Cerpen: Utami Pratiwi
sumber: istimewa |
Kecewa lagi. Setelah antre berjam-jam harus revisi. Ya, bulan-bulan ini memang sedang musim skripsi. Semua membicarakan skripsi. Bertemu di jalan, di kantin, di tempat fotokopi, di kos, di perpustakaan dan di tempat-tempat lainnya. Selalu saja setiap bertemu teman yang ditanyakan sama, “Sudah sampai bab berapa?” Ingin rasanya kujawab “Bablas!”
Belum lagi Mamak di rumah. Sudah sebulan menanyakan kapan selesai kuliah. Inginnya biar anak semata wayangnya ini segera lulus, kembali ke rumah dan kerja. Entahlah siapa yang salah, memang manusia mudah menyalahkan. Sudah berminggu-minggu masih saja bab yang sama. Sampai bosan rasanya berkata, “Bab 1”. Huh!
“Sapinya masih berapa Pak?” sapaku ditelepon.
“Tiga, tapi yang dua punya orang. Bapak bantu ngrumat.”
“Lha kambing?”
“Tiga.” Jawab bapak singkat.
“Bukannya dulu sepuluh ya?”
Tak kutemui jawaban. Hanya tawa di seberang sana.
Mungkin itu salah satu alasan mengapa beliau menginginkan aku segera menyelesaikan kuliah. Jika tambah setahun lagi bisa habis-habisan. Padahal untuk hasil bekerja nanti tak sebanding dengan yang dikeluarkan selama ini.
“Seperinya Alin tak bisa lulus Juni Mak.” Telepon beralih pada Mamakku.
“Katamu dulu Juli.”
“Bulan puasa, jadi dimajukan. Aku mau pulang.”
“Ya ya, mumpung besok lusa Minggu Pon.”
Apa hubungannya kepulanganku dengan hari Minggu Pon?
Ada yang bilang, setiap orang tua itu menginginkan anaknya bekerja seperti dirinya, namun ada satu pengecualian, yaitu seorang petani. Ya, siapa zaman sekarang ini yang masih menginginkan anaknya menjadi petani? Seperti juga orang tuaku. Sudah habis-habisan juga membiayai kuliah dengan hasil tani ditambah jual hewan ternak.
***
Dua wajah di hadapanku kini sudah sangat berbeda dengan empat tahun lalu. Tawa lepas Mamak sudah semakin memperlihatkan kerutan-kerutan pada wajah, juga gigi sebelah kanan yang tak lagi lengkap. Bapakku semakin kurus, uban tak lagi tumbuh satu-satu, namun hampir seluruh. Sore ini, rumah kembali ramai dengan kepulanganku.
“Besok pagi-pagi sebelum Bapak ke sawah pergilah mengantar kembang boreh ke batu tua itu.”
“Ya ampun, masih percaya dengan seperti itu Mak?” aku memprotes.
“Biar skripsimu itu lancar.”
Pandanganku beralih pada Bapak. Hanya terdiam. Memang, Bapak tak banyak bicara.
Apa yang lebih dahsyat dari sebuah batu. Ya, batu benda mati itu. Oh, jadi ini. Hubungan kedatanganku dengan Minggu Pon untuk membeli kembang boreh di pasar.
Sudah lama cerita tentang batu tua itu. Letaknya sekitar 1 km dari rumahku. Banyak orang yang berhajat membawa kembang boreh agar doa-doanya terkabul. Namun sebelum menaburkan kembang itu, terlebih dulu harus menemui juru kunci. Namanya Mbah Wiro.
Pagi-pagi sebelum Bapak berangkat ke sawah, aku terpaksa mengantar ke rumah Mbah Wiro. Sejujurnya aku kurang percaya dengan hal klenikseperti ini. Mbah Wiro sudah tua, cucunya yang paling tua tercatat sebagai mahasiswa semester akhir, sama sepertiku. Namanya Asta. Hanya saja kami tidak berada pada kampus yang sama. Sudah bukan rahasia, jika Asta selalu mendapat kelancaran dalam sekolah.
Sewaktu SMK, Asta mendapat beasiswa selama tiga tahun alias sekolah gratis dan kemujuran itu berlanjut sampai kini. Yang kudengar, kuliah sekian lama ia juga tak mengeluarkan biaya sedikit pun. Aku akui dia cerdas. Namun orang-orang kampung beranggapan kalau itu karena berkah batu tua yang berada di samping rumahnya. Tambah-tambah Kakeknya adalah seorang juru kunci.
Mbah Wiro menyambut kedatangan Bapak masih dengan asap teh mengepul dari cangkirnya dan kacang godhog yang baru saja dipanen. Tangan kanannya menjepit rokok kretek.
“Wah, anakmu sudah perawan. Kapan mau ngunduh mantu.” Goda Mbah Wiro.
“Alin masih terlalu muda Mbah. Kedatangan kami kesini mau minta tolong biar skripsinya Alin lancar.” Bapak langsung mengatakan tujuan kami datang sambil meletakkan kembang boreh di atas meja. Sementara aku di samping beliau hanya senyam-senyum kaku.
Udara masih dingin ketika kami menuju ke lokasi batu tua. Rerumputan masih berembun, juga batu tua itu. Selanjutnya mulut Mbah Wiro komat-kamitsambil menepuk-nepuk batu tua itu dengan telapak tanggannya sebanyak tiga kali. Kembang boreh ditaburkan.
***
Kembali pada rutinitas. Hari Rabu yang selalu bangun pagi-pagi demi kesempatan bimbingan pagi. Di kertas hijau yang sudah agak kumal itu muncul tulisan dan tanda tangan yang tujuh minggu ini kutunggu-tunggu, ‘Bab I ACC’.
Langsung kutelepon Mamak.
“Mak, di Bab I di ACC!” teriakku senang.
“Nah, kamu percaya atau tidak. Karena batu tua itu. Ya syukur alhamdulillah.”
Langsung hening. Aku kehilangan tawaku.
“Kapan pulang lagi. Nanti datang ke batu tua lagi biar lancar semuanya. Seperti Asta itu kuliah lancar, sudah mau wisuda....” suara Mamak terus mengalun, tapi aku samar-samar mendengarnya.
Seperti kubilang sebelumnya, memang manusia mudah menyalahkan. Seperti pembimbing menyalahkan mahasiswa dan mahasiswa menyalahkan pembimbing. Namun manusia juga mudah sekali membenarkan. Seperti Mamak yang membenarkan kehebatan batu tua, dan sama artinya sedikit menyangsikan keterlibatanku dalam serius melakukan revisi.
Aku melewati lorong kampus yang panjang, seperti masih panjangnya menuju Bab V. Di sudut-sudut ada beberapa mereka yang mengikuti kegembiraanku tadi, namun lebih banyak mata sendu melihat kartu warna hijau yang masih bertuliskan ‘revisi’.
Tak terbayangkan masih empat kali lagi menuruti rengekan Mamak untuk menebar kembang boreh ke batu tua itu. Menepuk-nepuk sebanyak tiga kali dan mantra komat-kamit Mbah Wiro.
Juga dalam bayanganku Bapak memegang tali pada leher sapi-sapi yang digiring blantik, beberapa saat kemudian di tangan Bapak tali itu sudah berganti dengan lembaran-lembaran merah.
“Kriiinnnggg.” Suara handphoneku.
“Apa Mak?”
“Jumat Pon pulang ya, Mamak belikan kembang boreh lagi.”
Senyap.
*catatan: Cerpen ini dimuat di Koran Merapi edisi Minggu, 2 Juni 2013.
intinya iseng-iseng berhadiah, curhatan kalut tentang tantangan mengerjakan skripsi.