Siapa?



Sampai hari terakhir UTS, mahasiswa mengabaikan petunjuk mengerjakan soal. Misalnya: berilah tanda silang pada jawaban yang benar, eh malah jawabnya dilingkari. Aneh kan? Belum lagi yang bawa contekan. Mereka yang bawa contekan dalam bentuk kepekan buku gitu, endingnya nggak berjalan mulus. Tunggu deh kalian ngerjain skripsi. Karena dalam mengerjakan skripsi yang diandalkan kemampuan diri sendiri. Bukan tengok kiri kanan atau ngelihat contekan. Gitu ya, adik-adikku...

Aku kira November ini akan banyak cerita. Sampai angka menunjukkan 10, belum banyak yang ingin kuceritakan. 

Sehari setelah tulisan terkahirku (yang mungkin saja, seseorang yang aku ceritakan membaca tulisan itu) tiba-tiba menelepon. Dia lupa, kalau sebelumnya kita tidak menyamakan janji, menyamakan keinginan.
Siang yang terik. Setelah menempuh perjalan Jogja-Solo dengan sepeda motor, bermodalkan tulisan petunjuk jalan (dan baru ngeh kalau Klaten itu lumayan luas, kalau Boyolali itu tak sejauh yang kupikirkan) sampai juga di tempat tujuan. Terharu rasanya menanti kedatangan jamaah yang pulang dari haji. 

Masih angka 9. Datang pada angka 11. Masih lama, terlalu pagi. Mencari makan; soto. Setelah bayar dua porsi, dua es teh, gorengan kok cuma sepuluh ribu? Langsung mikir keras, danging yang kumakan barusan kalau menurut wujud dan rasa sih daging sapi. Tapi kok murah banget? Sambil berderai tawa meninggalkan ‘tempat makan kenangan’ itu. Mau kemana?

Panas yang terik, ada hamparan sawah menguning. Sepertinya berhenti dan foto dulu keren. Di bawah sebuah pohon, di hadapan kita padi menguning. Langit biru dan panas. Duduk selonjorkan kaki dengan musik yang sangat menggoda, Album Semesta Cinta ‘Sitok Srengenge’ kita bercerita. Lagi-lagi tentang masa lalu.

“Kalau jodoh kamu adalah dia, gimana?”
“Ya, nggak apa-apa. Mungkin sekarang dia takut menyapaku karena terlalu banyak meninggalkan luka.”
Foto sana-sini, melamun, merindukan seseorang.
“Lagi dimana?”
“Solo.”
“Oh, tadinya aku mau main.”
“Yah, situ sih nggak bilang kalau nggak sibuk.”
“Oh, jadi aku yang salah?”
“Ya, nanti jam dua aku pulang.”

Ternyata waktu yang sangat molor. Kedatangan jamaah haji yang lebih dari angka 11. Prepare ini itu, makan dan sebagainya jadinya pulang, setengah 5 baru sampai kos, ditambah tubuh yang kurang fit menjelang pilek. Meleren.

“Aku sampai kos jam setengah 5 tadi. Obat flu apa ya?”
“Katanya jam 2 tadi.”
“Nggak, ternyata molor.”
“Trus?”
“Ya, ngabarin aja gitu.”

Selanjutnya tak ada respon. Mungkin seharusnya memang tidak. Dan aku teringat perbincangan di bawah pohon bersamanya.

“Akhir-akhir ini aku galau. Untung aku nggak punya nomornya. Bisa-bisa aku sms dia. Sialnya, setelah beberapa tahun ditinggalkan, dia masih sering muncul di mimpiku.”

Aku juga merasakan itu, dan tindakan yang benar adalah sama sekali tidak menghubungi, kalau pada akhirnya akan membawa kecewa. Haruskah menghapus kontak? Aih, sepertinya kau tak bisa.
Hari ini hari minggu. Seminggu sudah tak ada kabar. Siapa yang pantas marah? Siapa?

10 November 2013