Sejarah Bahasa Indonesia di masa sebelum Kolonial Hindia Belanda/ Indonesian history in the period before the colonial Dutch East Indies

Sejarah Bahasa Indonesia di masa sebelum Kolonial Hindia Belanda

(Sumber: Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: PenerbitNusaIndah.)

Walaupun bukti tertulis masih sangat kurang, namun daptlah dipastikan bahw bahasay ang dipakai oleh Kerajaan Sriwijaya pada abd VII adalah bahasa Melayu. Bukti tertulis pertama mengenai bahasa Melayu itu ditemukan di dalam prasasti sekitar tahun 680 M. di Sumatra pada awal kerajaan Sriwijaya yaitu: di Kdukan Bukit berangka tahun 683, di Talang Tuwo (di dekat Palembang) berangka tahun 684, di Kota Kapur (Bangka Barat) berangka tahun 686, sera di Karang Brahi (antara Jambi dan Sungai Musi) berangka tahun 688. Lebih dari itu belum diketemukan bukti tertulis lainnya.
Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritime yang memiliki armada perkapalan buat perdagangan. Orang menjelajah seluruh pelosok tanah aserta di mana memperkenalkan bahasa Melayu untuk mempermudah hubungan dagang dengan semua penduduk Nusantara. Bukti tertulis untuk itu sulit diketemukan, kecuali satu yaitu di Pulau Jawa di daerah Kedu. Di situ ditemukan sebuah prasasti yang terkenal dengan nama Inskripsi Gandasuli dan ebrasal dari tahun 832. Berdasarkan penelitian  Dr. J. G. de Casparis dinyatkan bahwa bahasanya adalah bahasa Melayu Kuno. Inilah merupakan satu-satunya bukti tertulis tentnagn luasnya penyebaran dan pemakaian bahasa Melayu pada waktu itu.
Walaupun bukti tertulis hampir tidak ada, tetapi dengan adanya bermacam dialek Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara seperti dialek Melayu Ambon, Larantuka, Kupang , Jakarta, Menado, dan sebagainya, daptlah dipastikan adanya penyebaran yang luas itu.
Dalam kesusasteraan Tiongkok terdapat berita yagn menceritakan tentang musafir Tiongkok yagn bertahun-tahun tinggal di kota Indonesia. Mereka itu mempergunakan bahasa anak negeri yagn disebut Kwu’un Lun. I Tsing  yang belajar di Sriwijaya pada akhir abad VII mempergunakan juga bahasa itu. Mengignat adanya prasasti sebagai tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa bahasa Kwu’un Lun tersebut tidak lain dari bahasa Melayu Kuno.
Beberapa abad kemudain, pda tahun 1356, kita temukan lagi suatu peninggalan yang cukup berarti, yaitu prasasti, bahasanya berbentuk prosa diselingi puisi. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian bahasa Melahyu pada wakt itu tidak saja sebagai alat dalam pergaulan sehari-hari, tetapi sudah dipakai pula dalam bentuk cerita yang panjang.
Begitu pula dari tahun 1380 di Minye Tujoh, Aceh, terdapat suatu bat nisan yang berisi suatu model syair tua. Sesudah tahun ini, antara abad XIV-XVII kita dapati banyak hasil kesusastreaan lama dalam bentuk pelipur lara, hikayat, dongeng, dan sebagainya. Tentu semuanya ini memerlukan masa perkembangan. Dalam fase perkembangan itu, baik bahasa maupun isi ceritaera menerima unsure dari luar untuk memperkaya diri, yaitu bahasa Sansekerta dengan unsure Hindunya dan bahasa Arab-Persia dengan unsure Islamnya.