“Lagi di mana?”
“Solo.”
“Yyuk, jam 1 main ke pantai.”
“Ih.”
“Hahaha, ya udah. Aku mau beli gulai kepala ikan.”
Tut...tut...tut...
Ini bukan yang pertama, yang kedua, atau yang ketiga. Sudah banyak angka. Membuat kebal dan aku sampai lupa bagaimana rasa kecewa.
Angka 22 tak ada yang terjadi. Kecuali tidur-tiduran di kamar. Update status gak jelas dan terlihat sangat galau. Iuh... mungkin, setahun yang lalu, malam-malam gini sedang ada perempuan yang kasmaran, terbang sampai ke langit. Lalu tiba-tiba ia dihempaskan ke bumi. Jlek! Jatuh. Tak ada yang bisa menolong kecuali hatinya. Ia sampai sekarang kosong. Sebenarnya tak mau beranjak dari tempat jatuh. Untuk berdiri saja sulit. Masih terbanyang nyaman dunia terbang. Sesungguhnya kaki tak perlu banyak cingcong untuk berjalan kembali. Berlari, kemudian terbang lagi. Hanya saja hati yang enggan memulai.
“Dia bisa mengerti aku. Saat aku bersama temenku, ya dia mengerti. Saat dia bersama temannya, ya aku persilakan. Toh kami juga punya dunia yang semuanya tak harus terjamah. Cukup tahu. Ketika kami berdua, itu waktunya pacaran dan kami bisa menempatkan semua.”
“Dulu, aku juga pernah melakukan seperti itu. Namun, lama-lama seperti aku yang memplotkan. Aku yang berkuasa. Dan aku sebagai perempuan tak bisa seperti itu terus. Ada kalanya aku menanti untuk tidak selalu memimpin dia. Aku bukan penganut feminis juga. Tapi aku juga tak bisa untuk menjadi perempuan yang tutur kata dan berperilaku sangat halus. Mungkin di tengah-tengah. Seperti itu lah.”
Kemudian membuat konferensi meja oval. Lotis kandas, ice cream dua rasa cokelat dan durian, cokelat bulat-bulat, empng, gorengan, dan terakhir seporsi sate. Kenyang!
“Yah, ini yang bakalan kita rindukan kalau tua nanti.”
“Kamu dari kemarin bilang itu mulu. Udah pengen nikah?”
“Ulala...”
“Lalau...”
“Hahaha...”
Dan kini semakin sadar, bukan hanya kamu yang sulit dimengerti, bukan karena aku kurang mengerti bagaimana menghadapi karakter kamu. Tapi, aku sendiri memiliki karakter yang susah dipenuhi, susah dimengerti. Kita berseberangan.
“Heh, kamu gak mau ketemu? Mungkin menjadi pertemuan terkahir.”
“Jangan mati dulu.”
Masih terduduk setelah terhempas. Bagaimana bisa menemui yang lain?