Hari ini, saya kembali bertemu dengannya. Seperti biasa, wajah ceria yang melekat. Ia melambaikan tangan, bukan untuk saya.
“Heh, pacaran kok nggak pernah sms. Siapa yang ujian?” Dia bertanya kepada teman saya. Saya baru tahu kalau mereka pernah lucu-lucuan menyebut ‘pacaran’.
“Baik bro.”
Dia memakai baju ungu. Berdiri di hadapanku. Bercerita, emm tepatnya berkicau ke sana ke mari. Sambil mengambil roti yang saya sodorkan. Sangat nikmat caranya menikmati. Kemudian ia kelelahan berdiri, menunyingkirkan tas hitam saya dan duduk membelakangi beberapa snack. Sepertinya dia sangat kelaparan. Kemudian kami bercerita macam-macam.
Pada sudut lainnya, mata ini lupa memperhatikan. Kursi cokelat itu tidak lagi sendiri. Beda dengan kami yang berempat, ia duduk menekur tanpa teman. Dari pandangan matanya ada kebencian. Teman di samping saya menyadarkan kehadirannya. Ia tiba-tiba berdiri.kami semua mengamati. Lantai tempat kami berpijak bisa saja bergoncang karena jejaknya. Namun, ada yang lebih tergoncang; hatinya.
Saya menatap dia yang duduk di samping saya. Tanpa sengaja formasi ini. Dan saya masih menunggu jawaban apa yang diberikan oleh waktu.