Artikel tentang Penderita Bipolar Disorder/ Articles on Patients with Bipolar Disorder

Artikel tentang Penderita Bipolar Disorder
(Sumber/ source:Alfikih, Hana.2014.”Alihkan Lewat Terapi Seni”. Dalam Jawa Pos,18 Januari 2014.)
(Rewritten by Dimas Erda Widyamarta: www.ithinkeducation.blogspot.com)
            Masa kecil Hanna Alfikih penuh ketakutan dan penolakan yang membuatnya depresi. Ketika mendatangi psikiater, dia baru tahu bahwa dirinya mengalami gangguan bipolar. Bagaimana dia mengendalikan perubahan emosi yang ekstrim? “Saya sadar yang berbeda dalam diri saya, tapi apa itu, saya tidak tahu. Lelah rasanya menjalani hidup seperti tiu. Saya masih muda, tapi kenapa depresi tiap hari.”
            Saat ditemui di apartemen di kawasan Jakarta Selatan pekan lalu, Hana tampak ceria. Senyumnya tidak henti mengembang di bibirnya. Begitu juga saat menceritakan gangguan bipolar (bipolar disorder) yang dirasakan sejak kecil. Termasuk saat membeberkan masa tersuram dalam hidupnya. “Masa kecil saya tidak seperti teman yang lain. Puncaknya, saat remaja, itu parah-parahnya. Saya sampai ingin bunuh diri,” buka Hana.
            Dia tidak ingat pemicunya dengan jelas. Suatu ketika Hana merasa ketakutan hebat, bila bahagia juga terasa berlebihan. Hana juga kerap dihantui mimpi buruk. Seperti ada bayangan hitam yang mengikuti dan membuat dia berteriak histeris. Saat depresi menyerang dia bisa berlama-lama di kamar mandi bermain air sendiri.
            Di sisi lain, dia kerap menemui perbedaan pandangan dengan orang tuanya. Anak kedua di antara empat bersaudara itu hobi menggambar sejak kecil. Namun, saat mengutarakan keinginannya untuk menjadi ilustrator, orang tuanya menentang. “Orang tuaku, terutama Papa, Keras. Kalau bilang A, harus A,” ucapnya.
            Pertengakran dengan orang tua bukan sekali itu saja. Hampir tidak ada hari yang dilalui tanpa pertengkaran. Hana merasa berbeda dari saudaranya. Dia merasa asing di tengah keluarganya sendiri. Dia pernah dibawa untuk menkalani pengobatan alternatif dengan rukyah. “Pernah, pas ada tamu, saya malah disuruh masuk kamar. Sempat ada perasaan ditolak oleh keluarga sendiri,” ungkapnya.
            Hana beranjak remaja merasa lebih bebas ketika berada di luar rumah. Lingkungan pergaulan membuat Hana sudah mengenal rokok, alkohol, hingga drugs ketika remaja. Hana kerap kabur dari sekolah. Diusir dari rumah, lantas “menginap “ di masjid. “Saya sadar ada yang berbeda dalam diri saya, tapi, itu apa... saya tidak tahu. Lelah rasanya menjalani hidup seperti itu. Saya masih muda, tapi kenapa depresi setiap hari,” tutur perempuan yang menolak menyebutkan tanggal lahirnya itu.
            Hingga suatu ketika, saat Hana kabur dari rumah dan menginap di rumah teman, teman tersebut mengajak dia menemui psikiater, “Itu kali pertama saya mendengar tentang skizofrenia, gangguan bipolar dan manic depressive,” ucap perempuan bertubuh mungil itu.
            Pernah berganti beberapa psikiater hingga dia bertemu dengan dr Hervita Diatri SpKJ. Kepada Hervita, Hana bisa menceritakan semua yang dirasakan sejak kecil. “Beliau orang sangat mengerti saya, Beliau juga yang menjelaskan kondisi saya kepada orang tua,” kata Hana, yang kini memilih tinggal sendiri di apartemen.

            Perlahan-lahan, Hana mulai bisa “berdamai” dengan gangguan bipolar. Dia mengendalikan perubahan emosinya. Dengan cara apa? Hana mengalihkan itu kepada seni. Perempuan yang biasa dipanggil Alfi ketika di rumah itu hobi menggambar dan mendesain sejak kecil. Saat mengurung diri di kamar. Dia belajar sofware adobe photoshop dan illustrator. Hasilnya, Hana sering mendapat job mendesain poster. Sekitar tiga tahun silam desainnya dibeli oleh produsen korek api untuk dijadikan desain korek api collector’s item. Tidak hanya itu, perempuan yang hobi membuat puisi tersebu juga menjadi freelance designer untuk beberapa majalah. “Penderita bipolar perlu pengalihan. Buat saya, art therapy ini sangat  berperan dalam mengontrol mood swing,” katanya. Seseorang perlu memiliki ‘kegilaan’ untuk membuat karyawan yang menawan. Di antaranya, pelukis Vincent van Gogh. “Mereka itu orang yang struggle dengan manic depressive dan bipolar disorfer. Kalau tidak menderita bipolar, mungkin Van Gogh tidak akan menghasilkan karya se-masterpiece itu,” paparnya.