“Aku kedinginan, pinjami aku tanganmu.”
Kemudian telapak tanganku kembali menyentuh telapak tanganmu yang dingin. Mungkin saja sedingin hatimu. Aku masih bingung dengan semesta yang menggerakkan hatimu. Kadang penuh keangkuhan dan ketika kita berhadapan wajah itu semuanya luluh, lumer. Aku menemukan kamu yang ‘renyah’. Sungguh.
Juga pertemuan kita sehari lalu. Dengan bermain kaki yang seperti dulu, juga timpukan bantal. Gilaa, saya bisa gila mengingatnya. Kemudian malam yang penuh hujan itu, pengaduan itu, yang kamu tanggapi hanya dengan satu kata ‘ow’ dan membuat penyesalan. Oke, aku gak akan sms duluan! Ya, sama-sama egois, itu lah kita.
Aku menemukan sesuatu, jika kamu sudah mulai mencari yang lain. Silakan. Seperti kataku tadi, aku masih melonggarkan hati, bukan. Bukan buat kamu, karena memang kamu tak mau. Aku tahu itu. Aku tidak sedang mengkasiani diri sendiri.
Mengapa harus ada 159 hari itu, jika kita merasakan nyaman yang seperti sekarang. Mengapa kita mengubahnya.
Masih ingat tahun lalu mengenai pasar kangen, yang aku tak bisa mengunjungi karena kesendirian. Orang yang kuajak kadang mau kadang tidak, dan banyak tidaknya. Selanjutnya tempat itu, yang memamerkan banyak sekali karya seni. Ketika hape kita sama-sama habis battre, dan kamera yang dibawa ornag lain. Kita hanya berjalan-jalan saja. Tak ada foto! Itu hari terakhir, besoknya tak ada sisa. Tak ad akenangan gambar. Tapi kenangan kita di tempat itu masih jelas dalam ingatan. Juga sosokmu yang sangan WAW!
Dalam sebuah ruangan gelap, aku mendapatkan perlindungan dari balik punggungmu, juga senyum malu-malu. Di luar berisik itu, ketika ada hentakan musik. Kita menikmati berdua, dan tanganmu menggandengku menjauh, menuju tempat yang seharusnya. Sebuah tabuhan rebana. Aku ingat, itu adalah pertama kalinya kamu menggandeng tanganku dan imajinasiku yang melambung terlampau jauh. Karena apa? Saat itu aku sendiri.
Aku tak pernah menyesali, andai saja kita HANYA sebatas itu sampai sekarang. Pasti akan berbeda cerita.
“Oh, kamu mau ikut pulang, tak di sini sebentar. Aku nanti juga akan ke Pramuka.”
Untuk apa? Mengais-ais dirimu?