Perkenalkan Konsep Ibadah kepada Anak, Psikologi/ Introduce the concept of worship to the Son, Psychology

Perkenalkan Konsep Ibadah kepada Anak, Psikologi
(Sumber/ source:Karunia, Nurlita Endah.2014.”Menyenangkan, Bukan Paksaan”. Dalam Jawa Pos,18 Januari 2014.)
(Rewritten by Dimas Erda Widyamarta: www.ithinkeducation.blogspot.com)

            Dalam masa tumbuh kembang, anak hendaknya diberi pemahaman mengenai konsep beribadah. Lebih baik lagi dimulai sejak dini. Dengan demikian, anak memiliki kebiasaan positif yang dibawanya sampai dewasa.
            Mengajari anak untuk beribadah tidaklah sulit. Aat tepat untuk memperkenalkan kebiasaan baik itu bisa dimulai pada umur dua tahun. Pada usia tersebut, menurut Nurlita Endah Karunia Spsi Mpsi, anak mulai tanggap akan lingkungan sekitar. Paling mudah memberikan contoh kebiasaan sehari-hari. Dengan demikian, anak lebih mudah menyerapnya. “Bagi yang Kristen, tiap Minggu mengajak anak ke gereja. Sedangkan, yang beragama Islan memberi contoh salat. Disesuaikan dengan kepercayaan masing-msing,” jelas Nurlita yang berprofesi sebagai psikolog.
            Pada dasarnya, kesadaran spiritual sebelum usia 12 tahun masih dalam taraf kebiasaan. Artinya, anak mengerti ibadah dari kebiasaan lingkungan keluarga atau orang terdekat. Mereka melaksanakan ibadah karena memberi rasa aman dan kehangatan. “Hal tersebut tentu saja didapat si kecil jika keluarga memberikan contoh yang baik tentang beribadah,” kata dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya itu.
            Si kecil menyukai apa pun yang membuatnya tertarik. Orang tua, misalnya, dapat memanfaatkan hari besar agama untuk memupuk pengetahuan spiritual si kecil. “Misalnya, saat Lebaran dan Natal, anak ikut berkunjugn ke kerabat terdekat. Pada saat itulah, bunda bisa menyelipkan pengenalan tentang beribadah,” tutur dosen kelahiran 15 Oktober 1983 tersebut. Momen membahagiakan tersebut memperkaya pengalaman si kecil. Mereka turut bergembira karena bertemu dengan teman dan kerabatnya.
            Selain itu, bunda bisa mengajari anak tentang spiritualisme dengan cara yang menyenangkan. Tujuannya, anak dapat menyerap ilmu tersebut tanpa tekanan atau malah paksaan. “Misalnya, saat liburan ke suatu tempat yang memiliki pemandangan indah, bunda memberikan pelajaran tentang rasa syukur saat melihatnya,” ujarnya perempuan berjilbab itu.
            Beda lagi halnya jika orang tua menuntut dan memaksa anak untuk melakukan ibadah. Ada kemungkinan mereka bosan. Bisa juga, anak trauma serta tidak ingin mengulang hal tersebut. “Ajari anak dengan cara menyenangkan. Anak akan melakukan berdasarkan gerakan hatinya, bukan paksaan orang lain.” Tegas perempuan 30 tahun itu.
            Ada pula yang perlu dipersiapkan orang tua. Yakni, munculnya dari si kecil seputar ibadah. Meski pertanyaan konyol dan tak terduga, menurut Nurlita, orang tua wajib menjelaskan. “Anak pasti selalu ingin tahu. Orang tua tidak boleh mengabaikan, justru harus memberikan penjelasan yang mudah dipahami anak,” terang Nurlita. Apalagi rasa penarasan itu bisa dimanfaatkan sebagai wadah penanganan ajaran spiritual.

            Yang perlu dipahami, anak belum mampu mengendalikan diri. Orang tualah yag berperan memegang kendali. Bila perlu, ingatkan anak dengan cara mudah dimegerti. “Jangan sampai merugikan orang lain. Misalnya berteriak-teriak di rumah ibadah,” ungkapnya.