Perjamuan Kenangan



 
Gerimis masih saja turun satu-satu. Seperti menjadi sebuah alasan untuk tinggal lebih lama di kedai. Aroma kopi menyeruak. Asap secangkir white coffe menempel pada kaca sampingku duduk, memburamkan pandangan luar. Bibir kudekatkan dengan kaca. Tiupan nafas yang juga hangat dari mulut. Semakin memburam gerimis. Kemudian aku menuliskan LOVE. Mengintip malu-malu gerimis melalui celah tulisan yang kubuat.
***
Mengapa menatap gerimis dengan malu-malu? Ternyata gerimis menunjukkan sosoknya yang berlarian menghindari basah. Sudah setengah jam aku menunggu. Sapuan pandangan matanya yang menyusuri kedai membuat debar yang sulit kutafsirkan. Kututupi gemetar tanganku dengan melambaikan tangan. Sebuah isyarat: aku di sini. Seperti biasa, datangmu bersama secangkir black coffe.
“Hey, sudah lama?” tanyanya.
“Sepuluh menit yang lalu.” Aih, aku sudah pandai berbohong. Bukankah sejak setengah jam lalu aku di tempat ini?
“Mengapa selalu memilih meja ini, Larissa?”
“Karena aku bisa puas memandang datangmu.”
“Ah, kenapa kamu yang merayuku?”
“Bisakah kita seperti ini terus?” Aku menatapnya, tak beralih.
Tiupan pada kaca seperti biasanya. Hangat nafas membuat buram. Dalam buram kaca ia tuliskan kata TENTU. Kugenggam tangannya. Tak ingin kehilangan. Hanya sebentar. Tangannya kembali pada cangkir, digiring ke bibir. Menyesap sedikit demi sedikit black coffe. Selanjutnya senyum yang membuat aku tak ingin kehilangannya!
“Kamu hanya terlalu takut kehilangan.”
“Mengapa harus black coffe? menurutku rasanya pahit.” Jelas sekali aku sedang mengalihkan pembicaraan.
“Di dalam kopi itu menyimpan rahasia. Pahit hanya ada di dalam lidah. Selebihnya di dalam kopi itu sendiri kita tidak pernah tahu ada apa.”
“Kamu berfilosofi?”
“Setidaknya,  dengan merasakan pahit black coffe, kita bisa bersyukur. Ternyata di luar sana masih banyak yang manis-manis. Juga parasmu.”
Senyumku ragu. Bukan lagi senyum malu-malu.
“Aku sayang sama kamu.”
“Aku juga sayang kamu, Larissa.”
“Tak bisakah kamu membatalkan semuanya?”
Genggaman cangkir itu bergetar. Black coffe yang dibiarkan mendingin. Gerimis berubah hujan. Sebuah awal tak kujumpai lagi tiupan nafas dan tulisan tangannya pada kaca, juga perjamuan dengan lelaki hebat bernama Noah.
***
Seharusnya bisa merasa, setelah bahagia meletup-letup pasti akan ada keterbalikan. Bukankah semua yang ada di dunia ini berpasangan? Pertemuan-perpisahan, bahagia-sedih. Perpisahan dan sedih tak pernah sedikit pun mendarat dalam pikiranku. Bahagia hari ini adalah bahagia. Cukup.
Setahun menjalin hubungan. Kedai kopi yang selalu kami kunjungi, juga kebiasaan berdialog dengan tiupan nafas pada kaca. Kemudian menuliskan apa yang ingin kami sampaikan. Lebih-lebih ketika sedang berseteru dan malas bicara. Kebiasaan aneh yang romantis.
Kami mahasiswa seni. Aku memahat dan ia melukis. Aku sangat mengerti mimpinya, mengembangkan kemampuan melukis sampai ke luar negeri. Tak pernah tak kudukung. Namun, kenyataan menelikung hatiku. Noah mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke Australia. Sedihkah? Atau bahagiakan aku?
Permintaanku tak dipenuhi, ia pilih melukis. Tanpa bicara, aku tahu keputusannya lewat getar tangan dan dingin black cofee-nya. Pintaku ditolak, tapi ia tak melepas hatiku.
***
Aku merindukan aroma secangkir black coffe yang selalu dalam genggaman kedua tangannya. Sebuah alibi menghangatkan diri. Lebih-lebih merindu kehangatan derai tawa ke sekian setelah perjamuan itu.
Ah, sudah telalu lama di kedai ini. Mengingat perjamuan kenangan beberapa tahun lalu, mengingat Noah yang tak ada kabar. Ia tetap tak melepas hatiku, atau aku yang tak mau melepaskan diri? Tentang Noah yang mungkin di telan rimba!
Whitte coffe yang ingin kusesap ternyata sudah kandas sedari tadi. Gerimis reda. Aku pulang. Terakhir, kutiupkan nafas pada kaca. Tulisan LOVE kembali terlihat. Aku melihat kenangan.
“Kau tahu, mengapa aku lebih menyukai white cofee dibanding black coffe? Karena manisnya kujadikan penawar pahit kehilanganmu!”

_Tulisan ini dimuat di sini