“bodoh itu mungkin seperti saya ketika di samping sampean. mengapa menikmati kebodohan?”
“bodoh itu seperti kita yg selalu menyiapkan pintu bagi yg bernama masa lalu. sedang kita tau tiada sesiapa lagi di situ.”
Jika aku di sampingmu, aku merasa sangat bodoh. Juga akhir-akhir ini, mengapa aku terlalu menikmati kebodohan ini? Setelah semuanya, tentang anak tangga yang tak mungkin lagi dituruni dan aku yang sudah berusaha move on untuk menginjak anak tangga selanjutnya. Ah, bolehkan malam ini saja aku kembali menangis, bukan untuk menangisimu, tapi menangisi keadaan diriku sendiri.
Kita meneguk kembali apa yang kusebut rindu. Bahkan semakin sering dari pada dulu. Masih pantaskah kita seperti ini? Atau diriku yang lagi-lagi kusebut bodoh karena terlalu menuruti? Tolong aku untuk keluar dari lingkaranmu, lingkaran pesona yang sedemikian masih memikat. Kenapa harus kamu?
Aku tak pernah melupakan wajah ketika kita meneguk rindu dan aku menyukainya. Namun, hanya saat itu saja. Kemudian kita kembali ke dunia nyata seperti orang biasa, sangat biasa. Bahkan seperdetik detelah itu kita seolah tak menyisakan apa-apa. Pulang. Seperti itu.
Ini masalah dewasa atau sok dewasa sebenarnya? Siapa yang dewasa dan siapa yang mengklaim dirinya sudah dewasa. Aku semakin merasa seperti anak kecil, dan kamu itu raksasa. Inginnya sih yang kemarin sudah menjadi kesepakatan itu hanya mimpi. Atau jika kita kukuh menilai itu sebuah kenyataan, izinkan aku berdiam dalam sebuah mimpi. Mimpi yang ku buat sendiri.
Tentang dirimu yang masih saja selalu istimewa
Tentang nasehat-nasehatmu yang luar biasa
Tentang masukan-masukanmu yang tak terhingga
Tentang tegukan kehausan rindu kita berdua.
Jika ini semua mimpi, izinkan aku untuk tertidur lebih lama. walaupun aku juga sadar, sudah tak ada kadar cinta yang tersisa untukku.
“Cinta itu apa? Jika kalian hanya berdua bersama kekasih, sanggupkah menahan hawa nafsu?”