Cerpen Hartini



Cerpen: Utami Pratiwi
sumber: istimewa

“Ibu hanya bisa meninggalkan Rama sebagi teman hidupmu. Jaga dia Har, jangan biarkan ia membuat perempuan menangis seperti apa yang dilakukan Bapakmu selama ini kepada Ibu.”

            Sudah lima belas tahun lalu pesan itu kuterima. Tapi rasa-rasanya baru kemarin sore. Ah, memang. Selalu ada cara untuk mengingatmu bu, juga pada malam seperti ini. Dulu ketika pesan itu sampai di telingaku, aku tak begitu tahu. Dalam benakku hanya ingin meraih Rama dalam gendongan yang tak henti menangis. Tak hanya sampai di situ, paginya Rama selalu mengulang pertanyaan yang sama; mengapa ibu sendirian dimasukkan dalam tanah? Bagaimana kalau ibu nanti kedinginan?
Kala itu usia Rama belum genap empat tahun. Susah untuk menjelaskan pertanyaan kemana ibu pergi. Ternyata malam membantuku menjawab.
“Bintang yang paling terang itu adalah ibu, Rama,” kataku menghentikan rengekan Rama kesekian kali.
“Ibu pergi ke atas sana tanpa mengajak Rama?” Wajah polos itu bertanya sambil menunjuk ke angkasa.
“Belum, karena ibu ingin melihat semua tingkah laku Rama.”
Sebuah alasan klasik seperti dalam kisah buku dongeng. Tapi ini nyata yang kualami. Mungkin saja kisah klasik itu ditulis berdasarkan kenyataan. Ah, siapa yang tahu.
Sekarang kembali kupandangi bintang. Juga bersama Rama. Jelas Rama sudah tahu cerita sebenarnya.  Sekarang usianya sudah 14 tahun dan aku memasuki 26 tahun. Oh ya bu, sampai saat ini aku masih bisa memegang janji-janjiku. Rama tak pernah membuat perempuan menangis seperti pesan Ibu dulu.
“Aku tak pernah melihat Mbak Hartini menangis. Bahkan saat disakiti,” ucapnya tanpa menatapku. Lebih asik menyaksikan bintang gemintang di langit.
“Buat apa menangis,” sanggahku.
“Benar Mbak tidak kecewa dengan pernikahan Mas Bugi?”
“Mungkin itu jalan dari Tuhan.”
Bu, hampir saja kami hudup bertiga. Laki-laki itu bernama Mas Bugi. Ia berjanji akan menyuntingku lima bulan lalu. Kemudian sebulan ini ia menghilang, dan dua hari lalu ada sebuah undangan pernikahan datang. Ada nama Mas Bugi di situ, tapi cetakkan nama perempuan dalam undangan itu bukan namaku.
Kemarin malam Bu, dengan diam-diam aku menangis. Jelas aku bersembunyi agar Rama tak mendengar. Mungkin ibu lupa, sebelum ibu pergi, tak berpesan agar aku tak menangisi laki-laki seperti ibu dulu menangisi Bapak. 

Jogja, 5 April 2013
*catatan: Cerpen ini dimuat di buletin Kreskit (Kreativitas Kita) edisi April 2013