Demi Apa?



Hai, malam ini ketika aku menulis barisan cerita yang sedang kalian baca, mataku sedang mengeluarkan air mata. Ini entah bulan ke berapa, minggu ke berapa dan hari ke berapa. Nyatanya, aku menangisimu. 

Aku baru melihat pemberitahuan tentang nanti yang akan kau luncurkan. Pada saat itu, aku akan meminta tanda tanganmu, menempatkan namamu dalam penyair idolaku. Nanti juga, dalam foto itu aku selayaknya aku yang menguber Dee, Agustinus Wibowo dan sebagainya. Bukan, bukan aku yang pernah menempati suatu ruang di dalam dirimu. Atau tepatnya dirimu yang masih angkuh menemuhi seluruh sudut dalam diriku. Ah, kenapa aku cengeng sekali. Kenapa aku menangis lagi!

Di antara mereka yang membacakan sajakmu nanti, adakah puisi tentang diriku? Aduh, bagaimana kalau aku menangis saat itu? Bagaimana? Bagaimana? Aku sekarang hampir gila. Ya, gila menangisimu lagi. ah, ini dosa, harusnya tak boleh!

Kamu tahu, bekas perban suntikan itu dua hari sengaja tak kulepas, sebagai bukti aku benar sakit. Namun kamu tak datang, akhirnya aku menyerah. Luka suntikan ternyata gatal, sama seperti gatalnya hatiku yang tak tik tuk menunggu, sama gatalnya telingaku yang memaksa mendengar suara motormu dan berharap kau datang! Demi apa ini?

Hidup itu, memang tak melulu harus aktif. Bisa lelah. Ada kalanya kita harus pasif. Seperti aku yang selalu MEngerti, dan seseorang yang mungkin saja menuntut Dimengerti. Atau aku yang terlalu banyak menuntut? Siapa aku sebenarnya?

Selamat malam manusia yang aku tahu sangat sibuk. Aku manusia biasa lho, dan aku kemarin benar sakit. Tapi lebih ngilu malam ini, sampai pandangan mata menatap layar ini kabur. Selamat malam sayang...