan dalam bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam satu UU tersendiri. Berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang mencantumkan sebutan Daerah Istimewa Aceh hanya dalam penjelasan. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka sejarah pelaksanaan sebagian syari’at Islam di seluruh NKRI sesunggunhya telah dimulai tahun 1974 dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Perkawinan khusus untuk umat Islam (Badruzzaman Ismail, 2003:11).
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1.1 Eksistensi ulama dalam masyarakat sebelum kehadiran Belanda ke Aceh adalah sangat besar artinya. Ulama tidak hanya dipandang sebagai orang yang memiliki ilmu keagamaan semata, melainkan juga dianggap orang yang mampu menguasai adat istiadat serta pengetahuan lainnya.
1.2 Keterlibatan ulama sangat besar artinya terhadap kondisi sosial dan politik di Aceh. Secara politis, sejak awal kemerdekaan ulama Aceh sudah memegang peran yang sangat strategis, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh dalam memperjuangkan status Daerah Istimewa bagi Aceh.
1.3 Pengaruh keterlibatan ulama Aceh dalam kancah politik adalah dapat menjadi pelopor dalam menyuarakan aspirasi masyarakat Aceh (umat Islam). Ulama juga ikut berperan dalam menggagas perdamaian di Aceh, seperti halnya dalam penyelesaian DI/TII dan juga ikut pro aktif dalam mengupayakan perundingan Helsinki, yaitu perundingan antara pemerintah RI dengan GAM.
2. Saran-saran
2.1 Diharapkan kepada para pembaca kiranya dapat mengambil suri tauladan dari perjuangan para ulama Aceh dalam menyuarakan aspirasi umat Islam, serta turut pro aktif dalam menggagas perdamaian di Aceh.
2.2 Diharapkan kepada para guru dan calon guru sejarah dapat lebih giat berupaya untuk menanamkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Upaya ini salah satunya adalah dengan semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.