Jika aku tak salah, setahun lalu, angka hari ini kita sedang bersama menuju suatu tempat. Beda setelah setahun adalah dulu terang dan sekarang hujan. Hujan membawa romantisme. Seperti ketika aku merangkai huruf-huruf ini yang kemudian bisa kalian baca.
Dulu, aku adalah gadis angka 21 yang terjebak pada angka 17. Bimbang. Astaga! Dan sekarang angkaku sudah 22 men! Aih, sekarang kamu apa kabar? Terakhir dengan suaramu ketika hari bahagia itu. Hei, apa kabar?
Nanti, angka 22 kita tidak bisa bersama. Toh tak akan merubah apapun jika kita bertemu. Sedakar mengucap selamat juga tak mungkin. Angka 22, alibi alih-alih tak mau bertemu di kos dengan alasan bikin mading di kampus, dan ternyata kamu menyusul di kampus tapi aku masih di kos. Helo! Penipu banget sih. Aku keluar, kamu masuk. Nah, ini cara penghindar pula. Meskipun pada akhirnya dalam ruangan itu kita dipertemukan. Serta pesan yang tiba-tiba. Menghilangkan berapa angka kita saat itu, karena cara kita yang seperti manusia kasmaran.
Pulang. Eh, bukan. Menuju suatu tempat untuk makan. Dekat halte Trans Jogja. Nasi bakar, susu hangat dan hujan. Hujan besar menahan kita berhenti di depan tukang potong rambut. Saat itu, meski hujan besar, meski angin bertiup kencang, aku tak merasa basah, aku tak dingin. Aku merasa hangat. Tangan yang kau rangkulkan di pundakku. Untuk pertama kalinya.
“Aku hidup dalam airmu.”
#Catatan 20 November 2013