Analisis Puisi



SOAL A
1.      Alasan yang menyebabkan puisi perlu dianalisis
Puisi perlu dianalisis karena untuk mengetahui makna puisi tersebut secara utuh dan menyeluruh. Misalnya dengan analisis struktural, maka kita akan mengetahui struktur fisik dan struktur batin yang membangun puisi tersebut. Kita dapat mengetahu diksi, citraan, kata konkret, majas, verifikasi, dan tipografi puisi sebagai struktur fisiknya dan tema, nada, perasaan, amanat sebagai struktur batinnya.
Oleh Riffaterre disebutkan bahwa dalam membuat puisi terjadi ketidaklangsungan puisi yang terdiri dari penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Analisis struktural ini membuat pembaca mengetahui maksud pengarang dalam menyampaikan puisinya, karena tidak semua puisi ditulis menggunakan kata-kata yang sebenarnya (denotasi).
Analisis intertekstual bisa menunjukan puisi dengan hipogram atau teks trasformasinya. Jadi dari berbagai metode analisis puisi yang digunakan sesungguhnya tujuannya sama, yaitu untuk mengetahui makna puisi tersebut.

2.      Perbedaan strata norma Husserl dengan strata norma J. Elema
a.       Menurut Husserl strata norma terdiri dari:
·         Lapis Bunyi (Sound Stratum)
Bila orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu bukan hanya bunyi tanpa arti. Sesuai dengan konvensi bahasa, bunyi itu disusun sedemikian rupa hingga menimbulkan arti berdasarkan konvensi. Dengan adanya satuan-satuan suara, orang menangkap artinya. Maka, lapis bunyi itu menjadi dasar timbulnya lapis arti.
·         Lapis Arti (Units Of Meaning)
Yaitu berupa rangkaian fonem, suku kata, kelompok kata (frase), dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Akan tetapi, dalam karya sastra yang merupakan satuan minimum arti adalah kata. Kata dirangkai menjadi kelompok kata dan kalimat. Kalimat-kalimat berangkai menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian satuan-satuan arti itu menimbulkan lapisan ketiga, yaitu objek-objek yang dikemukakan, pelaku, latar, dan semuanya itu berangkai menjadi dunia pengarang berupa cerita, lukisan, ataupun pernyataan.
·         Lapis Objek
Yaitu yang dikemukakan, “dunia pengarang”, pelaku, tempat (setting).
·         Lapis “Dunia”
Yaitu yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan secara eksplisit karena sudah terkandung didalamnya (implied). Sebuah peristiwa dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau “terlihat”, bahkan peristiwa yang sama, misalnya jederan pintu, dapat menyiratkan atau memperlihatkan aspek watak “luar” atau “dalam”. Misalnya pintu membuka bersuara halus dapat memberi sugesti yang membuka atau menutup seorang wanita atau orang yang berwatak hati-hati.
·         Lapis Metafisik
Yaitu berupa sifat-sifat metafisik (yaitu sublim, yang tragis, mengerikan atau menyakitkan, dan yang suci), dengan sifat-sifat ini karya sastra memberikan renungan (kontemlasi) kepada pembaca. Akan tetapi, lapis metafisik tidak terdapat dalam semua karya sastra.

b.      Menurui J. Elema strata norma terdiri dari:
·         Niveau Anorganis
Adalah tingkatan jiwa yang terendah, sifatnya seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi, rendah, panjang, pendek, dangkal, dalam, dapat diraba, didengar, dilihat, pendek kata dapat dindera. Apabila tingkatan pengalaman jiwa anorganis ini terjelma dalam karya sastra dapat berupa pola bunyi, bait, larik, kata, frase, kalimat, alinea, alur, latar, tokoh, majas, meta­fora, dan sebagainya yang pada umumnya berupa bentuk formal.
·         Niveau Vegetatif
Adalah tingkatan jiwa seperti tumbuh-tumbuhan, seperti pohon menumbuhkan kuncup, berbunga, berbuah, dan gugur daun-daunnya atau buah-buah mudanya. Segala pergantian itu dapat menimbulkan suasana bermacam-macam, misalnya ketika musim semi atau berbunga dapat menimbulkan suasana romantis, menyenangkan, menggembirakan, cerah, dan bersuka ria. Sebaliknya, apabila terjadi musim gugur dapat menimbulkan suasana sedih, masgul, gusar, tertekan, dan putus asa. Apabila pengalaman jiwa vegetatif ini terjelma dalam karya sastra akan menimbulkan suasana sedih, gembira, romantis, sahdu, khitmad, dan sebagainya yang ditimbulkan oleh rangkaian kata-kata itu.
·         Niveau Animal
Adalah tingkatan jiwa seperti yang dicapai oleh binatang, yakni sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah seperti makan, minum, tidur, iri, dengki, dan seksualitas. Apabila tingkatan jiwa animal ini terjelma dalam karya sastra akan berwujud seperti nafsu tokoh untuk melahap habis makanan dan minuman yang tersedia, bermalas-malasan, ingin tiduran, bercinta atau bermesra-mesraan, dan bahkan nafsu dendam untuk membunuh lawan atau tokoh lainnya.
·         Niveau Human
Adalah tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh manusia, seperti rasa kasih sayang kepada semua umat, rasa solidaritas antarkawan, saling membantu atau tolong-menolong, ikhlas kehilangan milikinya yang disayangi, jujur terhadap perkataan dan perbuatannya, menerima nasibnya dengan rasa bersyukur atau bertawakal, dan bergotong royong. Apabila tingkatan jiwa human ini terjelma dalam karya sastra dapat berupa perbuatan seorang tokoh menolong tokoh lain, kasih sayang seorang tokoh kepada tokoh lain, renungan-renungan batin, konflik kejiwaan, renungan moral, dan sebagainya. Pendek kata segala pengalaman yang hanya dapat dirasakan oleh manusia yang penuh suka dan duka.
·         Niveau Religius atau Filosofis
Adalah tingkatan jiwa yang tertinggi dan pengalaman jiwa ini tidak dialami oleh manusia dalam sehari-harinya. Pengalaman jiwa ini hanya dialami oleh manusia ketika sedang khusus melakukan kebaktian kepada Tuhan, bersembayang, berdoa, berzikir, atau renungan tentang hari akhir, pengalaman mistik, dan renungan menghayati hakikat hidup atau kema­tian. Apabila pengalaman jiwa ini terjelma dalam karya sastra akan terwujud sebagai renungan-renungan terhadap hakikat makna dan tujuan hidup, hal-hal yang transendental dalam kehidupan manusia, masalah maut, filsafat ketuhanan, dan lain sebagainya.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulakan bahwa perbedaan strata norma menurut Husserl dan J. Elema adalah jika Husserl menyebut lima strata dengan nama lapis yaitu lapis bunyi, arti,objek, dunia, dan metafisik sedangkan J.Elema menyebut lima strata dengan nama niveauyaitu niveau anorganis, vegetatif, animal, human, dan relihgius atau filosofis. Menurut J. Elema, niveau juga diterapkan dalam pengalaman jiwa dan karya sastra, pengalaman jiwa tersebut diurutkan dari yang paling rendah ke paling tinggi sedangkan Husserl hanya menerapkan strata norma pada karya sastra saja.

3.      Ketidaklangsungan puisi menurut Riffaterre
Menurut Riffaterre ketidaklangsungan pernyataan puisi itu disebabkan oleh tiga hal: penggantian arti (displacing), penyimpangan arti (distorting), dan penciptaan arti (creating of meaning).
a.      Penggantian arti (displacing)
Penggantian arti disebabkan oleh penggunaan bahasa kias. Bahasa kias mencakup semua jenis ungkapan yang memiliki makna lain dengan makna harfiahnya. Bahasa kias bisa berupa kata, frasa, ataupun satuan sintaksis yang lebih luas. Sesuai dengan hakekat puisi sebagai pemusatan dan pemadatan ekspresi, bahasa kias dalam puisi berfungsi sebagai sarana pengedepanan suatu yang berdimensi jamak dalam bentuk yang sesingkat-singkatnya. Disamping itu, sebagai akibat bentuknya yang singkat, bahasa kias juga berfungsi membangkitkan tanggapan pembaca. Fungsi bahasa kias adalah untuk mengiaskan atau mempersamakan suatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik dan hidup.
Bahasa kias dalam puisi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok perbandingan(metafora dan simile), penggantian (metonimi dan sinekdoki), dan pemanusiaan(personifikasi). Kesemua bahasa kias tersebut memiliki sifat yang umum, yaitu bahasa-bahasa kias tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan yang lain.
b.      Penyimpangan arti (distorting)
Penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal yakni ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitasadalah penafsiran bermacam-macam arti atau makna terhadap suatu ungkapan atau kata. Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikannya. Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti atau kata-kata yang merupakan ciptaan penyair sendiri, contoh potapa potitu potkaukah potaku.
c.       Penciptaan arti (creating of meaning)
Penciptaan arti dipengaruhi oleh sajak (rima), enjambemen, dan tipografi. Sajak (rima) adalah persamaan bunyi akhir kata. Bunyi ini berulang secara terpola dan biasanya terdapat di akhir baris saja, tetapi kadang-kadang terletak di awal atau di tengah baris. Enjambemen adalah kata atau frasa atau baris puisi yang berfungsi ganda yakni menghubungkan bagian yang mendahului dengan bagian yang mengikutinya. Artinya, sebuah kelompok kata dipenggal, dan penggalannya dipindah ke baris berikutnya. Tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi yang berupa tata hubungan dan tata baris. Tipografi kadang disebut sebagai susunan baris puisi dan ada pula yang menyebutnya sebagai ukiran bentuk. Tipografi dalam puisi dipergunakan untuk mendapatkan bentuk yang menarik supaya indah dipandang oleh pembaca.

Jadi ketidaklangsungan puisi yaitu kata-kata yang digunakan oleh pengarang dalam membuat puisi bukanlah kata-kata dengan makna yang sebenarnya (denotasi). Ketidaklangsungan puisi digunakan agar puisi lebih puitis, pemuasatan dan pemadatan ekspresi, sehingga menggunakan penggantian arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti.

4.      Perbedaan antara analisis struktural dan analisis semiotik
a.       Analisis struktural terdiri dari:
·         Struktur fisik
ü  Diksi
Diksi sendiri berarti pemilihan kata, yaitu pemilihan kata yang digunakan penyair untuk mencari kata yang tepat dan sesuai dengan bentuk puisi dan tema yang dikandungnya, sehingga menghasilkan jiwa penyair secara tepat, setidak-tidaknya mendekati kebenaran.
ü  Pengimajian
Penimajian atau citraan adalah gambaran angan yang timbul setelah seseorang membaca karya sastra dalam hal ini puisi. Imageri dapat kita pakai sebagai hal untuk memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia dan nantinya akan menjelmakan gambaran nyata.
ü  Kata konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti misalnya losta masta.
ü  Majas
Majas adalah suatu alat untuk melukiskan, menggambarkan, menegaskan inspirasi atau ide dalam bentuk bahasa dengan gaya yang mempesona. Dengan gaya bahasa tersebut diharapkan akan memberikan warna kehidupan atau menghidupkan kata-kata yang dikatakan penyair, apabila penggunaan gaya bahasa ini tepat, maka akan mempengaruhi hasil karya penyair tersebut.
ü  Verifikasi
§  Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca.
§  Ritma adalah pertentangan bunyi, tinggi rendah, panjang pendek, keras lemah, yang mengalun teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan.
§  Metrum adalah perualang kata yang bersifat statis.
ü  Tipografi puisi
Tipografi puisi adalah bentuk puisi.
·         Struktur batin
ü  Temaadalah makna yang mendasari dan menjadi inti dari sebuah puisi
ü  Nadaadalah irama yang ada dalam puisi
ü  Perasaanadalah sesuatu yang dilukiskan dalam puisi. Perasaan bisa berupa kemarahan, kesedihan, kesenangan, keharuan dan sebagainya.
ü  Amanatadalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang di dalam puisinya.
b.      Analisis semiotik
Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Kata-kata atau bahasa sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang telah ditentukan oleh konvensi masyarakat.  Bahasa tersebut merupakan sistem tanda yang ditentukan oleh konvensi. Sistem ketandaan tersebut disebut semiotik dan ilmu yang mempelajari sistem tanda-tanda disebut semiotika atau semiologi.
Analisis semiotik yang paling dikenal adalah semiotik Riffarerre. Teori semiotik Riffaterre terdiri dari pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, matriks, model, intertekstual dan hipogram. Pembacaan heuristik yaitu pembacaan pada taraf mimesis atau pembacaan yang berdasar pada konvensi bahasa. Sajak dibaca secara linier sebagai dibaca menurut struktur normatif bahasa. Pada umumnya, bahasa puisi menyimpang dari penggunaan bahasa biasa. Pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan pada tingkat makna. Matriks adalah konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi atau motor penggerak derivasi tekstual. Model adalah berupa kata atau kalimat sebagai pembatas derivasi (kata atau makna turunan). Intertekstual adalah hubungan antarteks. Hipogram adalah teks yang menjadi dasar penciptaan teks lain.

Jadi perbedaan antara analisis struktural dan analisis semiotik adalah analisis struktural mencari struktur yang ada dalam puisi yaitu stuktur fisik dan struktur batin. Dari kedua struktur tersebut dapat diketahui diksi, majas, tema, amanat dan sebagainya dari puisi yang dianalisis. Analisis semiotik yaitu mencari tanda yang ada pada puisi dan menurut teori Riffaterre, dalam mencapai tanda itu dengan menggunakan beberapa tahap, yaitu heuristik, hermeneutik, matriks, model dan hipogram. Dengan hipogram dapat diketahui teks yang menjadi dasar dari puisi yang dianalisis.

5.      Perbedaan analisis intertekstual dan analisis stilistika dalam analisis puisi
Intertekstual berasal dari kata inter yang artinya “di dalam”, “berkaitan dengan” dan kata teksual artinya “bersifat abstraksi”. Arti kata tekstual sendiri diperoleh dari kata teks yang artinya “abstraksi yang terdapat dalam naskah” . Naskah adalah segala yang dicetak atau diprint ataupun tulisan tangan. Tekslebih jelasnya adalah konsep yang terbesit dalam pikiran/abstraksi yang terdapat dalam naskah. Jadi, intertekstual adalah abstraksi suatu naskah yang berkaitan dengan naskah lain. Teks sastra yang menjadi latar penciptaan karya sastra oleh Riffaterre disebut hipogram. Karya sastra yang lahir kemudian itu menyerap dan menstransformasikan teks yang menjadi hipogramnya.
Analisis Intertekstual, langkah awalnya yaitu mencari dua puisi dengan mencari perbedaan atau persamaan dari kedua puisi tersebut. Kemudian, kedua puisi itu diparafrasekan atau diartikan secara menyeluruh. Selanjutnya dicari persamaan atau perbedaan yang ada dalam dua puisi itu. Persamaan bisa berupa kata yang sama taupun kata yang berbeda tetapi mempunyai maksud yang sama. Perbedaan dapat dilihat dari kedua penyair, misalnya dalam mengakhiri puisinya. Langkah terakhir adalah mencari hipogram dan teks transformasi. Hipogram adalah yang menjadi dasar teks yang lainnya. Hipogram adalah puisi yang diciptakan lebih awal dan trasformasi adalah puisi yang diciptakan selanjutnya.
Intertekstual berbeda dengan plagiat. Yang membedakan kedua hal tersebut adalah karakteristik masing-masing pengarang yang tercermin melalui karya sastranya.
Berbeda dengan analisis stilistika. Analisis stilistika terdiri dari:
a.      Analisis aspek gaya dalam karya sastra
·         Diksi
·         Struktur kalimat
·         Majas
·         Citraan
·         Pola rima
·         Matra
b.      Analisis aspek kebahasaan karya sastra
·         Intonasi melahirkan gaya intonasi
·         Bunyi melahirkan gaya bunyi
·         Kata melahirkan gaya kata
·         Kalimat melahirkan gaya kalimat
c.       Analisis aspek gagasan atau makna yang dipaparkan dalam karya sastra
Adalah analisis makna dari puisi secara menyeluruh.






SOAL B

ANALISIS STRUKTURAL
Puisi “Kota Bawah Tanah” Karya Dorothea Rosa Herliany

A.    TEORI
Analisis struktural terdiri dari struktur fisik dan struktur batin.
1.      Struktur fisik
ü  Diksi
Diksi sendiri berarti pemilihan kata, yaitu pemilihan kata yang digunakan penyair untuk mencari kata yang tepat dan sesuai dengan bentuk puisi dan tema yang dikandungnya, sehingga menghasilkan jiwa penyair secara tepat, setidak-tidaknya mendekati kebenaran.
ü  Pengimajian
Penimajian atau citraan adalah gambaran angan yang timbul setelah seseorang membaca karya sastra dalam hal ini puisi. Imageri dapat kita pakai sebagai hal untuk memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia dan nantinya akan menjelmakan gambaran nyata.
ü  Kata konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti misalnya losta masta.
ü  Majas
Majas adalah suatu alat untuk melukiskan, menggambarkan, menegaskan inspirasi atau ide dalam bentuk bahasa dengan gaya yang mempesona. Dengan gaya bahasa tersebut diharapkan akan memberikan warna kehidupan atau menghidupkan kata-kata yang dikatakan penyair, apabila penggunaan gaya bahasa ini tepat, maka akan mempengaruhi hasil karya penyair tersebut.
ü  Verifikasi
§  Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca.
§  Ritma adalah pertentangan bunyi, tinggi rendah, panjang pendek, keras lemah, yang mengalun teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan.
§  Metrum adalah perualang kata yang bersifat statis.
ü  Tipografi puisi
Tipografi puisi adalah bentuk puisi.

2.      Struktur batin
ü  Temaadalah makna yang mendasari dan menjadi inti dari sebuah puisi
ü  Nadaadalah irama yang ada dalam puisi
ü  Perasaanadalah sesuatu yang dilukiskan dalam puisi. Perasaan bisa berupa kemarahan, kesedihan, kesenangan, keharuan dan sebagainya.
ü  Amanatadalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang di dalam puisinya.

B.     ANALISIS

Kota Bawah Tanah

tubuh siapakah melukis gelap.
melubangi cahaya dalam terowongan,
menuju petabuta.

para pejalan menanti sejutamil jarak mengkerut.
dalam perjalanan matahari membeku.
para pemahat merias wajah kota yang terkubur.
di bawah tanah terkutuk.

tubuh siapakah, perempuan yang menangis,
ibu yang kesepian, mengukir abad lelaki,
di lorong-lorong peradaban penuh dendam.
Athena, 2003

1.      Struktur fisik
a.      Diksi
Diksi atau pilihan kata dalam puisi “Kota Bawah Tanah” karya Dorothea Rosa Herliany selain menggunakan kata bermakna denotasi, juga menggunakan kata bermakna konotasi antara lain /tubuh siapakah melukis gelap/ kata melukis bermakna menjadikan, /para pemahat merias wajah kota yang terkubur/ kata merias bermakna memperindah, /ibu yang kesepian, mengukirabad lelaki/ kata mengukir bermakna mengikuti.
Diksi yang dipilih oleh pengarang menjadikan puisi “Kota Bawah Tanah” estetik dan merupakan ekspresi penjelmaan jiwa pengarang.

b.      Pengimajian
·         Pengimajian penglihatan terdapat pada kutipan:
/tubuh siapakah melukis gelap./bait pertama baris pertama
/melubangi cahaya dalam terowongan,/ bait pertama baris kedua
/menuju petabuta./ bait pertama baris ketiga
/para pemahat merias wajah kota yang terkubur./ bait kedua baris ketiga
/tubuh siapakah, perempuan yang menangis,/ bait ketiga baris pertama


·         Pengimajian gerak terdapat pada kutipan:

/dalam perjalanan matahari membeku./ bait kedua baris kedua

·         Pengimajaian perasaan terdapat pada kutipan:

/ibu yang kesepian, mengukir abad lelaki,/ bait ketiga baris kedua
/di lorong-lorong peradaban penuh dendam./ bait ketiga baris ketiga

c.       Kata Konkret
Puisi “Kota Bawah Tanah” tidak mempunyai kata konkret.

d.      Majas
Majas dalam puisi “Kota Bawah Tanah” adalah personifikasi dan hiperbola.
·         Majas Personifikasi
/tubuh siapakah melukis gelap./bait pertama baris pertama
/melubangi cahaya dalam terowongan,/ bait pertama baris kedua
/dalam perjalanan matahari membeku./ bait kedua baris kedua
/para pemahat merias wajah kota yang terkubur./ bait kedua baris ketiga
/di bawah tanah terkutuk./bait kedua baris keempat
/ibu yang kesepian, mengukir abad lelaki,/ bait ketiga baris kedua
/di lorong-lorong peradaban penuh dendam./ bait ketiga baris ketiga
·         Majas Hiperbola
/para pejalan menanti sejutamil jarak mengkerut./ bait kedua baris pertama

e.       Verifikasi
·         Rima dalam puisi ini adalah rima bebas, yaitu rima yang tidak mengikuti pola persajakan.
·         Ritma dalam puisi ini adalah andante, yaitu yang menimbulkan irama lambat.
·         Metrum tidak ditemui dalam puisi ini.
f.       Tipografi puisi
Bentuk atau tipografi puisi “Kota Bawah Tanah” adalah seperti sebuah cerita.

2.      Stuktur batin
a.      Tema
Tema puisi “Kota Bawah Tanah” adalah seseorang yang ingin memperbaiki keadaan suatu kota yang rusuh karena dendam dan merusak peradapan zaman.
b.      Nada
Nada dalam puisi ini adalah sendu karena puisi “Kota Bawah Tanah” menceritakan kesedihan yang dialami oleh penduduk di suatu kota.
c.       Perasaan
Perasaan dalam puisi ini adalah kesedihan (tubuh siapakah, perempuan yang menangis). Hal ini karena keadaan kota yang rusuh sehingga menimbulkan kesedihan di mana-mana.
d.      Amanat
Amanat puisi “Kota Bawah Tanah” adalah agar seseorang mau membuat perubahan kearah yang lebih baik untuk merubah suatu keadaan yang buruk. Walaupun perubahan yang dilakukan hanya kecil, tapi bisa bermanfaat untuk orang lain yang membutuhkan.

C.    SIMPULAN
Analisis struktural ini mencari struktur fisik dan struktur batin pada puisi “Kota Bawah Tanah” karya Dorothea Rosa Herliany. Struktur fisik terdiri dari diksi, pengimajian, kata konkret, majas, verifikasi, dan tipografi puisi. Struktur batin terdiri dari tema, nada, perasaan, dan amanat.
Diksi yang digunakan selain menggunakan kata bermakna denotasi juga menggunakan makna konotasi. Pengimajian terdiri dari pengimajian penglihatan, gerak dan perasaan. Kata konkret tidak ditemui dalam puisi ini. Verifikasi terdiri dari rima, ritma, dan metrum. Rima yang digunakan adalah rima bebas, ritma yang digunakan adalah andante, dan metrum tidak ditemukan dalam puisi ini. Tipografi puisinya adalah seperti sebuah cerita.
Tema dalam puisi “Kota Bawah Tanah” adalah seseorang yang ingin memperbaiki keadaan suatu kota yang rusuh karena dendam yang merusak peradapan zaman. Nada puisi ini adalah sendu. Perasaan yang tercipta dalam puisi ini adalah kesedihan. Amanat yang ingin disampaikan oleh penyair adalah agar seseorang mau membuat perubahan kearah yang lebih baik untuk merubah suatu keadaan yang buruk.
Puisi “Kota Bawah Tanah” menceritakan tentang seseorang yang ingin membuat perubahan lebih baik (melukis gelap) untuk kota yang selama ini ia tempati. Kota tersebut telah rusak dan terpuruk. Tekad telah membawanya untuk membuat orang lain bahagia (melubangi cahaya dalam terowongan), walaupun jalan yang ia tempuh belum pasti (menuju petabuta).
Keadaan kota tersebut tidak mengikuti perubahan zaman. Para penduduk yang berjalan kaki membutuhkan kendaraan agar jarak yang mereka tempuh menjadi lebih dekat (para pejalan menanti sejutamil jarak mengkerut). Membutuhkan bangunan dan tempat berlindung dari terpaan sinar matahari (dalam perjalanan matahari membeku). Maka dibutuhkan seseorang yang mampu membuat dan memperindah kota menjadi lebih baik (para pemahat merias wajah kota yang terkubur) walaupun sebelumnya keadaan tersebut sangat rusuh (tanah terkutuk).
Semua perbaikan itu dilakukan untuk membahagiakan semua orang. Selama ini, di kota tersebut yang ditemui adalah kesedihan perempuan (perempuan yang menangis) dan ibu yang kesepian di tinggal suaminya (ibu yang kesepian, mengukir abad lelaki). Hal itu karena sebelumnya ada dendam yang merajai kota tersebut (di lorong-lorong peradaban penuh dendam).