Tyas, Tetes Hujan Pertama
“Pak, bagaimana ini. Kalau mau masuk sekolah tahun depan, Fari usianya belum genap 7 tahun.”
“Ya, mencari sekolah lain saja Bu.”
“Itu sekolah favorit pak, RSBI. Ibu ingin yang terbaik untuk Fari.”
“Terbaik itu juga berarti termahal ya Bu?”
Senyap. Tak ada jawaban.
***
Langit menyampaikan isyarat melalui hitam pekat awan, gemuruh di ujung sana sayup-sayup mulai terdengar. Memasuki bulan November yang basah. Hawa dingin mulai menyapa mereka para pejalan kaki yang bergegas. Ingin melindungi diri dari terpaan hujan. Rintik gerimis yang sebentar lagi menjadi hujan lebat.
Sementara mereka berlomba menghindari hujan, aku dan beberapa orang lainnya sibuk memerhatikan langit. Berharap hujan lekas reda dan melanjutkan tujuan masing-masing.
“Hm, masih berapa lama lagi terjebak di sini.” Gumam anak perempuan di sampingku. Badannya kurus dan kumal. Baju seadanya, tanpa alas kaki. Ada sesuatu yang ia pegang di tangan kiri, plastik besar tak kalah kumal dengannya. Isinya ada beberapa botol bekas plastik serta di tangan kanannya mengempit koran dan kardus bekas. Jika kuperhatikan, usianya sekitar 10 tahun. Tiba- tiba dia menengok ke arahku. Tatapan mata yang cerdas. Aku tersenyum kecut sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal, mengalihkan mataku.
“Mau kemana Mas?” tanyannya membunuh sepi. Di depan kami, hujan sudah menghujam bumi.
“Eh, mau ke pulang, kamu mau kemana?”
“Oh, Tyas mau setor barang.” Sambil mengangkat plastik dan menunjukkan barang yang dikempitnya, kalimat itu meluncur dari bibirnya. “Mas benci hujan tidak?” lanjutnya.
“Memang kenapa?”
“Hujan itu seperti nasib saya. Tetesan pertama yang jatuh ke bumi, kemudian didesak dengan tetesan selanjutnya yang kian banyak menghujam. Seolah berebut tempat di bumi dan menyuruh lainnya menyingkir. Dan saya adalah tetesan pertama yang tersingkir.”
“Maksudnya bagaimana?” aku masih belum mengerti maksud perkataannya.
“Eh, hujannya sudah lumayan reda. Saya harus bergegas. Mamak menunggu di rumah. Sampai jumpa lagi.”
Tyas, nama yang tadi ia sebutkan, berlari menyeberangi jalan. Cipratan air membuatnya semakin lusuh. Ada sesuatu yang masih menggantung dalam percakapan kami. Ternyata hujan hanya singgah sebentar, walau mendung masih menggantung. Ah, aku menjadi orang terakhir yang meninggalkan depan gedung tempat berteduh ini. Sebuah sekolah megah nan angkuh. Di dalamnya riuh anak-anak yang berjejal ingin pulang. Waktu sudah sore, aku bergegas.
***
Rumah masih sepi. Aku pulang disambut wajah cerita Fari, adikku. Ia bergelut dengan tanaman dan sedikit tanah di depan rumah. Jelas terlihat kotoran yang menempel di baju dan kakinya. Sepertinya ia menikmati hujan yang tadi sempat turun sebentar.
“Hore Mas Alam sudah pulang.” Sebuah teriakan ucapan selamat datang.
Belum sempurna aku memasuki rumah, Ibu menyambutku dengan senyum, kemudian senyum itu berubah ketika melihat Fari yang masih saja setia dengan mainan yang jarang ia temukan.
“Fari, mandi dulu. Sudah sore!” sebuah perintah mutlak yang harus dipatuhi sebelum keluar beratus kata yang sering kami sebut omelan.
Malam ini aku dan Bapak banyak bercerita tentang kegiatanku di sekolah. Muncul Ibu yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Perbincangan yang tadi pagi sempat terputus berlanjut, tentang sekolah Fari.
“Fari harus masuk sekolah favorit pokoknya.” Perkataan Ibu ini sudah bosan rasanya kudengarkan.
“Jangan memaksa kalau memang usianya belum cukup. Sekolah yang Ibu sebut tidak favorit, mutunya juga belum tentu lebih baik. Semua itu tergantung Fari, mau belajar atau tidak. Percuma kalau Ibu memasukkan ke sekolah mahal tetapi Fari lebih banyak bermain. Alam bisa berprestasi walaupun tidak di sekolah favorit.” Kata Ayah sambil menatapku, seolah meminta kesepakataan dengan perkataan beliau.
“Bukan sekolah mahal Pak, tapi sekolah favorit.” Ibu tetap kukuh dengan pendapatnya. “Susah berbicara dengan Ayahmu ini Lam.” Kata ibu dengan cemberut. Sepertinya ibu juga ingin meminta dukunganku.
Kekalahan argumen membuat ibu pergi meninggalkan kami berdua.
Aku hampir sepaham dengan ayah. Bagus itu tidak harus mahal, dan mahal itu belum tentu bagus. Percuma saja mengatasnamakan RSBI, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional tetapi sampai sekarang juga masih tetap rintisan. Malah karena ada embel-embel internasional membuat biaya sekolah yang semakin meroket. Sebuah pemaknaan yang berlebihan.
Glek! Tiba-tiba saja aku ingat dengan perempuan kecil tadi, Tyas. Ceritanya tentang tetesan hujan menggelitik otakku. Benar kalau dia adalah tetesan pertama yang tersingkir. Dan orang-orang yang mempunyai pemikiran seperti ibu menyingkirkannya melalui Fari. Ah, betapa menyakitkan menjadi bagian yang tersingkir.
***
Senja hari ini sangat hangat. Mungkin karena hujan sudah membasahi Jogjaku sejak pagi, jadi ada bonus menikmati sinar matahari hangat sebelum ia tenggelam. Aku duduk-duduk di sekitar sekolah tempat beberapa hari lalu bertemu Tyas. Masih malas untuk pulang ke rumah.
Aku melihat sosok itu, di seberang jalan tempatku duduk. Ia membawa langkah kakinya ke arahku. Menyeberangi jalanan yang sudah menjadi sahabatnya. Tersenyum, dan ikut duduk di sampingku.
“Wah bertemu Mas Alam lagi.” Sapanya.
“Iya. Eh, tahu dari mana kalau namaku Alam?”
“Baju.” Ia menunjuk ke arah bajuku sebelah kanan, ada namaku tercetak di sana.
“Hari ini tidak sedih lagi ya, hujan tidak turun.” Aku memulai pembicaraan.
“Jelas, tadi Tyas juga sudah setor barang. Tapi tetap saja beberapa kardus lusuh terkena hujan siang tadi.” Keluhnya.
“Tyas tidak sekolah?”
“Tentu.” Jawaban yang ringan.
“Kenapa tidak sekolah?”
“Sekolah itu tidak menghasilkan uang, tapi membuang uang. Kalau jadi pemulung itu menghasilkan uang. Sebenarnya dulu Mamak Tyas mau menyekolahkan Tyas, tapi Tyas tidak mau. Mamak sudah tua. Kasihan mencari uang sendiri untuk Tyas.”
“Kamu pernah mengibaratkan seperti tetes hujan pertama, kemudian tetes hujan selanjutnya adalah orang-orang yang mempunyai materi lebih dari pada kamu. Bumi adalah sekolah, dan kamu tersingkir dari sekolah karena tak mampu membayar biayanya. Seperti itu?”
“Wah, ternyata Mas Alam masih ingat perkataan Tyas.” Teriaknya antusias.
“Kalau seperti itu, filosofimu itu salah. Kamu itu bukan orang yang tersingkirkan, tapi orang yang menyingkir.”
“Jika bukan karena kenyataan, Tyas juga ingin sekolah Mas. Walau tetesan hujan pertama, tetapi bisa membaur dengan tetesan hujan yang lain, menyatu. Tapi Tyas tersingkir juga karena keadaan. Hm, sudah hampir maghrib, Tyas mau pulang dulu.” Selalu saja perbincangan tak terselesaikan.
Kali ini aku menyaksikan langkah kaki itu, masih tanpa alas. Berjalan dengan langkah ringan, seringan caranya berpikir tentang sekolah. Namun, itu semua juga tak sepenuhnya kesalahan Tyas. Momok tentang biaya pendidikan yang membuatnya mundur menolak sekolah sebelum merasakan.
Kemudian teringat perbincangan Ibu dan Bapak di rumah yang belum selesai tentang sekolah Fari. Hanya mengejar sebuah kata ‘favorit’ sejalan dengan biaya fantastis, bahkan dengan syarat minimal usia. Seberapa beratkah ilmu yang akan mereka dapatkan sehingga memasang batasan usia? Apakah lebih berat dari hidup yang dijalani Tyas?
Tetesan hujan pertama tak harus tersingkirkan, ia bisa bergabung dengan tetesan selanjutnya. Kemudian bersatu untuk meresap ke dalam bumi dan memunculkan berbagai tumbuhan bermanfaat. Semoga Tyas juga salah satu bagian orang-orang bermanfaat di tengah kejamnya keadaan.
Aku pulang ke rumah, meninggalkan bangunan sekolah yang tetap angkuh, bangunan yang tak pernah dikecap sedikit pun oleh orang-orang seperti Tyas. Masalah klasik, biaya fantastis nan bengis.