Kemarin, aku baru saja mengunjungi masa lalu. Pertemuan dahsyat seperti biasanya. Cerita-cerita yang sangat yakin tak didengar, karena pikiran yang entah ke mana. Tetapi itu sudah biasa. Ya!
Aku menyebutnya mengobati rindu. Setelah beberapa kali tak juga bertemu, kemudian kecewa. Beberapa lalu aku menyebutkan ini berulang. Dan kembali berulang. Hebat bukan? Mungkin ini sebuah isyarat, kalau kami seharusnya tidak dipertemukan. Jika itu yang diinginkan, aku meminta untuk tidak melihatnya ketika aku masih berada di semester tiga lalu.
Perbincangan kita tak cukup dengan alat bicara. Tidak cukup mulut. Karena seperti yang kubilang, ketika aku bicara lebih sering tak kau dengar. Ingin rasanya melayangkan sebuah surat lewat pos. Agar aku tahu maksudmu dan kamu tahu maksudku. Atau memang sebenarnya kita sudah tak ada ikatan sambung. Sekalipun itu hanya bicara. Mungkin kita memang harus bertindak. Seperti saat ini.
Ketika mendengar suara malam-malam dan kabar penjemputan, ingin rasanya terbang dan sampai di sisimu saat itu juga. Kemudian menghabiskan malam bersama. Sayangnya itu tidak pernah terjadi. Tak akan.
Pada kunjungan menuntaskan rindu, kembali kutatap wajah yang sangat akrab. Di sela derai tawa itu, aku baru menyadari. Melihat kedua alis yang bertemu, memaksa lesung pipi itu muncul. Ah... aku sangat sedih. Aku ingin menangisi diriku sendiri yang masih saja seperti ini.
Semoga ini bulan terakhir aku mengunjungimu. Semoga tidak ada lagi rindu yang mendesak menuntut temu.
Aku titipkan kecupan melalui daun jambu depan rumahmu atau buku-buku yang selalu setia di situ.
Aku pulang.
Kemudian, aku menerima undangan. Mungkin sebuah pintu keluar dari kunjungan masa lalu itu. Belum bisa melihat nyata siapa yang berada di balik pintu itu nantinya. Tapi, semoga saja itu kamu.
Kemarin malam. Aku mengunjungi masa lalu sekaligus bertemu masa depan.
Aku titipkan doa pada kerikil-kerikil yang tertimpa temaram lampu malam. Semoga sebanyak itu harapan untuk kita bersama.
hampir setahun, dengan baju yang sama kita kembali berjumpa. |