Kita sekarang bisa tertawa bersama, bercengkrama, bahkan ejekan yang kadang membuat hati sakit. Selebihnya derai tawa yang menghiasi dunia kita berdua. Mungkin memang lebih baik seperti ini, tanpa hubungan apapun, tanpa sekat-sekat canggung yang membuat bingung. Apalagi aturan masa depan yang memang tak pernah bertemu.
Kita masih suka meneguk rindu, entah itu karena sama butuh atau cinta. Ha? Masihkah ada cinta yang tersisa? Aku tak meyakininya. Bisa saja rindu yang kita sesap dan nikmati ini semacam kebutuhan yang memang harus dipenuhi. Kita tak perlu jahat pada gejolak yang meronta ingin dituruti. Bukankah begitu katamu? Ah, betapa aku sangat menuruti maumu. Setelah tegukan beberapa rindu dan selesai, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Kita berdua kembali menjadi dua orang asing. Diam,
Hari berikutnya, minggu berikutnya seperti itu kembali terulang. Siapakah yang salah? Siapakah yang bodoh?
Dalam derai tawa kita, kebaikan yang melindungi dan semua mua muanya yang kau lakukan selama ini, sepertinya hanya bahagia. Sama seperti ketika tawa mnghiasi bibirmu yang melengkung dan memunculkan sesung pipit hanya sebelah, juga mata yang sedikit terpejam karena kembali tawa itu tadi. Dan maaf, sedikit kerutan yang memang menunjukkan berapa jumlah usia.
Kita memang tertawa, tapi aku tak pernah lupa, ketik berbulan-bulan lalu kau membiarkan aku tanpa berkomunikasi, tanpa kejelasan, juga akhir yang menyakitkan. Aku tak pernah lupa! Dalam tawa kita, aku masih mengingat luka.
“Memaafkan sih iya, tapi untuk melupakan tidak.”