DIMENSI-DIMENSI FILSAFAT ILMU
A. Pengertian dan Tujuan Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu menurut Semiawan, dkk (1999) suatu kaleidoskop yang memutar perkembangan ilmu secara sistematis sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, filsafat ilmu ialah berpikir secara ilmiah terhadap kekhususan ilmu pengetahuan yaitu tentang cara-cara memperoleh ilmu, syarat-syarat pengetahuan ilmiah, dan cara mempertanggungjawabkannya.
Kemudian dijelaskan pula oleh Bakker (1987) bahwa filsafat ilmu pengetahuan yang dimaksudkan di sini menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakikat pengertian manusia. Dapat ditemukan kategori-kategori umum yang hakiki bagi pengertiannya, jadi berlaku pula bagi semua ilmu. Kemudian diberika tempat sendiri kepada masing-masing ilmu pengetahuan di dalam jenjang bidang-bidang pengetahuan manusia.
Filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua (second-order-criteriology). Pertanyaan ditujukan kepada pelaku ilmu, berpikir tentang apa dengan mengajukan adanya fakta level bawah, yang menjadi tujuan filsafat ilmu, yaitu:
a) Karakteristik apa yang membedakan penelitian ilmiah dari penelitian lain.
b) Prosedur bagaimana patut dituruti oleh ilmuwan dalam meneliti alam.
c) Kondisi bagaimana harus dicapai bagi penjelasan ilmiah supaya mencapai kebenaran.
d) Status kognitif bagaimana dari prinsip menemukan hokum ilmiah.
B. Cara Kerja Filsafat Ilmu
Di dalam filsafat ilmu dicari kepastian, kebenaran, objektivitas ilmu yang berpangkal pada gejala-gejala ilmu, melalui deduksi yang bersifat transendetal. Seorang ilmuwan harus memiliki integritas moral-etis dalam kegiatan ilmiahnya. Dalam melakukan kegiatan ilmiah seorang ilmuwan dituntut untuk memiliki kejujuran sejak dari memilih masalah, desain, proposal, instrument, uji instrument, pengumpulan data, analisis dan penyusunan kesimpulan dan rekomendasi/saran.
1. Ontologi ilmu
Ontologi (hakikat ilmu) merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bagian filsafat. Fisika membicarakan sesuatu yang dapat dijangkau oleh pancaindera manusia yakni segala sesuatu bentuk, rupa, dapat berubah dan terangkai dengan waktu dan ruang, atau dengan kata lain, sesuatu itu adalah eksistensi, sedangkan metafisika membicarakan segala sesuatu yang dianggap ada dan mempersoalkan hakikat, sebab, dan tujuannya. Hakikat ini tidak dapat dijangkau oleh pancaindra, tidak berbentuk, tak berupa tak berwaktu dan tak bertempat. Jadi ontologi ialah bagian dari metafisika yang mempelajari hakikat dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan.
2. Epistimologi Ilmu
Istilah epistimologi (bahasa Yunani episteme) yang berarti mendudukkan, menempatkan atau meletakkan, sering dikaitkan pula dengan gnosis (dari kata gignosko) yang berarti menyelami, mendalami (Watloy, 2001:26). Kegiatan mendalami sesuatu hakikat yang wujud berarti melahirkan pengetahuan.
Epstimologi ialah cabang filsafat yang membicarakan hakikat pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, syarat-syarat memperoleh pengetahuan, kebenaran dan kepastian dalam pengetahuan serta hakikat kehendak dan kebebasan manusia dalam pengetahuan. Epistimologi merupakan bagian dari kebudayaan yang berkaitan dengan system nilai (value system). Epistimologi berhubungan dengan kultur dan jati diri manusia. Epistimologi merupakan kekuatan dasar pengembangan kultur, dan pengetahuan menjadi bagian dari kebudayaan.
Ada beberapa aliran yang mendasari lahirnya pengetahuan dan kebudayaan manusia, yaitu:
a. Skeptisisme, sesuatu aliran yang meragukan sesuatu itu benar adanya.
b. Rasionalisme dan Empirisme. Bagi rasionalisme bahwa dengan menggunakan akal saja, maka manusia dapat menemukan pengetahuan yang sangat ketat dan tak mungkin salah. Sedangkan bagi empirisme, bahwa basis penemuan pengetahuan oleh manusia ada dalam pengalaman indrawi.
c. Sejatinya skeptisisme.
3. Aksiologi Ilmu
Aksiologi membicarakan apa kegunaan nilai ilmu yang didapatkan. Setelah ilmu diperoleh, maka ilmu itu akan dipergunakan untuk kepentingan manusia. Ilmu kemudian dapat dimanfaatkan untuk memisah-misahkan, membatasi dan kemudian memilih sudut pandang yang digunakan dalam menghadapi kejadian, peristiwa, dan perbuuatan. Kemudian manusia berpeluang dapat menempatkan masalah yang murni atau peristiwa empiris tertentu saling berhubungan dan dapat diperlakukan dengan cara yang sama sehingga dapat dipandang sebagai lapangan ilmu yang berdiri sendiri. Hal itu hanya merupakan bagian dari seluruh kenyataan yang dipelajari yang menghasilkan pengetahuan atau ilmu baru atau ilmu murni atau disebut juga teori murni.
Berdasarkan pemikiran di atas, boleh dikatakan bahwa dari semua pengetahuan maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologism, epistimologis dan aksiologisnya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin.
C. Kebenaran Ilmiah sebagai Masalah Filsafat
1. Mendudukkan Pemahaman Tentang Ilmu
Istilah “ilmu” dan “pengetahuan” sesungguhnya memilki arti yang agak berbeda. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang telah memilki sistematika tertentu, atau pengetahuan yang memilki cirri-ciri khas. Karena itu, ilmu adalah spesies dan genus yang disebut pengetahuan.
Ilmu memiliki ciri-ciri dan standar-standar tertentu sebagai hasil konsensus para ilmuwan. Ada semacam “criteria of demarcation”. Contoh-contoh pengetahuan yang didasarkan pada akal sehat misalnya dikemukakan oleh Goldstein & Goldstein (1980) dalam bukunya, How We Know: An Exploration of the Scientific Process.
Adapun kriteria demarkasi itu antara lain:
1) Obyektivitas
2) Ada pokok persoalan tertentu yang menjadi obyek studi (formal dan materil)
3) Ada memiliki sistematika content dan area of studies
4) Terbuka, dalam arti dapat dijelaskan secara ilmiah
5) Ada metodologi atau disciplined inquiry
6) Memiliki terminology-terminologi yang standar
2. Pandangan Tentang Kebenaran Ilmiah
Kebenaran merupakan persoalan utama dalam filsafat ilmu. Menurut Lincoln & Cuba (1985:14) sebagaimana pendapat Julienne Ford dalam Paradigms and Fairy Tales(1975) yang mengemukakan bahwa istilah kebenaran atau truth (T) bias memiliki arti yang berbeda yang disimbolkan dengan T1, T2, T3, T4 (Supriadi, 1998).
Kebenaran pertama (T1) adalah kebenaran metafisik. Kebenaran metafisik merupakan kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari seluruh kebenaran, karena itu harus diterima apa adanya sebagai given. Misalnya kebenaran iman dan doktrin-doktrin absolute agama.
Kebenaran kedua (T2) adalah kebenaran yang etik yang merujuk kepada perangkat standar moral atau professional tentang prilaku yang pantas dilakukan, termasuk kode etik. Kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan ada pula yang relative.
Kebenaran ketiga (T3) adalah suatu kebenaran logic. Sesuatu dianggap benar apabila secara logic atau matematis konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar (dalam pengertian T3 atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik).
Kebenaran keempat (T4) adalah kebenaran empiric yang lazimnya dipercayai melandasi pekerjaan ilmuwan dalam melakukan penelitian.
Dalam konteks kebenaran ilmiah yang melibatkan subjek (manusia, knower, observer) dengan objek (fakta, relitas, dan known) maka ada tiga teori utama tentang kebenaran, yaitu:
a. Teori Korespondensi
Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran tersimpul dalam realitas interaksional antara knower dengan known, antara teori dengan fakta empiris. Kini teori ini erat kaitannya dengan kebenaran empiric (T4).
b. Teori Koherensi
Teori ini berpendapat bahwa suatu kebenaran adalah apabila ada koherensi dari arti tidak kontradiktif pada saat bersamaan antara dua atau lebih logika. Teori koherensi bermuara pada kebenaran logis yang diajukan di muka (T3).
c. Pragmatisme
Teori pragmatisme berpandangan bahwa kebenaran mengacu kepada sejauh manakah sesuatu itu berfungsi dalam kehidupan manusia.
3. Fakta dan Pengalaman dalam Perspetif Ilmu
Pada intinya pengalaman ialah keterlibatan subjek atas objek dalam arti knower tidak hanya di luar known, melainkan terlibat ke dalamnya. Sungguh keterlibatan tersebut bias langsung (mengumpulkan data lapangan) atau tidak langsung (melalui sumber-sumber data sekunder).
Fakta adalah segala sesuatu yang ada disekeliling manusia dan dapat didengar, dicium, dilihat dan dirasakan keberadaannya. Di pihak lain, data menunjuk pada fakta yang telah dikumpulkan oleh peneliti atau siapa saja yang memerlukannya, baik berupa informasi kualitatif maupun informasi kuantitatif. Sesungguhnya keberadaan data baru akan bermakna bila telah diorganisir dan ditafsirkan. Data tidak akan berbicara sendiri tanpa ditafsirkan atau diberikan makna oleh subjek yang meneliti.
Menurut Lincoln dan Cuba (1985), realitas dibagi kepada empat bagian, yaitu:
1) Realitas objektif (objective reality) yang mewakili pandangan realism naïf. Menurut pandangan ini, apa yang disebut dengan realitas nyata itu benar-benar ada dan pengalaman langsung dapat menjangkau realitas objektif tersebut, baik realitas fisik, social maupun ruang.
2) Realitas yang dipersepsi (perceived reality). Sungguh realitas ini sejatinya memang ada, tetapi seseorang tidak akan mampu mengetahuinya dengan penuh. Realitas hanya bias ditangkap dan diapresiasi berdasarkan sudut pandang tertentu yang disebut persepsi.
3) Realitas yang dikonstruksikan (constructed reality) pandangan ini berpendirian bahwa tidak jelas apakah realitas ada atau tidak. Kalaupun ada, manusia tidak akan pernah mengetahuinya. Adapun yang dapat diketahui dan dijangkau oleh manusia adalah konstruksi pikiran dan perasaan yang jumlahnya tidak terhingga sehingga disebut realitas ganda.
Dilihat dari keempat sudut pandang terhadap realitas menunjukkan betapa sukarnya untuk merumuskan kebenaran ilmiah. Karena itu, jangan sampai ada pihak tertentu yang mengaku paling benar dalam mencari kebenaran ilmiah tanpa harus berhadapan dengan berbagai pengecualian dan keberatan pihak lain. Tentu saja berbagai cara atau metode dalam menemukan kebenaranilmiah dapat diterima, sehingga tidak perlu arogan untuk menghargai rasa ingin tahu orang lain dalammencari kebenaran ilmiah.