Teori Husserl (Analisis Puisi)



Burung Kesunyian
Burung itu membangun sarang, merajut cericit, merangkai
kicau mengisi teduh jiwaku di perbatasan sunyi

diamlah yang menggelombang di langit- langit waktu
mengaliri
lelembah hatiku yang terjal dan aku hanya mempu berdiri,
berdekap di keleluasaan langit: dari rindu ke rindu
permukaan hatimu telah ku layari
sebelum burung itu membangun sarang matahari
1988

Analisis Lapis Norma Roman Ingarden
1.      Lapis Bunyi
Bait pertama puisi “Burung Kesunyian” menggunakan pola sajak a-a, bait kedua menggunakan pola sajak a-b-a-b. Pada baris pertama puisi tersebut terdapat persamaan bunyi ‘ng’ pada kata burung dan sarang serta terdapat pengulangan bunyi konsonan akhir (aliterasi) ‘t’ pada kata merajutcericit. Baris keenam terdapat pengulangan bunyi vokal (asonansi) ‘u’ pada kata dari rindu ke rindu.
Pada puisi “Burung Kesunyian” setiap akhir baris selalu menggunakan kata yang sesuai antara satu baris dengan baris lain. Yaitu merangkai-sunyi-waktu-berdiri-rindu-layari-matahari sehingga membuat puisi tersebut  indah, merdu dan berirama.
2.      Lapis Arti
Setiap kata dalam puisi “Burung Kesunyian” dapat diartikan secara leksikal seperti dalam kamus, tetapi yang dimaksudkan dalam puisi ini adalah makna kiasan yang berupa ungkapan kesedihan. Misalnya makna dari burung kesunyian dapat diartikan sebagai seseorang yang merasakan kesepian.
Baris pertama puisi dapat diartikan seseorang (disimbolkan dengan ‘burung’) yang menguatkan dirinya sendiri (membangun sarang) untuk menghibur hatinya dengan bernyanyi (merajut cericit). Baris kedua, nyanyian itu tanpa sengaja didengar oleh temannya dan dapat menghiburnya (mengisi teduh jiwaku) untuk melepaskan diri dari kesunyian. Baris ketiga, karena nyanyian itu, seolah- olah waktu berhenti berputar (diamlah yang menggelombang di langit- langit waktu) karena semua yang ada disekeliling si penyanyi ikut menikmati suaranya. Baris keempat dan kelima, orang yang ikut mendengarkan dan menikmati nyanyian itu tidak dapat berbuat apa- apa (hanya mampu berdiri). Baris keenam dengan hanya bertemankan langit yaitu kekuasaan Allah, orang itu meratapi perasaan rindunya (dari rindu ke rindu). Baris ketujuh sesungguhnya ada seorang teman yang ikut menikmati nyanyiannya dan sangat mengenali si penyanyi (hatimu telah kulayari). Baris kedelapan bahkan sebelum si penyanyi merasakan kesepian karena ditinggalkan orang yang dicintai.

3.      Lapis Obyek
Obyek- obyek dalam puisi “Burung Kesunyian” adalah burung, sarang, merajut cericit, merangkai kicau, teduh jiwaku, perbatasan sunyi, menggelombang, di langit- langit waktu, lelembah hatiku, terjal, keleluasaan langit, permukaan hatimu, kulayari, sarang matahari. Pelaku atau tokohnya adalah si burung dan si aku. Latar waktu adalah pagi hari, latar tempatnya adalah di pantai.
4.      Lapis Dunia
Lapis dunia bersifat implisit atau tersirat. Dari melihat obyek- obyek dalam puisi ini yaitu membangun sarang mentari maka latar waktunya adalah pagi hari. Si Aku telah mengenal si Burung dengan baik mengingat kata ‘permukaan hatimu telah ku layari’. Dan dalam baris kelima ‘lelembah hatiku yang terjal dan aku hanya mampu berdiri’, pilihan kata itu menandakan bahwa walaupun si Aku telah mengenal baik si Burung tapi tidak dapat berbuat apa- apa untuk melepaskan si Burungdari kesunyiannya.
5.      Lapis Metafisik
Dalam puisi “Burung Kesunyian” dikemukakan bahwa seseorang yang merasa kesepian di dalam hidupnya sehingga ia menghibur dirinya sendiri (membangun sarang) dengan cara apapun yang dapat dilakukannya dan tidak melibatkan orang lain untuk menghadapi kesepiannya, misalnya dengan bernyanyi (merajut cericit) hingga seolah- olah semua yang ada di sekelilingnya berhenti bergerak karena menikmati nyanyianya (diamlah yang menggelombang di langit- langit waktu).
Inti dari pemikiran di atas adalah walaupun seseorang sedang menghadapi cobaan hidup tetap bisa menghibur dan membahagiakan orang lain meskipun kenyataan menunjukkan bahwa dirinya sendiri tidak sebahagia orang- orang yang ada di sekelilingnya.

Analisis Lapis Norma J. Elema
1.      Niveau Anorganis
Tingkatan pengalaman jiwa anorganis ini terjelma dalam karya sastra dapat berupa pola bunyi, bait, larik, kata, frase, kalimat, alinea, alur, latar, tokoh, majas, meta­fora, dan sebagainya yang pada umumnya berupa bentuk formal.
Bait pertama puisi “Burung Kesunyian” menggunakan pola sajak a-a, bait kedua menggunakan pola sajak a-b-a-b. Pada baris pertama puisi tersebut terdapat persamaan bunyi ‘ng’ pada kata burung dan sarang serta terdapat pengulangan bunyi konsonan akhir (aliterasi) ‘t’ pada kata merajut cericit. Baris keenam terdapat pengulangan bunyi vokal (asonansi) ‘u’ pada kata dari rindu ke rindu. Pada setiap akhir baris selalu menggunakan kata yang sesuai antara satu baris dengan baris lain. Yaitu merangkai-sunyi-waktu-berdiri-rindu-layari-matahari sehingga membuat puisi tersebut  indah, merdu dan berirama.
Latarnya tempat adalah di pantai, latar waktu adalah sore hari. Tokohnya adalah si Burung dan si Aku. Majas yang digunakan adalah personifikasi, terdapat pada bait pertama baris pertama dan bait kedua baris pertama, ketiga, dan keenam. Majas Hiperbola pada bait pertama baris kedua dan bait kedua baris keempat dan kelima.
2.      Niveau Vegetatif
Pengalaman jiwa vegetatif ini terjelma dalam karya sastra akan menimbulkan suasana sedih, gembira, romantis, sahdu, khitmad, dan sebagainya yang ditimbulkan oleh rangkaian kata-kata itu.
Dalam puisi “Burung Kesunyian” menimbulkan suasana sedih dan haru. Sedih karena tokoh (si Burung) mengalami kesepian, dan haru karena walaupun tokoh mengalami kesepian masih bisa membuat orang lain (si Aku) senang. Seperti dalam baris puisi berikut /mengaliri/lelembah hatiku yang terjal dan aku hanya mempu berdiri//.
3.      Niveau Animal
Tingkatan jiwa animal ini terjelma dalam karya sastra akan berwujud seperti nafsu tokoh untuk melahap habis makanan dan minuman yang tersedia, bermalas-malasan, ingin tiduran, bercinta atau bermesra-mesraan, dan bahkan nafsu dendam untuk membunuh lawan atau tokoh lainnya.
Dalam puisi ini, nafsu yang digambarkan melalui tokoh cenderung kepada nafsu yang baik. Yaitu tokoh bernafsu untuk menghilangkan kesepiannya dengan cara mengibur dirinya sendiri dan orang di sekelilingnya.
4.      Niveau Human
Tingkatan jiwa human ini terjelma dalam karya sastra dapat berupa perbuatan seorang tokoh menolong tokoh lain, kasih sayang seorang tokoh kepada tokoh lain, renungan-renungan batin, konflik kejiwaan, renungan moral, dan sebagainya. Pendek kata segala pengalaman yang hanya dapat dirasakan oleh manusia yang penuh suka dan duka.
Dalam puisi ini, tokoh melakukan perbuatan dalam menolong orang di sekitarnya untuk menghilangkan kesepian yang juga mereka rasakan.
5.      Niveau Religius
Pengalaman jiwa ini terjelma dalam karya sastra akan terwujud sebagai renungan-renungan terhadap hakikat makna dan tujuan hidup, hal-hal yang transendental dalam kehidupan manusia, masalah maut, filsafat ketuhanan, dan lain sebagainya.
Tokoh dalam “Burung Kesunyian” sebagai manusia telah dapat membuat bahagia orang di sekitarnya walaupun ia sendiri mengalami kesepian karena merindukan orang yang dicintai. Tetapi tokoh yakin jika Tuhan akan memberikan kebahagiaan (berdekap di keleluasaan langit: dari rindu ke rindu).