Mancing Emosi



Saya akan bertemu lagi dengannya. Sama seperti dulu-dulu. Kami bersama-sama dengan yang lainnya. Biar saja, kami hanya menuruti apa yang telah digariskan. Sama seperti sangkalan yang selalu saya katakan mengenai orang yang dapat memenuhi kriterianya.

Memang, tidak semuanya ada dalam diri saya. Tapi pada kedalaman matanya saya tahu. Ada waktu di mana kami bisa melanjutkan apa yang dulu bahkan belum dimulai. Saat ini bisa saja menjadi waktu yang tepat.
Saya sering mendengarkan ceritanya tentang cinta yang belum usai. Sejak saat itu saya mulai paham dengan kepribadiannya. Lebih-lebih dia bisa menerima segala yang saya ceritakan, keluh kesah, kekecewaan, keberhasilan dan sebagainya. Dia menanggapinya dengan sangat lembut. Seperti saya menanggapi cerita kesalnya mengenai beberapa hal tidak penting yang masih saja mengusik.

“Nanti bisa kubawakan kue. Walaupun ini sudah lewat tanggal ulang tahunnya.”
“Oke. Sambil merayakan yang baru saja lulus.”
“Iya, yey! Bakar-bakaran.”
“Kemarin aku ditanya mengenai kekasih.”
“Trus, kamu jawab apa?”
“Aku bilang, gebetanku masih disimpan kekasihnya.”
“Ha...ha...ha...”

Salah satu yang membuat saya tertarik adalah tulisannya. Yang bisa menyenggol perasaan pembaca. Yang membuat pembaca ke-GR-an tentang tulisan-tulisan itu. Yang membuat pembaca seolah menjadi tokoh yang ia gerakkan. Bahkan, ada yang masih saja mengumpatnya karena tulisan. Dan, dia yang mengumpat itu tak sadar jika bicaranya akan dilupakan, tapi tulisan tidak. Juga mengenai hal-hal yang diciptakan melalui pikiran.

“Kadang, cinta itu memang begitu buta. Ingin menyangkal bahwa kekasihnya yang bersalah dengan sasaran mantan.”
“Itu berkaitan dengan raga, rupa dan harta.”
“2-1 boy!”
“Mari mulai sekarang, kita sebut perempuan yang seperti itu adalah ‘perempuan yang sakit’, bagaimana?”
“Terlalu sibuk dengan anggapan-anggapan sendiri, padahal nol besar.”
“Oke, kamu cukup cerdas untuk menghentikan semuanya. Cintamu lebih penting.”
“Seperti kekasih yang masih disimpan kekasihnya.”
“Sstttt....”