Lupa Merindu?



Hari ini kita sama melihat masa lalu. Ah, tidak. Sebenarnya sejak dari kemarin aku sudah melihat jendela itu terbuka. Sengaja menunggu di depan pintu. Mereka benar datang, bukan dengan malu-malu namun dengan takut-takut. Tangan yang mencengkeram.

“Tak biasanya kamu memelukku dari belakang seperti siang ini. Yang biasa melakukan hal melankolis itu hanya teman-teman kosku. Dan ketika kamu membisikkan sesuatu, bersamaan dengan itu aku mendengar suara seseorang yang dulu sangat ku kenal. Mungkin sampai sekarang aku masih mengenalnya, tapi hanya mengenal dia yang baik. Ah, rasa-rasanya hari ini kamu yang merasakan lebih sakit. Ia datang sendiri, sedang masalalumu membawa yang lain.”

“Aish... dia tak seistimewa masalalumu. Aku bisa menempatkan Al mungkin seperti kamu menempatkan Jenang itu. Memang setiap cinta itu mempunyai kadar. Mantan juga mempunyai nilai. Dan mantan terindah bukan dia yang tadi membawa pasangan. Biarlah mereka bahagia dengan dunianya. Aku juga bahkan jauh bahagia setelah melepaskan.”

“Walaupun ada Jenang, aku nggak mau melihat wajahnya. Takut rindu.”

“Astaga! Bahkan aku lupa rasanya rindu.”

Kemudian aku menilik beberapa hal konyol semalam sebelum kejadian ini. Yang tiba-tiba sms Al nggak jelas banget, terus dibales. Nah, sepertinya aku belum lupa bagaimana rasanya rindu? Ha ha ha, atau malam-malam yang nggak asik itu lho. Menghubungi seseorang tapi nggak sesuai yang diharapkan. Itu bisa juga disebut rindu. Rindu yang wurung karena nggak berujung indah. Dan aku memilih tetap rindu sama Al. Salah? Tinggal ambil penghapus, kalau nggak ya ambil tip-x. Nggak usah dibikin repot deh. Yang lagi baca tulisan ini juga nggak usah pakai otot kalaupun marah, cemburu atau yang lain. Yang lain itu misalnya perasaan LEGA karena aku sudah tak berselera dengan kekasihnya. Begitu bolehlah. Nggak usah takut kehilangan gitu ah. Kan aku jadi nggak enak. *kibasin handuk!

Makan siang tadi masih membicarakan Jenang. Dan kamu tau? Sore tadi kami juga membicarakan dia. Kami?

Melewati sebuah jalan yang sangat bersahabat. Akrab dengan beberapa lampu merah di sana sini. Namun sore tadi berbeda. Karena aku bersama yang lainnya dan bukan menuju jalan Sidobali itu. Ah, sebuah jalan yang begitu akrab. Seolah melambai-lambai untuk melewatinya lagi. Entah kapan, entah dengan siapa dan entah kenapa.

Hari ini satu cerita yang berbeda lagi. Mengapa didekatkan dengan orang-orang yang sepertinya dulu hanya sepintas lalu?

“Kakiku terkilir futsal kemarin. Ketemu anak HMPS dulu itu. pangling dan lupa namanya. Sekarang mukanya lebih bersih, lebih terawat dan terlihat gemuk. Dulu dia kurus.”

“Aku juga ketemu tadi di kampus. Jelek ah dia sekarang. Cakep dulu. Dia mantannya temenku.”

Walaupun untuk sebuah acara yang diundur, perjalanan kita hari ini bolehlah. Sepertinya aku ingin bercerita banyak. Namun entah kenapa semuanya lenyap. Hoaamm, aku ingin terlelap.

“Ciee yang tadi jalan-jalan sore.”

“Cemburu ya.”

“Meninggalkan hatiku berlahan.”

“Karena kamu memberikan hati untuk yang lainnya.”

“Itu setengah hatiku.”

Aku di sini bukan membutuhkan setengah hatimu, aku membutuhkan seutuhnya. Bisakah?