Jalan Cekal



“Tetap berjalan, tak seharusnya tetap tinggal di rumah yang lama. Karena rumah yang kamu tuju, bukan yang menghampirimu.”

Hampir saja! Nyaris! Kaki ini melangkah keluar dari kediamanmu. Bukan karena suara sumbang di luar sana yang menceritakan perangaimu. Bukan. Tetapi karena suatu saat, kalau bukan sekarang ya nanti-nanti pasti akan terjadi. Aku sudah menghendaki saat itu tiba. Tapi mengapa kamu menjegal kakiku. Membimbing untuk memasuki kediamanmu lagi. Reaksiku? Menuruti maumu. Sudah?

Harusnya aku memasang kaca mata kuda. Agar penglihatanku lurus. Juga menyamarkan pesona yang beberapa hari lalu sudah dikikiskan oleh orang lain. Nyatanya? Ah. Kamu!

“Mengapa kita harus seperti ini lagi?”
“Segeralah punya pendamping. Agar kita bisa menghentikan semuanya.”

Kamu itu nggak mikir ya!

Gimana aku mau punya pendamping kalo kamu aja juga nggak punya? Nunggu aku punya pendamping gitu? Mustahil! Soalnya aku menunggu kamu untuk memulainya. Kamu menunggu aku memulai, sedang aku menunggu kamu memulai. Ah, habis lah usia kita untuk saling menunggu. Padahal dengan jelas kita tidak mungkin bersama.

“Kamu sekarang berbeda. Lebih tegas, lebih berani.”
“Ya! kamu itu siapa? Ada alasan buat menghormati seperti dulu?”
“Oh, jadi kamu nggak menghormati aku?”
“Stratanya sudah berbeda. Sebenarnya aku yang asli ya seperti ini. Yang dulu itu aku hanya menyamar.”
“Ha ha ha...”

Derai tawa. Kita melupakan perbincangan serius. Berubah dengan tingkah kita yang serius.
Awalnya, kukira tidak akan lagi merebahkan tubuh pada tempat tidur ini. Menginjakkan kaki pada lembut karpet berwarna hijau (hya! Warna kesukaan kita).

Kamu masih ingat tentang Marja? Jadi kedatanganku bukan untuk kamu. Tapi aku menggunakan kamu untuk kepentingan diriku. Bagaimana?

“Au... hidungku sakit karena tulang pipimu.”
“Sini biar sakitnya hilang.”

Kecupan di hidung. Aku pulang.