Meski ini masih menjelang pagi, tak ada salahnya kan aku memanggil seperti itu?
Akhir-akhir ini langit juga biru. Melahirkan hawa panas, nafsu, rindu dan perasaan lainnya. bagaimana dengan perbincangan kita yang dulu? Adakah hasrat untuk melanjutkan sampai pagi seperti pagi ini. Namun tak kutemui tanda hijau sinyalmu untuk melayaniku. Ya, melayani segala debat kita, bahasan tak ada habis tentang cinta. Cintaku, cintamu, cinta siapa saja yang pernah menyapa.
Bukan ande-ande lumut yang menjadi lakon. Tapi andai-andaian. Andai aku menjadi diriku sendiri yang terkungkung emosi sedang kamu yang menjadi dirinya. Tapi ah, karena ini pengandaian, kamu kurang pantas memerankannya. Pribadi yang berlainan. Oposisi. Jawaban bijakmu, membelai kata-kata untuk melayani cerca bukan seperti caranya. Mungkin ini cara kita mengetahui karakter. Aku yang meninggi dan kamu yang meredam. Langit biru, ah...
“Aku tak suka lelaki necis, rapi.”
“Seperti aku yang cuek.”
“Kamu tak pernah menawar, bagamana aku menjual.”
“Sekarang juga aku akan membeli.”
“Cinta bukan urusan jual beli. Uang. Aih...”
“Karena pelarian yang lebih nyaman.”
“Tapi, jika menemukan yang pantas, aku menggugurkan semua kriteria.”
“Sama saja.”
“Nanti, aku akan datang. Untuk dirimu.”
“Aku akan menyiapkan persembahan.”
Langit biru, aku jatuh cinta. Belum dengan dirimu. Maukah kamu mengalihkan semuanya? Agar aku tak menjalani ini dengan kebodohan.
“Oh, bukanlah cantikmu yang ku cari...”
Pagi ini aku merindu. Sangat. Sampai dongkol ditemggorokan akan pecah menjadi air mata. Mungkin sampai yang membaca ini iri dengan cinta yang kumiliki.
Maka bila yang terindah adalah perpisahan
usaplah sungai pipimu
jangan biarkan yang berlalu menjadi sesal
berikan sebuah senyuman
atau sebuah kecupan
Takdir mempertemukan, tapi tak menyatukan.
Pertemuan yang masih. Perpisahan yang pasti. Senyuman yang selalu dan kecupan yang menyertai. Langit biru, ini bukan sesal, bahkan aku tak bisa mengusap sendiri sungai di pipi. Adakah kamu mau membantu? Mengulurkan tangan untuk mengusapnya.