Cerpen ARANDA

Aranda
Cerpen: Utami Pratiwi
dok.google

“Hari ini datang juga. Selamat menyambut cinta yang seharusnya. Aku tidak pernah tak menyayangimu. Seperti ungkapanmu bahwa witing tresno jalaran saka kulina, kalau kita jodoh maka juga tak akan kemana. Terima kasih menjadi kawan yang baik selama dua minggu, menjadi lelaki idamanku yang tidak ada pada diri lelaki lainnya.”
Bising dering sms membangunkanku pagi ini. Pagi adalah waktu yang indah, aku menyukai pagi. Tapi sepertinya tidak untuk pagi ini. Tak perlu air dingin mengguyur muka, atau aroma kopi yang memikat. Dengan membaca sms Aranda, langsung memaksa memori otakku berpikir tentang hubungan dua mingguku dengannya. Dan harus berakhir pagi ini. Menjemput kekasihku.
Harus senang atau sedih. Senang setelah dua bulan berpisah dengan kekasihku dan pagi ini segera bertemu. Sedih meninggalkan Aranda.
***
Hubungan ini tak tahu kapan kami berdua memulainya, dalam posisi yang keduanya memang salah. Tapi, apakah cinta itu salah? Cinta tak pernah salah, karena cinta itu sempurna. Adanya masing-masing kekasih di antara kami yang membuat tidak sempurna.
Aku mengingat ketidaksengajaan dalam hubungan kami. Dua minggu yang mengesankan. Dua minggu yang sangat cepat dan penuh kebohongan. Benar jika dikatakan kami lelah. Sejujurnya aku ingin mengakhiri lelah ini dengan jalan yang jauh berbeda.
“Aranda,” sapaku saat dia duduk sendiri. Sudah jarang mahasiswa yang mau berlama di kampus. “Kata orang, anak perawan dilarang melamun sore seperti ini, nanti diculik setan.”
“Kalau setan itu wujudnya tampan seperti kamu, aku ikhlas.” Ada tawa dari bibirnya. Tawa yang membuat wajahnya semakin manis. Saat itu hatiku memutuskan untuk berpaling dari cinta yang seharusnya. Mulai mencintai, memilih Aranda.
“Maunya diculik ke mana?”
“Eh, aku bercanda Fari. Kenapa Fari belum pulang,” ia menatapku. Jarak kami begitu dekat, dan aku menyadari kalau mata bewarna coklat ini membutuhkan teman untuk membagi ceritanya.
“Melihat kamu, membuatku malas pulang. Ada masalah?”
“Aku tahu kita tidak begitu dekat, tapi aku ingin membagi cerita ini. Kamu mau mendengar?
“Selalu ada waktu buat kamu.”
Kemudian entah alasan apa yang membuat Aranda menceritakan semua masalahnya. Tentang rasa kecewa, kebosanan, penghianatan dan ingin melepaskan.
Sebelumnya aku tidak pernah seperti ini. Sedikit pun berpaling dari sebuah komitmen dalam hubungan. Sore yang merangkak malam adalah alasan kami berdua meninggalkan kampus. Memilih pantai sebagai tempat melanjutkan cerita.
Bisa dipastikan, hubungan kami tidak berakhir walaupun cerita Aranda sudah selesai. Tak membutuhkan banyak kata untuk mendeskripsikan hubungan kami. Tak perlu juga menyalahkan siapa yang memulai. Cukup dijalani saja, sampai dua minggu ini.
***
Aku ingin melihat sunrisedengan Aranda, karena sunset tidak pernah bersahabat. Seperti sore ini, tak ada warna biru langit yang berubah menjadi jingga. Kelabu, mendung sejak tadi enggan beranjak pergi. Mendung menyimpan air. Tak tahan lagi menampung, maka tumpah.
Mata coklat disebelahku berbinar. Bercerita. Entah berapa menit setelahnya, benar itu menjadi mendung. Masih rahasia, kapan akan tumpah.
“Di sini dingin, yang ditunggu tak muncul. Bukan keberuntungan kita sore ini.” Dengan paksa menarik tanganku. Aku tak bergeming. Hari ini ada banyak yang ingin kuceritakan. Bukan untuk mengakhiri semua.
“Ayo pulang, aku lelah.” Ia merajuk.
“Hatiku lebih lelah Randa.” Aku tetap pada posisi yang enggan berajak. Melihat mata yang beberapa saat lalu berbinar dan kini ada sedikit kejengkelan. Ah...aku menyukainya.
“Bukankah kita sepakat memulai semua ini, lelah sudah menjadi akibatnya. Siapa yang menyetujui bermain api?”
“Ya, api itu membakarku.”
Melalui matanya, aku tahu telah menyakiti hati perempuan ini. Dia memutuskan mundur. Randa selalu berkata tak ada harapan untuknya. Padahal aku lah yang diam-diam berharap banyak.
“Aku tahu, kamu tidak pernah menjanjikan apa-apa dalam hubungan ini. Aku tidak pernah menyesal. Tapi sepertinya memang aku yang harus mundur. Tak banyak harapku.” Kata-kata ini mampu membuatku beranjak dari posisi dudukku. Aku melirik mendung mata coklat itu kini mulai gerimis. Ingin aku mengusapnya.
Perjalanan ini, aku tak ingin mengakhirinya. Tak ingin lekas sampai rumah. Aku ingin lebih lama bersama Randa, aku bisa menjanjikannya kepastian.
Aku mendengar suara isakan. Sekali lagi aku ingin mengusapnya, membenamkan wajahnya di pelukanku. Sebanyak apapun air mata itu atau mendung sore ini berganti hujan, tetap tak bisa memadamkan cinta ini. Aranda.

#CATATAN
ini cerpen pertamaku yang agak serius karena patah hati. Sok PD banget jadi cowoknya (hahahha, he kamu gak usah ketawa yang baca cerpen ini -yang merasa kamu banget gitu-) emang aku dari sononya sok tahu banget sih... Cerpen yang udah lama tapi lupa gak di posting. temukan cerpen ini dan cerpen lainnya di antologi Nyanyian Sunyi Perempuan Malam (ehem, tukune nek ngendi? tanya ke PERCETAKANNYA dulu ah)...

Hey kamu (lagi), Selamat menemukan cinta yang sesungguhnya...