Lu-Kiss



“Memang, setiap perempuan mau pendamping yang sudah mapan, punya rumah, punya mobil, jalan-jalan ke mall, cakep, muda, necis, bersih dan lain-lain. Siapa yang nggak mau seperti itu. Tapi, cinta juga tak bersyarat karena cinta itu mau menerima apa adanya. Misal dia belum punya apa-apa, kita mau bersama-sama mencari, membangun rumah impian walau awalnya susah, intinya bareng-bareng untuk bahagia. Kita bisa seperti itu karena cinta tadi. Mau sama-sama memulai dari nol. Kalau menurut ceritamu, kamu nggak cinta. Memang, keadaan sekarang, belum tentu nanti-nanti. Sekarang yang membuat kita tidak mau karena kegamangan masa depan ternyata nanti dia lebih sukses. Tapi itu nggak apa-apa. Tantangan dan pilihan. Kita harus memilih jalan. Kamu mau hidup yang sama-sama memulai dari nol, nggak maju-maju dengan keadaan seperti itu terus dan ditambah lagi nggak cinta, hidupmu bakalah menyedihkan.”

“Iya. Ada dua manusia. Yang dengan keadaan apapun dia, aku bisa menerima.”

“Berarti cintamu untuk dua orang itu. Misal mereka tak tercapai, jangan memaksakan yang kira-kira nantinya menyedihkan.”

“Kadang yang susah itu, kita sudah bersedia menerima segala kekurangannya, tapi orang itu tetap tak mau.”

***
Jam 11 kita berangkat. Mengawali siang tadi untuk menghabiskan sampai kandas kebersamaan.

“Berat! Jangan cepet-cepet.”

“Berdirinya serong.”

“Nggak denger.”

“Padahal aku udah keras banget.”

“Ceritanya nanti ya kalau udah sampai, aku nggak denger kamu ngomongin apa.”

Jalan berkelok-kelok yang aduhai itu. sudah seperti setlika siang-siang mondar mandir dengan si merahmu. Untung cuaca tak segarang dua hari yang lalu. Bertemu dengan orang-orang hebat, semoga anti ketularan hebat. Mendengarkan percakapan siang-siang dengan angin semilir. Ngantuk tak tertahan. Minum kopi hitam sebentar.

Permak lukisan segera dibungkus kardus kirim ke Jakarta. Uang masuk kantong beberapa juta. Senang, beli cat lagi, kanvas lagi, melukis lagi, pameran tunggal.

“Makan yuk, aku yang traktir.”

“Setelah ini, kamu mau pulang atau ikut aku melukis?”

“Ikut ya.”

Kanvas sudah penuh warna-warni berbeda. Tema ini itu, buku puisi ini itu. Aku merebahkan tubuh pada karpet janda serta mengambil guling. Tidur sebentar berteman bau cat yang khas. Kamu melanjutkan warna-warna itu, membuat tangan, kaki baju, celana penuh warna.

Kita sudah melewatkan siang berdua. Melawan arus angin dengan lukisan yang sangat besar sampai pegal tangan ini, kemudian kamu lambatkan laju kendara. Seperti itu berulang-ulang sampai di tempat tujuan. Selanjutnya kardus yang juga ukuran besar. Hari ini sungguh menyenangkan. Meski diombang-ambing angin yang berat di tangan tapi aku menyukainya.

“Tunggu sampai dua bulan. Kalau masih sama, jangan beri harapan. Tinggalkan dia. Dua bulan ini, cari tahu seberapa besar dia mencintaimu.”

“Ya, aku sudah bertemu dengan jawaban itu.”

“Mari pulang.”

Eh, diam-sia ada wajah cemburu dan sangat takut kehilangan. Aku masih menjaga kehormatan untuk sekadar tak merebut kekasihmu, kecuali diam-diam agar kau tak tahu (dan kekasihmu yang juga mau).