Catatan Akhir Bulan


Banyak yang harus disyukuri bulan ini. Dari skripsi yang akhirnya selesai dan menjelang ujian, ikut kegiatan P2K, ketemu dan kebersamaan yang sebentar bersama Al, tidak bertemu dengan Oppa titik-titik dan hari ini penentuan untuk ujian pendadaran yang ternyata mendarat pada hari ‘wetonku’.
 
Di samping cerita ajaib tak terduga, tentunya ada ‘kesedihan’ atau ‘kemalangan’. Itulah, ternyata terlalu bahagia berbanding lurus dengan kesedihan yang mendekat. Jadi teringat beberapa bulan lalu yang menghabiskan dua bulan berbunga-bunga dan ternyata empat bulan setelah itu berdarah-darah *ini agak lebai.

Gerah banget malam ini. Kenapa? Karena aku panik! Kwitansi untuk ambil ijazah tiba-tiba nggak ada. Pengen rasanya langsung pergi ke ruang kaprodi, siapa tahu ikut dalam stopmap yang aku kumpulkan untuk syarat pendadaran. Berharap banget pokoknya, semoga tidak kecewa! Amiin...

Banyak sekali lomba yang terlewatkan. Cerpen duet yang gagal total karena kesibukan dua manusia berlainan jenis, selain itu menyatukan dua kepada menjadi ide sama dan menghasilkan sebuah tulisan itu susah bingiiiits. FF juga gagal, novel apa lagi. Demi apa ini? Sudah lama banget nggak nulis cerpen untuk dikirim ke media massa. Besok hari Kesaktian Pancasila, harusnya jadi momen sih, tapi apa kabar ini tanggan gak nulis juga. Hadeeehhh!

Bulan ini, banyak yang harus dievaluasi, semoga bulan depan banyak keberhasilan yang dicapai dari pada bulan ini. Semoga. 

Mata kanan kenapa juga sakit setelah yang kiri sembuh karena jerawat. Hem, pecicilan!

Semalam itu sebelum memejamkan mata yang lelah untuk terpejam, sebentar mengucapkan selamat malam untuk manusia yang masih berada di kota seberang sana, katanya sedang bekerja. Ternyata harinya melelahkan. Suaraku menjadi suara yang terakhir ia dengar menjelang tidur. Mungkin, ia tanpa sadar ketika bicara. Sampai pada nada ‘tut..tut..tut..” setelah kuucap salam. Setidaknya aku sudah menanyakan kabar. Bisa saja, pagi-pagi menjelang ia melanjutkan hari yang baru lupa memeriksa HP untuk tahu manusia terakhir yang menghubunginya. Bukankah aku orang yang tak terlau dipentingkan?

“Pacarmu sopo saiki?”

“Ora nduwe. Piye?”

“Mau nggak sama aku, buat seneng-seneng aja. Main, jalan atau makan bareng.”

“Siapa yang seneng?”

“Aku dan kamu.”

Kalau masih bisa menjadi yang pertama, kenapa memilih menjadi yang kedua?