Angin bulan Oktober sudah berbau hujan. Tak lama lagi akan menjumpai hujan di tanah panasku. Tempat tujuan kini. Semoga dingin hujan juga meredakan hawa panas dalam keluargaku. Sejujurnya, pikiranku sudah jauh sampai di rumah. Membayangkan lengkung senyum perempuan yang selama 25 tahun kupanggil Ibu.
Penerbangan masih satu jam lagi. Mencoba memejamkan mata di samping perempuan yang akan kukenalkan sebagai calon istri. Lastri, perempuan Jawa yang sudah kukenal selama dua tahun tanpa sepengetahuan Ibu. Biar, biar menjadi kejutan nanti.
Namaku Ade, anak kedua dari dua bersaudara. Aku sudah 7 tahun meninggalkan Makassar. Secara sengaja aku memilih kabur ke Jawa, tinggal bersama orang-orang asing. Tapi mungkin dari anggapan asing itu aku bisa memilih salah satu perempuan yang kini akan kubawa pulang.
“Nanti kalau ibumu tidak menyukaiku bagaimana Mas?” tanya Lastri beberapa hari lalu ketika aku berencana mengajak ke Makassar.
“Ibuku perempuan paling baik sedunia, tidak mungkin seperti itu Lastri.” Kataku. Aku bukannya asal bicara, tapi ada bukti nyata bahwa tinggalku di Jawa hanya berasal dari restu Ibu.
“Tapi Lastri punya rasa tidak enak. Entahlah.”
Rasa tidak enak yang digambarkan Lastri mungkin mengenai ayahku. Ya, aku memang tak pernah akur. Ada panas membara yang membuat kami tak pernah bersatu. Pertikaian kami bermula dari cita-cita. Memang berbeda dengan kakakku yang sangat penurut dengan perintah Ayah.
“Kamu bisa hidup hanya dengan menjadi penulis yang kamu banggakan itu? Lihat kakakmu, menurut perintah ayah dan kini sudah menjadi polisi. Masa depan yang sudah jelas, tidak gamang sepertimu.” Marah ayah kesekian kali.
“Menulis bisa menghidupi Ade. Cobalah Ayah percaya sekali saja.”
“Ayah setuju kalau bakat tulisanmu itu hanya sebagai sampingan. Kamu harus sadar bagaimana cara hidup di sini.”
“Jadi, harus menjadi orang lain dulu sebelum menjadi diri Ade sendiri? Jangan samakan Ade dengan Kakak.”
Kakak yang saat itu melihat perdebatan kami hanya diam. Ya, kakak memang tidak tahu cara melawan. Aku bukannya tak menghrmati Ayah, hanya saja aku tak pernah sepaham dengan prinsip dan keinginannya mengaturku. Bukakah kita mempunyai kebebasan untuk menentukan masa depan yang kita mau?
***
Akhirnya tiba, senang melihat Lastri yang tersenyum melihat kota kelahiranku. Ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Makassar. Hm, banyak yang berubah selama 7 tahun. Bandara yang semakin megah dan yang mencolok adalah lalu lintas yang semakin semrawut. Tak asing mengenai cuaca panas. Panas masih menciptakan fatamorgana, padahal Oktober sudah menyimpan hujan untuk ditumpahkan, namun tak kunjung turun.
“Mas, sepertinya aku menolak untuk tinggal di sini.”
“Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu Lastri?”
“Di sini panas mas.” Katanya dengan wajah polos. Aku hanya tertawa. “Nanti kalau kita tinggal di sini, pekerjaan yang kamu tinggalkan bagaimana Mas?”
“Itu hanya alibimu saja.”
Sepertinya Lastri sudah tak menghiraukan jawabanku, iya lebih tertarik melihat lalu lintas jalan menuju rumah. Di pusat kota pemandangan tak asing, banyak poster-poster calon pemimpin daerah. Aku pernah berpikir, apakah sejak dulu profesi itu yang mereka cita-citakan? Ataukah hanya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik? Seperti halnya kakakku yang menyimpan rahasianya dalam diam.
Untung saja aku memilih jalan menjadi diriku sendiri walau penuh halangan. Dan aku membuktikan kalau aku bisa. Aku ingin melihat reaksi Ayah. Semoga bertambahnya usia membuat hatinya tak sekeras dulu. Mau memaafkan dan menerima kembali anaknya yang memilih jalan sebagai penulis.
7 tahun bukalah waktu yang singkat. Seperti hanya seorang bayi, aku meniti karir juga dari merangkak hingga kini bisa berlari. Tapi aku menikmatinya, karena bisa menjadi ‘aku’ yang sebenarnya. Menulis, yang anggapan Ayah hanya kata yang menjadi kalimat kemudian dicetak dalam lembaran kertas tak berguna sudah terpatahkan. Ibu adalah satu-satunya orang yang mendukungku. Masih sangat ingat ketika diam-diam telepon dan menanyakan bagaimana kabarku dan menceritakan keadaan Ayah dan kakak di rumah. Hm, kenangan.
Pekerjaan tetapku menjadi redaktur tabloid remaja yang selalu ditunggu terbitnya. Di samping itu aku membuka sanggar menulis. Dan melalui sanggar itu aku dipertemukan dengan Lastri, perempuan manis berkerudung jingga ini.
“Sebentar lagi kita sampai.” Kataku.
“Oh, benarkah?” wajah terkejut yang sangat lucu. Kemudian Lastri merapikan jilbab yang sebenarnya sudah rapi. Mungkin untuk menutupi rasa terkejutnya.
Tiba juga di halaman rumah ini. Dari taksi yang kunaiki aku bisa melihat rumah yang tak banyak berubah. Hanya cat tembok yang berganti warna dan beberapa tanaman di sekitarnya. Di pohon belimbing tempatku memanjat dulu ada sebuah ayunan kecil yang dimainkan seorang laki-laki. Sepertinya itu keponakanku, si Polisi kecil. Ah, betapa cepat waktu berlalu. Akankah hati ayah berubah?
Lastri kuajak turun dari mobil dan memasuki halaman rumah. Sebelumnya aku tak memberi kabar kedatanganku, tapi secara bersama Ayah dan Ibu keluar rumah. Dan ini lah yang kusebut kejutan, namun aku lebih terkejut menyaksikan senyum yang sangat jarang melengkung di bibir Ayah. Merentangkan tangannya siap memelukku. Ya, aku memenangkan hatinya.