Dia...

Berakhir seperti ini. Nyesek tentu saja. Tapi berjalannya waktu bisa mengalihkan semuanya. Aih, ibuku aja bisa melihat mantan-mantannya menikah dengan orang lain, kenapa aku nggak? Ha ha ha…

“Semalam aku onlen, melihat dia bersama foto gebetan barunya. Jadi gimana gitu, sepertinya dia sudah semakin tinggi. Keliling Eropa mungkin. Kita kapan ya?”
“Ya, cinta memang kadang gitu. Kita sudah susah payah berjalan keluar, bertemu dengan tempat baru. Tapi tetap saja ingin pulang. Sayangnya, di tempat yang lama sudah ada penghuni baru.”
“Kalau gitu mending kita ke PH aja. Yang tua yang bayarin.”
“Sebagai manusia kita harus tolong menolong.”
“Ha ha ha…”

Wisuda. Bahagia tentu. Untung sedang bersama mereka, untung banyak temennya, untung lagi nggak di kos dan sendirian. Meski tidak hujan, tetapi seperti tersambar sesuatu, di sini. Di dalam hatiku. Tapi aku bahagia. Setidaknya tidak sedang sendiri. Begitu saja.

Selamat untuk gelas M.Si. nya kembaranku. Kita memang nyaris sama, hanya saja aku terlahir dengan kulit yang lebih gelap. Ha ha ha… tinggi badan sama, berat badan sama, tingkat kecerdasan? Yo, lumayan lah. Aku nggak tertinggal jauh banget sama kamu yang baru saja menyelesaikan S2 dengan IPK 3, 85.  Harus bilang waw!!!

“Heh, kok bengong.”
“Aku sedang memikirkan apa lagi yang membuat kita berbeda selain kulitku yang lebih gelap dari pada kulitmu. Ha ha ha…”

Orang di dalam bus, yang ada di sampingku ini mungkin sebentar lagi juga akan menikah. Itu perbedaan kami yang lainnya. Sebenarnya, selain memikirkan berbagai perbedaan, aku juga memikirkan diriku. Mendung, sore yang redup, kegalauan dan rasa nyesek. Nyesek banget. Ciusss…

“Dia, adalah orang yang special di atara yang lain.”
“Dia, adalah seseorang dalam masa lalu yang tak mungkin kulupakan.”
“Dia, adalah kenangan yang tak mungkin masuk dalam kotak sampah.”

Berharap di dalam otak orang itu akan muncul kata-kata barusan. Hanya saja, aku lebih yakin bahwa yang ada dalam otaknya adalah:

“Dia, adalah perempuan cantik terbodoh yang pernah kukenal.”