Artikel: Agama, Kesenian, Kebudayaan dan Bid’ah




Auditorium lantai empat kampus dua Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 15 sampai 16 Januari 2011 diadakan dialog kebudayaan dalam rangka Festival Muharram VI Tahun 1432 H. Topik yang diangkat adalah “Benarkah Ada Bid’ah dalam Kebudayaan”. Pembicara dalam dialog ini adalah Prof. Dr. H. Amin Abdulah, Emha Ainun Najib, Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M. A., dan El Manik.
Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. adalah ketua majlis tarjih dan tajlid PP Muhammadiyah tahun 2010/ 2015. Sebelum membicarakan tentang bid’ah, terlebih dahulu beliau menjelaskan tentang pengertian Agama. Agama sering dilihat dan dipahami secara sempit yaitu hanya dilihat dari segi normatifnya saja sehingga menyebabkan pemahaman yang serba membatasi membawa tidak berkembangnya kreasi budaya. Sebenarnya agama dapat dilihat sebagai suatu pengalaman, yaitu pengalaman agama. Dari sudut pandang ini, agama dapat didefinisikan sebagai “suatu pengalaman imani atas kehadiran ilahi yang termanifestasikan dalam amal saleh”.
Manifestasi pengalaman agama dalam wujud amal saleh dari segi cakupannya dapat dibedakan menjadi (1) manifestasi berbentuk tindak berpikir (manifestasi intelektual), (2) manifestasi berbentuk tindak berperilaku (manifestasi aksional), dan ini dapat berupa perilaku dalam lingkungan diri pribadi dan dalam lingkungan persekutuan (kolektif), dan (3) manifestasi tindak berekspresi (manifestasi ekspresional).
Syariah adalah kumpulan norma- norma agama untuk memolakan manifestasi pengalaman agama tersebut agar ia terlembagakan secara benar. Norma- norma manifestasi pengalaman agama diwahyukan oleh Allah. Tetapi norma- norma tersebut terbatas, sehingga diperluas dengan menambah norma subsider melalui proses ijtihad. Norma yang melarang pengembalian berlebih atas suatu pinjaman yang terjadi antara individu yang sering disebut riba, diperluas melalui ijtihad ekonomi islam kontemporer sehingga meliputi juga larangan pemberian bunga yang dipraktikkan oleh perbankan modern. Norma- norma pokok yang berasal dari wahyu disebut syariah, dan norma subsider sebagai pendamping norma pokok disebut fikih. Antara keduanya tidak dpat dipisahkan. Keduanya menjadi acuan yang memberi bentuk pada manifestasi pengalaman agama baik intelektual, aksional, maupun ekspresional.
Agama mempunyai tiga komponen: pertama, komponen substansi berupa kesadaran, kehadiran dan keberhadapan dengan Allah, kedua manifestasi dalam wujud amal salih baik secara intelektual, aksional, dan ekspresional dan yang ketiga adalah berupa norma- norma pelembagaan manifestasi pengalaman agama.
Manifestasi pengalaman agama ada yang terpolakan secara ketat di mana tidak boleh dilakukan atau pengubahan dalam bentuk apapun. Apabila dilakukan penambahan atau pengubahan terhadapnya, maka itu dinamakan bid’ah. Tetapi hal tersebut berlaku dalam masalah- masalah pokok akidah dan ibadah khusus. Adapula manifestasi pengalaman agama yang tidak dipolakan secara ketat, melainkan hanya diberi patokan- patokan umum yang bervariasi dari segi longgar dan sempitnya. Pada aspek ini ruang kreativitas menjadi amat luas dalam melahirkan menifestasi pengalaman agama dan pada akhirnya melahirkan kebudayaan.
Bid’ah adalah salah satu konsep agama. Hanya saja pemahamanya dikalangan beberapa ulama yang diikuti oleh sejumlah orang dilakukan dengan model penafsiran ekstensif. Hal ini berakibat menimbulkan hambatan bagi kreasi budaya dan terkesan sebagai pemahaman yang anti budaya. Contoh bid’ah antara lain adalah menghiasi mimbar dengan kain taplak, memperingati maulid Nabi Saw dengan kesenian berupa nyanyian- nyanyian, dan menyalami kiri kanan setelah salat (sudah di luar ibadah).
Contoh bid’ah yang lainnya adalah dalam pembuatan patung, menggambar dan melukis. Hal inilah yang menjadi persoalan yang timbul di kalangan sebagian umat islam, termasuk sebagian warga muhamadiyah, timbul anggapan bahwa seni itu justru bertentangan dengan ajaran islam atau merupakan sesuatu yang mubazir.
Sebenarnya, islam adalah agama yang berisi ajaran yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia, justru menyalurkan dan mengatur tuntutan fitrah tersebut. Termasuk fitrah rasa seni, karena itu tidak dapat bebas dari nilai. Seni adalah penjelmaan rasa keindahan yang terkandung dalam jiwa manusia dilahirkan dengan perantara alat- alat komunikasi kedalam bentuk yang dapat diatangkap oleh indra.
Memang, seni lukis tidak ada dalam khasanah islam, tetapi hal ini ada yang penyebabnya, yaitu pada zaman dahulu ketika islam masuk menjadi agama baru di Jazirah Arab, penduduknya sibuk dengan menata agama baru dan menegakkan akidah baru, sehingga waktu mereka habis di situ. Mereka tidak sampai memikirkan tentang kesenian, karena orang yang bisa berseni adalah orang- orang yang mempunyai banyak waktu.
Sebab lainnya adalah pada saat itu umat islam sedang menghadapi kaum penyembah berhala. Karena pembuatan patung berhubungan erat dengan berhala, maka seni pahat dan patung dilarang. Untuk saat ini seni rupa yang objeknya adalah makluk bernyawa seperti patung hukumnya mubah, jika dalam pembuatan patung tersebut ada kepentingan sarang pengajaran, ilmu pengetahuan dan sejarah. Tetapi dikatakan perbuatan bid’ah dan haram bila membuat patung, melukis dan menggambar ada niat untuk menyembah benda tersebut.
Sama hanya dengan seni suara, baik vokal maupun instrumental, seni sastra dan seni pertunjukan pada dasarnya mubah, karena tidak ada nash yang sahih yang melarangnya. Larangan, baru timbul manakala seni tersebut menjurus pada pelanggaran norma- norma agama dan ekspresinya, baik menyangkut penandaan tekstual maupun visual.
Jadi, bila seni dan kebudayaan dapat dijadikan alat dakwah untuk membina, mengembangkan dan meningkatkan mutu keimanan dan ketaqwaan, maka menciptakan dan menikmatinya dianggap sebagai amal yang saleh yang dinilai ibadah sepanjang mematuhi ketentuan- ketentuan proses penciptaan dan menikamatinya.