Nggak Suka, Nggak Baca



Ngampus, acara sastra, ngisi presensi. Ketika ada kolom ‘delegasi’ nah, binggung tuh nulis asal usulku. Acara bedah kumcernya Pak Ahmad Tohari. Sastrawan yang menulis Ronggeng Dukuh Paruk itu lho. 

Bekisar Merah, Belantik, Orang-Orang Proyek dan Bulan Kuning Sudah Tenggelam. Sebuah cerpen favoritku. Sekarang buku bersampul kuning Mata yang Enak Dipandang juga sudah menatapku lewat sampul mata perempuan dengan alis sempurna, cantik. 

Pertama membaca ketika jaga ujian. Pastinya ngantuk kalau cuma nungguin orang ngerjain soal selama 90 menit. Awalnya yang bawa kumcer fotokopian itu si temenku. Menemukan ditumpukan meja dosen yang jarang ngantor. Pinjem pak, maaf jika menjadi kucel. Itu adalah perbuatan kami. Kami sudah lulus, jadi minim lah dituntut akan hal ini. Ihik!

Aku seperti masuk di dalamnya. Sialan! Ini keren banget. Apalagi yang nulis laki-laki. Ou... tengkyu Pak Ahmad Tohari.

Aku tidak banyak berharap dengan kehadiran beberapa orang malam tadi. Malah bersyukur. Karena aku bukan tipe orang yang bisa bersikap biasa ketika bertemu dengan manusia masa lalu (kecuali buat Al, sebuah kenangan yang tak kan masuk dalam ranjang sampah). Walaupun sudah tak ada rasa, masih saja malas bertemu dengan mereka yang berasal dari masa lalu.

Maaf saja, aku juga bukan manusia bermuka dua yang sok-sokan biasa bertemu dengan sepasang mantan gebetan atau sepasang mantan kekasih. Aku tipe orang yang tak bisa menyembunyikan rasa malas. Mungkin karena aku tak mendapatkan ilmu seperti ini, ilmu merubah wajah. Yang kutahu ilmu menulis, mengungkapkan hati dengan cara berbeda, dengan cara cerdas. Cerdas berbeda dengan munafik lho ya. Sebuah kata yang sering jadi sesumbar seseorang. Intinya, jika nggak suka jangan baca.