Satria atau Sudra?



Hari itu, siang menjelang senja. Senja? Kata ini cukup sering dipakai di mana-mana. Awalnya aku menyukainya juga, tetapi yang biasa ini menjadi hambar. Oke, sebutlah hari itu menjelang sore. Memasuki sebuah ruangan. Mood menggebu untuk tahu isi dalam sebuah kresek berwarna putih. Setelah melirik, aku membatin sambil berdoa dalam hati, semoga aku nanti bisa menyusul. Walaupun itu entah kapan. Tak apa. Tiba-tiba saja ada pesan masuk. Sejak itu aku meninggalkan semua. Jam sudah menunjuk angka dimulai kerja. Mood memang buruk, tapi derai tawa masih. Menertawakan hal yang berulang. 

Aku sembarang membuka pesan itu, meletakkan bergitu saja. Kemudian beberapa menit kemudian, bahkan sampai kerjaan selesai, ada manusia yang asyik sekali duduk di pojokkan. Aku penasaran dengan apa yang dilakukan.

Pulang.

Dan aku tahu jawabannya. Setelah dengan tertawa ngakak membaca pesan-pesan mengesalkan itu menjadi sangat lucu. Terima kasih hiburan kemarin sore!

Sampai pada hari ini. Tentang kaset kusut yang memutarkan lagu kenangan usang. Aku ingin membuang kaset itu jauh-jauh. Memang, katakanlah untuk menanggapi orang gila itu ya ikut gila. Kemudian jika gila karena cinta itu sudah terlalu, mending aku menjadi satu-satunya orang yang waras. Dan aku tahu, aku cukup cerdas mengambil pilihan itu.

Karena aku sudah memilih beralih dari gila menjadi cerdas, aku akan mengahiri pembicaraan ini. Mari menengok masa laluku yang beberapa hari lalu kukunjungi. Atau masa depan yang sudah di pelupuk mata?
Dear, sampai bertemu bulan depan. Mungkin ketika usia memasuki 23 pada angka yang sama. Dampingi tumbuhku nanti, sampai daun-daun ini semakin lebat, sampai tumbuh beberapa bunga lagi yang beberapa hari lalu sempat kau gugurkan, dan semoga bisa meneduhkan. Meski sepenuhnya aku sadar, jika tumbuh itu dibarengi dengan angin yang semakin kencang. Tetap tengok aku, tetap di sisiku, mendampingi, menawarkan diri jika aku perlu. Kadang, angin membuat aku goyah. Menggugurkan dedaun yang sudah kurawat benar, seperti merawat bunga yang dahulu. Lihatlah, sepertinya bunga yang jatuh itu akan kembali tumbuh dengan kuncup yang baru, bukan bunga usangmu yang terus menerus kupaksa mekar kembali. Dan itu mustahil. Tetaplah di sisiku.

Bulan ini, kau juga tumbuh. Jika setahun lalu, ini awal yang menyedihkan, semoga tahun ini terjadi keterbalikan. Sampai bertemu, pada sebuah ruangan yang sudut terkecilnya kuketahui. Seperti dirimu, seperti diriku.

Menjadi Satria atau Sudra itu pilihan.

Memunggut serpihan itu sama saja dengan berubah kasta menjadi Sudra. Dan sampai sekarang, saya masih seorang Satria. Paham?