Menangislah dengan dewasa.


Menangislah dengan dewasa dan tertawalah seperti anak kecil tak berdosa.


Sejak semalam terdengar suara yang aneh di sebelah kamar. Memang sudah biasa seperti itu. Seminggu sekali, wajarlah. Kemudian mimpi-mimpi berdatangan seperti suara tangisan, dan ia yang memberontak entah kenapa. Aku terbangun, ternyata di balik tembok berwarna hijau depanku itu ada sendu suara tangis pilu. Aku mencoba kembali terlelap, dan mimpi-mimpi kembali menyerbu masih tentang tangisan. Aku merasa lelah dan kembali terbangun. Nyatanya, suara tangis semakin jelas terdengar. Sekarang bukan hanya tangisan tersedu-sedu. Tapi juga uncapan-ucapan jelek berupa teriakan-teriakan. Selanjutnya terdengar gelas-gelas yang dipecahkan dan teriakan.

Seperti itukah caramu menangisi keadaan? Usiamu memang masih belia, tapi tak tahukan tindakanmu menyusahkan orang lain. Kamu tahu itu kan? Menangislah dengan dewasa. Lelaki tak hanya satu, kata mamaku ‘wong lanang ora gur siji’ ksta mamanya ‘dunia tak selebar daun kelor’. Aku bisa bicara seperti ini mungkin karena tak mengalami rasa sakitmu. Namun percayalah, baru seminggu lalu aku juga merasakan sakit.

Kini kau terdiam? Tertidur kelelahan ataukah berbenah kamar yang tadi kau hancurkan?

Luka di tanganku sudah hampir mengering, namun luka yang kamu tinggalkan? Mengapa aku menikmati ketika diam-diam kamu semakin melukaiku? Biarkan aku sebentar saja menarik jaketmu. Hanya sebentar, tidakkah kau izinkan?

Katamu, ketika menaiki sebuah tangga teruslah ke naik, jangan berbalik untuk turun. Namun hidupku tidak seperti itu, aku tak naik juga tak menuruni tangga itu. Aku hanya terdiam di tengah-tengah. Seperti seseorang yang tersesat karena ditinggalkan. Mungkin saja kau menaiki tangga itu dengan berlari, sedang aku hanya ngesot-ngesot sambil tengok kanan kiri. Jadilah aku yang terdiam. Masih berada pada tangga yang sama walaupun sudah satu minggu.

Selamat hari Senin, ini Senin pertama dan sejak Senin kemarin aku mebenci hari Senin.

“Kalau sedang puasa kemudian menangis batal tidak ya.”

“Batal. Yuk sarapan saja.”

“Ah, aku sudah gila.”

“Lebih baik, dari pada kamu bilang ‘aku sudah waras’, hahaha.”

Dalam tawamu, dalam tawaku, kita sama-sama menyimpan luka. Biarkan aku sebentar terdiam ada titik tangga ini dan biarkan aku sebentar, sebentar saja menarikmu untuk sejajar denganku. Mungkin besok pagi aku membiarkanmu untuk melangkah, bahkan berlari ke anak tangga selanjutnya.