Kangen



Kutatap gerak nyaris sifat diam di basah bibirmu
Kuhirup nafas baru untuk hidup esok pagi
Di hangat tubuhmu kutikam dendam hingga enyah dingin kali ini
Di desah nafasmu kusembunyikan kekalahan


Perjamuan kita sampai di sini. Sudah. Gerak bibirmu tak nyaris diam. Malah dengan lincah menurutku. Bertutur tentang masa depan, masa depanmu. Tanpa aku. Rencana-rencanamu. Tanpa aku di sisimu.
Kuhirup napas banyak-banyak, memang benar untuk bekal hidup esok pagi. Yang jelas tanpa kamu. Menampung sebanyak udara. Jika suatu saat waktu yang amat sial mengharuskan bertemu denganmu menggandeng yang lainnya, aku bisa tetap bernapas dengan cadangan oksigen yang sudah banyak kuhirup. Tapi apa? Mendapat pesan singkat saja sudah membuat pusing seperti darah rendah. Berdebar, tidak jelas.
Di hangat tubuhmu ingin lebih lama kubenamkan wajah, tubuhku. (au au *opojal). Di desah nafasmu memang selalu kusembunyikan kekalahan. Mendatangimu saja sudah sesuatu kekalahan, apalagi sampai meringkuk berlindung dalam hangat tubuhmu serta menikmati desah nafasmu?
Ketika kamu bersama yang lain, aku ra popo *emot nangis gulink gulink.

“Boleh peluk?”
Pelukan terakhir dan kubenamkan bibir pada pipi kanan yang menyembunyikan lesung pipimu.