POSISI PENGAJARAN BAHASA DALAM PARADIGMA TRADISIONAL DAN PARADIGMA MODERN



Sebagaimana diungkapakan Kridalaksana (2002: 5) paradigma dapat diartikan sebagai prestasi ilmiah yang untuk suatu masa tertentu diakui sebagai model untuk memecahkan masalah dalam kalangan tertentu. Contoh: hingga beberapa tahun belakangan ini bagi sekelompok ahli teori Chomsky ang dikenal sebagai universal grammar atau generativisme dipegang sebagai paradigma dalam kajian linguistik.
Berbicara tentang posisi pengajaran bahasa dalam paradigma tradisional dan paradigma tidaka akan lepas dari pengertian dasar dari paradigma itu sendiri. Berangkat dari pengertian inilah kemudian akan kita telusuri perbedaan posisi pengajaran bahasa dalam paadigma tradisional dan paradigma modern. Dalam paradigma tradisional pengajaran bahasa masih bersifat preskriptif, yaitu pengajaran bahasa yang cenderung menghakimi benar dan salah pemakaian bahasa. Atau dapat dikatakan pengajaran bahasa pada saat itu sangat bersifat normatif, karena sangat berpegang pada kaidah atau norma.
Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh karya S. Takdir Alisyahbana, Tatabahasa Baru Bahasa Indonesai(1949-50), karya C.A. Mees, Tata Bahasa Indonesia (1951), karya St. M. Zain, Djalan Bahasa Indonesia (1942-54), dan karya Poendjawijatna dan Zoetmulder, Tata Bahasa Indoensia untuk Sekolah LanjutanAtas (1955). Sebuah karya lain yang perlu dicatat adalah karya S, Zainuddin gl. Pg. Batutah (1956), yaitu Dasar-dasar Tata Bahasa Indonesia. Beberapa karya tersebut merupakan usaha paling awal kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia untuk menetapkan buku tata bahasa standar pengaran bahasa Indonesia. Maka kaidah ini diajadikan pedoman dalam pengajaran bahasa di Indoensia.
Pengajaran bahasa di sekolah mengajarkan bahasa persis seperti yang tercantum di dalam buku tata bahasa. Praktik semacam ini telah mengakibatkan siswa pandai dan hafal teori-teori bahasa akan tetapi tidak mahir berbicara atau berbahasa dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengajaran yang menitikberatkan pada satu norma dan kaidah tertentu, sedikit banyak telah membuat sisiwa tidak memiliki keberanian untuk berkreatifitas. Hal ini disebabkan karena kaidah tata bahasa  bersifat preskriptif, yaitu tata bahasa yang cenderung menghakimi benar dan salah pemakai bahasa. Kriteria benar dan salah di dasarkan pada norma atau kaidah yang telah ditetapkan.
Meskipun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa sumbangan paradigma tradisional pengajaran bahasa yaitu mengenai jenis kata dan analisis kalimat. Pembagian jenis kata yang dimulai dari konsep onoma dan rhema. Onoma (yang dinyatakan) dan rhema (pernyataan) onoma  yang dapat disejajarkan dengan kata benda dan rhema yang dapat disejajarkan dengan kata kerja. Konsep penggolongan kata benda dan kata kerja menjadi dasar dalam pengajaran bahasa. Dengan adanya kategorisai pengelompokan kata, memberikan kemudahan untuk memahami suatu hal.
Selain penggolongan jenis kata, paradigma tradisional telah memberikan kontribusi ilmiahnya yang berupa analisis kalimat berdasarkan S dan P. Analisis kalimat atas S dan Predikat yang hingga saat ini masih digunakan.
Pada awal abad XX paradigma tradsional digeser oleh paradigma modern, paradigma yaitu paradigma struktural yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure yang disebut-sebut sebagai bapak linguistik modern telah berhasil meletakan dasar-dasar linguistik. Jika paradigma tradisional belum dapat memecahkan bahasa dengan tulisan, maka Sassure bahasa dengan tulisan. Sausure menyatakan denga tegas bahwa bahasa yang sebenarnya hanyalah berupa ujaran, tulisan hanya merupakan perwujudan bahasa dengan representasi grafis.
Pandangan inilah yang kembudian melahirkan pendekatan oral dalam pembelajaran bahasa. Dengan pendekatan oral inilah bahasa menjadi satu kebiasaan atau habit. Melalui pendekatan ini kaum strruktural meyakini bahwa kemampuan berbahasa adalah satu faktor kebiasaan. Sebagai pembuktian atas keyakinan mereka bahwa teorinya adalah benar dan dapat memberikan bukti yang meyakinkan adalah cerita tentang seseorang yang dibesarkan oleh sekelompok serigala. Orang tersebut sama sekali tidak dapat berbahasa, yang ia kenal adalah suara atau longlongan serigala saja, sehingga akhirnya hanya melolong seperti anjing saja yang dapat dilakukannya. Cerita ini menjadi dasar atau pembuktian atas pandangan mereka bahwa pembelajaran bahasa adalah satu kebiasaan.
Sebagai contoh yang lain, dapat digambarkan sebagai penguatan atas pandangan mereka, yaitu orang yang berlatih sepeda kemahiran bersepeda diperoleh karena adanya latihan terus menerus berlatih. Sama halnya dengan pengajaran bahasa, untuk memperoleh hasil yang baik perlu adanya latihan terus menerus. Berkaitan dengan habit atau kebiasaan ini di dalam pengajaran bahasa diterapkan metode drill and practice, yaitu suatu bentuk latihan yang terus menerus sehingga akhirnya akan membentuk suatu kebiasaan.
Pandangan struktural tentang pengajaran bahasa dengan kebiasaan kemudian dibantah oleh paradigma mutakhir yaitu paradigma transformasi.  Sebagai wujud dari reaksi keras atas paradigma strukturalis yang menganggap bahwa proses berbahasa adalah faktor kebiasaan, atau hasil dari stimulus dan respon. Pada akhir era 1950-an, Chomsky yang merupakan pelopor aliran transformasi memberikan paradigma baru terkait dengan proses berbahasa pada manusia. Paradigma transformasi berpendapat bahwa proses berbahasa itu bukan sekedar proses fisis melainkan proses mental yang terjadi di lapis dalam otak manusia (deep strukture) yang kemudian di transfer ke lapisa permukaan (surface strukture). Dengan demikian teori ini sangat erat kaitanya dengan psikolinguistik.  
Dalam pengajaran bahasa, banyak metode yang telah dilahirkan antara lain metode psikologi dan metode kognitif. Terkait dengan bahasa sebagai faktor innate (warisan, turunan) paradigma transformasi beranggapan bahwa ketika anak dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu mempelajari suatu bahasa. Alat tersebut disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (language acquisition device/LAD) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka.
Brown (2000:24) menyatakan bahwa LAD terdiri dari empat properti kebahasaan bawaan, yaitu: (1) Kemampuan untuk membedakan bunyi ujaran manusia (speech sounds) dari bunyi lain dalam lingkungan. (2) Kemampuan untuk mengorganisir data kebahasaan menjadi beragam kelas yang dapat diperhalus atau diperbaiki di kemudian hari. (3) Pengetahuan bahwa hanya jenis sistem kebahasaan tertentu yang mungkin untuk digunakan dan jenis sistem lainnya tidak mungkin untuk digunakan. (4)  Kemampuan untuk melakukan evaluasi secara konstan terhadap sistem kebahasaan yang terus berkembang sehingga dapat membangun sistem yang paling sederhana dari masukan kebahasaan yang ada.
Sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana manusia mempelajari bahasa, Bell (1981:24) juga berusaha mengajukan beberapa pandangan Chomsky, yaitu: (4) Aktivitas yang terjadi di dalam pikiranlah, misalnya cara memproses, menyimpan dan mengambil pengetahuan dari simpanan tersebut, yang merupakan pusat perhatian utama dan bukan perwujudan secara fisik dari pengetahuan. (2) Pembelajaran merupakan masalah “penerimaan secara masuk akal” dari data yang diterima otak melalui panca indera. (3) Kemampuan individu untuk merespon situasi baru dimana jika hanya berbekal kebiasaan stimuli-respon semata tidak akan dapat membuat individu tersebut siap. (4) Pembelajaran merupakan suatu proses mental karena adalah lebih baik untuk mengetahui dan tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata daripada berkata-kata tanpa pemahaman.
            Sebagai contoh pembuktian atas penguatan pandangan mereka adalah Di sebuah desa di Perancis, pada tahun 1800, ditemukan anak laki-laki berusia 11-12 tahun yang tinggal di hutan dan sering menyusup ke desa untuk mencari makan. Ketika tertangkap dan dididik oleh direktur Institut Tuna Rungu yaitu Dr. Sicard, anak tersebut tidak dapat berbicara seperti manusia lain. Kemudian ia dididik oleh ahli lain, Jean-Marc-Gaspard Itard. Dibawah asuhan dan didikan yang baru ini, pola laku kehidupan Victor, nama yang diberikan pada anak laki-laki tersebut, dapat berubah namun tetap tidak mampu menggunakan bahasa.
            Satu hal yang barangkali dapat dicatat sebagai kelemahan paradigma trnasformasi adalah segala sesuatunya harus dikembalikan ke deep structure (struktur dalam). Fenomena bahasa yang nyata hanya dianggap sebagai lapisan permukaan (surface structure). Akhirnya banyak orang yang menganggap bahwa paradigma transformasi tidak berpijak di bumi.
Referensi:
Bell, Roger T. 1981. An Introduction to Applied Linguistics.  London: B.T. Batsford, Ltd.
Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching.  New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kridalaksana, Harimurti. 2006. Kamus Linguistik. Gramedia Pustaka Utama: Yogyakarta
................................... 2002. Struktur Kategori, Dan Fungsi Dalam Teori Sintaksis. Atma Jaya: Jakarta.

Soeparno. 2006. “Aliran Dan Teori Linguistik”. Diktat Program Studi Linguistik Terapan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta..