HUKUM ISLAM DALAM MENGHADAPI PERKEMBANGAN ZAMAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak terlepas dari hukum, baik dari Tuhan maupun hukum yang dibuat oleh manusia sendiri yang meliputi hukun negara, adat dan lain sebagainya. Hukum tersebut akan terus mengikat diri manusia.
Hukum-hukum tersebut diciptakan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Hukun diciptakan agar manusia bisa saling menghargai diatara sesama. Itulah yang menjadi tujuan awal dari terbentuknya hukum.
Allah swt. telah menurunkan agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan nabi-Nya, Muhammad saw. Agama Islam yang merupakan agama universal mengandung aturan-aturan hukum yang langsung dari Allah swt. agar manusia selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril, Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad saw.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu Al-quran dikenal dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu. Pada masa Rasulullah asw., segala permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat final. Akan tetapi, pada masa sekarang ini untuk menentukan hukum bisa dilakukan dengan berbagai cara asal tidak menyimpang dari pedoman-pedoman sumber hukum dalam islam.
Alasan penulis memilih judul Hukum Islam dalam Menghadapi Perkembangan Zaman karena untuk mengetahui sumber-sumber hukum islam, hukum islam yang ada di indonesia dan karakteristik hukum islam dalam menghadapi perkembangan zaman.
 Makalah ini tidak membahas panjang lebar mengenai hukum yang mengikat kepada setiap individu, tetapi yang lebih memfokuskan mengenai implementasi antara hukum islam dengan dinamika perkembangan masyarakat, baik dari zaman dahulu maupun sampai kepada zaman kita sekarang. Berkembangnya masyarakat itu juga dipengaruhi oleh berbagai hukum yang diterapkan oleh negara tertentu maupu hukum dari Tuhan itu sendiri.
Masyarakat akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, begitu juga dengan hukum yang diterapkan. Hal ini akan dan terus ikut mengalir dengan perkembangan masyarakat yang hidup di daerahnya sehingga masyarakat harus mengikuti hukum tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa sajakah sumber-sumber hukum islam?
2.      Bagaimanakah hukum islam di Indonesia?
3.      Bagaimanakah karakteristik hukum islam menghadapi perkembangan zaman?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sumber-sumber hukum islam.
2.      Untuk mengetahui hukum islam di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui karakteristik hukum islam menghadapi perkembangan zaman.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sumber-sumber Hukum Islam
Sumber-sumber hukum islam terdiri dari Al-quran, As-Sunnah atau Al-Hadis dan akal pikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad kerena pengetahuan dan pengalamannya.
1.      Al-quran
Al-quran adalah hukum islam pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebuh lanjut. Menurut keyakinan umat islam, yang dibenarkan oleh penelitian ilmiah terakhir (Maurice, Bucaille dalam Mohammad 2009: 78), Al-quran adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman) Allah, Tuhan Yang Maha Esa, asli seperti yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada nabi Muhammad sebagai rasul-Nya sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Makkah kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagian di akhirat kelak.
Perkataan Al-quran berasal dari kata kerja qara-aartinya (dia telah) membaca. Kata kerja qara-a ini berubah menjadi kata kerja suruhan iqra’ artinya bacalah, dan berubah lagi menjadi kata benda qur’an yang secara harfiah artinya bacaan atau sesuatu yang harus dibaca dan dipelajari.
Makna perkataan ini sangat erat hubungannya dengan arti ayat Al-quran yang pertama kali diturunkan di gua Hira’ yang dimulai dengan perkataan iqra’ (kata kerja duruhan) artinya bacalah. Membaca adalah salah satu cara untuk menambah ilmu pengetahuan yang sangat penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dan dikembangakan dengan membaca dalam arti kata yang seluas-luasnya. Menurut S.H. Nasr dalam Mohammad yang terdapat dalam Al-quran adalah prinsip-prinsip segala ilmu pengetahuan. Termasuk di dalamnya kismologi (cabang astronomi= ilmu tentang matahari, bulan, bintang dan planet lainnya yang menyelidiki asal-usul, susunan, dan hubungan ruang waktu di alam semesta) dan pengetahuan alam.
Dalam ajaran islam, Al-quran adalah inti sari semua pengetahuan. Namun pengetahuan yang terkandung dalam Al-quran hanyalah benih-benih atau prinsipnya saja. Sama sekali tidak berguna dan akan mustahil jika mencoba penjelasan yang terinci dari dalam Al-quran seperti yang dilakukan oleh beberapa penafsir. Sama sia-sianya dengan percobaan di dunia Barat untuk mencari hubungan antara penemuan ilmiah dengan keterangan yang ada di dalam injil.
Kita akan dihadapkan pada situasi yang mencengangkan apabila kita mencoba untuk membandingkan petunjuk yang abadi itu dengan pengetahuan yang fana, sebab pada saat kita menemukan hubungan antara pengetahuan tertentu dengan teks Al-quran, pengetahuan itu sendiri telah berubah dengan sifatnya yang fana. Di dalam al-quran terdapat prinsip segala pengetahuan temasuk kismologi dan ilmu pengethauan tentang alam. Dengan penghayatan demikian, kita akan menemukan dasar, bukan rincian ilmu pengetahuan dalam Al-quran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Al-quran bukan saja sumber pengetahuan yang metafisis dan sumber ajaran keagamaan, tetapi juga sumber ilmu pengetahuan. Peranan Al-quran di dalam filsafat islam dan ilmu pengetahuan karena itu sangat penting. Begitu pula dalam hukum dan metafisika meskipun sering kali diabaikan oleh para peneliti masa kini bahwa Al-quran adalah pedoman sekaligus kerangka segala kegiatan intelektual islam.

2.      As-Sunnah atau Al-Hadis
As-Sunnah atau Al-Hadis adalah sumber hukum islam kedua setelah Al-quran, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) dan sikap diam (sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dan kitab-kitab hadis. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-quran.
Ucapan, perbuatan dan sikap diam nabi dikumpulkan tepat pada awal penyebaran Islam. Orang-orang yang mengumpulkan sunnah nabi (dalam kitab-kitab hadis) menelusuri seluruh jalur riwayat ucapan, perbuatan dan pendiaman nabi. Hasilnya di kalangan sunni terdapat enam kumpulan hadis utama, seperti yang dikumpulkan antara lain oleh Bukhari dan Muslim yang dengan segera mendapatkan pengakuan di kalangan sunni (ahlusunnah wal jamma’ah) sebagai sumber nilai dan norma kedua setelah kitab suci Al-quran.
Melalui  kitab-kitab hadis, seorang mengenal nabi dan isi Al-quran. Tanpa as-Sunah sebagian besar isi Al-quran akan tersembunyi dari mata manusia. Di dalam Al-quran tertulis misalnya perintah untuk shalat. Tanpa as-Sunah maka orang tidak akan tahu bagaimana cara mengerjakan shalat. Sahalat adalah pusat dari semua ibadah Islam, tidak akan dapat dikerjakan bila tanpa petunjuk berupa perbuatan nabi sehari-hari.
Ini berlaku pula pada hal-hal lainnya sehingga tidak perlu lagi menyatakan hubungan vital antar Al-quran dan Sunnah Rasulullah yang telah dipilih tuhan untuk menjadi pembawa dan penerang petunjuk-Nya. Itulah sebabnya kedua sumber ini dan norma Islam tidak boleh dipisahan. Seorang muslim yang baik akan selalu menggunakan Al-quran dan as-Sunnah sebagai pegangan hidupnya, mengikuti pesan nabi pada waktu melakukan haji perpisahan sebelum beliau wafat. “Kutinggalkan pada kalian dua pusaka yang sangat berharga. Kalian tidak akan sesat selama-lamanya selama kalian berpegang teguh kepada kedua pusaka yang sangat berharga itu, yaitu Al-quran dan Sunnahku.”

3.      Akal Pikiran (Al-Rayu atau Ijtihad)
Sumber hukum islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar, dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah fundamenal yang terdapat dalam Al-quran, kaidah- kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunah nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu atau berusaha merumuskan garis-garis atau kaidah-kaidah hukum yang peraturannya tidak terdapat di dalam kedua sumber utama hukum islam itu.
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad. Baik ijtihad dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
a.      Ijmak
Ijmak adalah persetujuan  atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Persetujuan ini diperoleh dengan suatu cara di tempat yang sama. Namun kini sukar dicari suatu cara dan sarana yang dipergunakan untuk memperoleh persetujuan mengenai suatu masalah pada suatu ketika di tempat yang berbeda. Ini disebabkan karena luasnya bagian dunia yang didiami oleh umat islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungan. Ijmak yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa kedua khulafaur rasyidin (Abu Bakar dan Umar) dan sebagian masa pemerintahan khalifah yang ketiga (Usman).
b.      Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat dalam ketentuan di dalam Al-quran dan as-Sunnah dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam Al-quran dan sunnah rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) karena persaman illat (penyebab atau alasan) nya. Qiyas adalah ukuran yang digunakan untuk membandingakan suatu hal dengan hal lain. Contohnya adalah tentang larangan meminum khamar yang terdapat dalam surat Al Maidah ayat 90 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Penyebab khamar tidak boleh diminum karna memabukkan. Oleh sebab itu jika ada minuman sejenis khamar yang memabukan tiak boleh diminum dan diperjualbelikan untuk umum.

c.       Istidal  
Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum silam yang diwahyukan sebelum islam.

d.      Masalih Al-Mursalah atau Maslahat Mursalah
Masalih al-mursalah atau maslahat mursalah adalah cara menentukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat dalam ketentuannya baik di dalam Al-quran maupun dalam kitab-kitab hadis, berdasarkan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. Misalnya adalah pemungutan pajak. Di dalam Al-quran maupun sunnah tidak dijelaskan, namun penarikan pajak dilakukan untuk memelihara kepentingan umum dan memelihara kemaslahatan di dalam masyarakat.

e.       Istihsan
Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalam menyimpan dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Ini adalah metode yang unik dalam mempergunakan akal pikiran dengan mengesampingkan analogi yang ketat dan bersifat lahiriah demi kepentingan masyarakat dan keadilan. Contohnya adalah hukum islam melindungi dan menjamin hak milik seseorang. Akan tetapi hak tersebut dapat dicabut jika diterapkan dalam keadaan pelebaran jalan atau pembuatan irigasi untuk mengairi sawah-sawah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial. (A. Azhar Basyir dalam Mohammad 2009: 122).

f.       Istisab
Istisab adalah menerapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan perkataan lain istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.

g.      Adat Istiadat atau ‘Urf
Adat istiadat atau ‘urf yang tidak bertentangan dengan hukum islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Adat istiadat ini tentu berkenaan dengan soal muamalah. Contohnya perilaku orang dalam dunia perdagangan.

B.     Hukum Islam di Indonesia
Dilihat dari sejarah perkembangan pemikiran hukum islam, ada beberapa cara dan upaya untuk mempertimbangkan suatu unsur struktur kebudayaan (adat) ke dalam rumusan hukum islam ternyata telah dilakukan oleh banyak kalangan. Para pemikir hukum islam di Indonesia fase awal telah mendemonstrasikan secara baik tata cara menyantuni aspek lokalitas di dalam ijtihad hukum yang mereka lakukan. Hasilnya, walaupun tidak sampai muncul seorang mujtahid, tentunya dengan independensi metode penemuan hukum sendiri, dapat melihat lahirnya berbagai karya dengan memuat analisa penemuaaan hukum yang kreatif, cerdas dan inovatif.
Hukum islam harus mampu menjawab persoalan baru, khususnya dalam segala cabang dari bidang muamalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hasir dan bisa berpartisipasi dalam membenttuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para mujtahid (ulama lokal) dituntut untuk mempunyai kepekaan terhadap kebaikan yang tinggi, dan kreatifitras yang dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternatif fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah ini, diperlukan kerja kolektif, melalui sebuah lembaga permanen dengan jumlah anggota dari spesialisasi ilmu yang bermacam-macam. Upaya ini akan menghasilkan produk hukum yang relative lebih baik dibanding apabila hanya dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan orang dengan keahlian yang sama.
Fiqh Indonesia adalah fiqh yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia. Untuk membemtuk fiqh baru Indonesia, diperlukan kesadaran dan kearifan yang tinggi dari banyak pihak, terutama ketika harus melewati langkah pertama, yaitu melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum islam baru bisa berjalan dengan baik jika sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Yakni, hukum yang dibentuk oleh kesadaran lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi tempat, bukan dengan memaksakan format hukum Islam yang terbangun dari satu konteks tertentu kepada konteks ruang dan waktu baru yang jauh berbeda.
Perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus tanpa terencanakan disebut unplanned social change (perubahan masyarakat tanpa terencana). Baiknya perubahan masyarakat yang demikian disebabkan oleh perubahan dalam bidang teknologi atau globalisasi. Ada juga perubahan masyarakat yang kita rencanakan, kita desain, dan kita tetapkan tujuan dan strateginya. Inilah perubahan masyarakat yang kita sebut plannet social change (perubahan masyarakat yang terencana).

C.    Karakteristik Hukum Islam Menghadapi Perkembangan Masyarakat
1.      Dimensi Syari'at dan Fikih
Dalam bahasa Mohammad Daud Ali (2009), mempunyai dua istilah kunci yakni syari'at dan fikih. Syari'at terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad dan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syari'at.
Syari'at yang memang bersumber dari wahyu Allah swt. (Al-quran) dan Sunnah Nabi kita Muhammad saw. (al-Hadits) bersifat tsabat(tetap) kapan pun dan dimanapun, sedangkan fikih bersifat tathowwur (terus-menerus berkembang) sebab ia adalah hasil pemahaman manusia tentang syari'at. Dengan sifat tsabat tersebut syari'at Allah swt akan tetap berlaku sepanjang masa dan tidak seorang pun yang mampu untuk menggantikannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam itu fleksibel (tidak kaku) di setiap kondisi dan situasi masyarakat serta terus mengikuti perkembangan zaman. Namun demikian, tetaplah Hukum Qur'ani.
Letak kekuatan syari'at Islam itu adalah pada kemurniannya sebab berasal dari wahyu Allah swt. tanpa dicampuri oleh daya nalar manusia. Fikih itu sendiri adalah pemahaman yang berarti proses pembentukan Hukum Islam melalui daya nalar manusia. Baik itu pemahaman wahyu secara langsung maupun tidak langsung. Di sinilah fleksibilitas hukum Islam yang ketika membahas masalah muamalah kita diberikan kesempatan untuk berijtihad (pintu ijtihad itu tidak tertutup) dan Al-quran sendiri hanya membahas masalah muamalah ini secara global saja.

2.      Ketuhanan dan Kemanusiaan
Ungkapan syahadatain asyhadu allaailaha illallahtidak hanya berhubungan dengan ketauhidan saja. Namun, ungkapan ini juga mengandung syari'at yang jika dialihkan ke dalam bahasa hukum akan berbunyi tiada hukum kecuali hukum Allah. Sumber rumusan kalimat ini adalah Al-quran surat Al-Anam ayat 57, yang Artinya:
"Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al-quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik". (Q.S Al-Anam: 57)
Selain itu jug aterdapat dalam surat Yusuf ayat 40 dan 67 yang Artinya:
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Q.S Yusuf: 40)
Dan Yaqub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian Aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah Aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri".(Q.S.Yusuf:67)
Hukum Islam itu diciptakan Allah swt. bukan untuk kepentingan Allah swt. Namun, hal itu dilakukan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan manusia dan tentunya Alalh lebih tahu kepentingan dan kebutuhan manusia baik yang berupa kebutuhan kepercayaan (akidah), ritual (ibadah), sampai dengan kebutuhan hidup individu dan sosial (muamalat).
Agar seluruh kebutuhan manusia terpenuhi, maka Allah swt. telah menyediakan sarana dan prasarana secara sempurna serta memberikan pedoman hidup (hukum) secara sempurna untuk kebahagiaan manusia. Dari sinilah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum Islam itu sangat memperhatikan karakteristik kemanusiaan sehingga Allah swt. memberikan pedoman hidup kepada manusia, baik itu berupa akidah, ibadah, maupun muamalat.
Apabila kita telah mengetahui dengan sebenarnya bahwa Allah lah yang menciptakan hukum, maka kewajiban kitalah yang harus melaksanakan dan menerapkan hukum Allah tersebut. Pelaksanaan itu bukan untuk diri kita pribadi namun, untuk Allah swt. dalam artian melaksanakan hukum Allah itu dengan nama Allah swt.

3.      Universal dan Kontekstual
Agama Islam bersifat universal, mencakup semua manusia di dunia ini, tidak dibatasi oleh lautan maupun batasan sesuatu negara. Ini berdasarkan firman Allah swt. dalam surat Saba' ayat 28 yang artinya:
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.”(Q.S Saba’: 28).
Dan juga firman Allah swt. dalam surat Al-Anbiya ayat 107 yang Artinya:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(Q.S Al-Anbiya: 107).
Oleh Karena itu pada periode Makkah, di mana Nabi Muhammad saw. masih memfokuskan dakwahnya mengenai tauhid pada khususnya dan akidah pada umumnya, kita lihat ayat-ayat Al-quran pada umumnya dipergunakan panggilan Ya Ayuha n'Nas (Wahai manusia) untuk mencakup siapa saja dan di mana saja. Akan tetapi mengenai hukum-hukumnya meskipun tidak dibatasi oleh lautan dan daratan, namun pada umumnya, terutama mengenai ibadah, hanya khusus bagi kaum muslimin saja. Oleh karena itu kita lihat ayat-ayat Al-quran yang turun pada periode Madinah di mana Islam sudah mulai mentasyrikan hukum, panggilan dipergunakan Ya Ayuha 'l-Ladzina Aamanu (Wahai orang-orang yang beriman).
Universalitas hukum Islam dapat dilihat dari aspek kualitatif, yaitu mengenai ruang dan waktu, dan berlaku abadi. Dari aspek kuantitatif, yaitu hukum Islam, yang dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Hukum Islam, yang dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak terikat oleh kebangsaan, (nasionalisme), kesukuan, golongan, penguasa, rakyat, jenis kelamin (laki-laki dan wanita), batas-batas wilayah atau geografi (dari segi ruang). Demikian juga tidak terikat dengan masa dan waktu.
Hukum Islam, disamping bersifat universal juga memiliki karakter kontekstual. Karakter hukum Islam ini, menurut Yusuf Qaradhawi berdasarkan kaidah-kaidah dan pola-pola berpikir yang asasi. Di antara kaidah-kaidah dan pola-pola berpikir itu adalah:
a.       Memudahkan, dan menghilangkan kesulitan;
b.      Memperhatikan tahapan masa;
c.       Turun dari nilai ideal menuju realita dalam situasi darurat;
d.      Segala yang mendatangkan kerugian atau kesengsaraan umat harus dilenyapkan;
e.       Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan;
f.       Kemudaratan yang bersifat khas digunakan untuk kemudaratan yang bersifat umum;
g.      Kemudaratan yang ringan digunakan untuk menolak kemudaratan yang berat;
h.      Keadaan terpaksa memudahkan perbuatan atau tindakan terlarang;
i.        Apa yang diperbolehkan karena terpaksa, diukur menurut ukuran yang diperlukan;
j.        Kesulitan mendatangkan kemudahan;
k.      Menutup sumber kerusakan didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.
Melihat karakteristik hukum Islam di atas, maka sangat wajar bila Hukum Islam itu terus berkembang mengikuti perubahan waktu dan perkembangan zaman. Ia merupakan hukum yang universal, tidak memandang siapapun. Ia memang diturunkan untuk seluruh umat manusia. Tidak memandang etnis, suku ras, golongan, strata sosial.
Fleksibilitas hukum Islam juga memberikan andil yang besar sehingga hukum Islam itu shalih likulli zaman. Demikianlah, hukum Islam sendiri sangat berperan besar dalam pengkodifikasian dan perkembangan hukum Islam itu sendiri, yaitu melalui karakteristiknya.

















BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Sumber-sumber hukum islam terdiri dari Al-quran, As-Sunnah atau Al-Hadis dan akal pikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad kerena pengetahuan dan pengalamannya.
2.      Hukum islam di Indonesia dilihat dari sejarah perkembangan pemikiran, ada beberapa cara dan upaya untuk mempertimbangkan suatu unsur struktur kebudayaan (adat) ke dalam rumusan hukum islam ternyata telah dilakukan oleh banyak kalangan. Para pemikir hukum islam di Indonesia fase awal telah mendemonstrasikan secara baik tata cara menyantuni aspek lokalitas di dalam ijtihad hukum yang mereka lakukan. Hasilnya, walaupun tidak sampai muncul seorang mujtahid, tentunya dengan independensi metode penemuan hukum sendiri, dapat melihat lahirnya berbagai karya dengan memuat analisa penemuaaan hukum yang kreatif, cerdas dan inovatif.
3.      Karakteristik hukum islam menghadapi perkembangan zaman terdiri dari tiga aspek yaitu dimensi syariat adna fikih, ketuhanan dan kemanusiaan, nuniversal dan kontekstual.










DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, Sulaiman. 2007. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Ali, Mohammad Daud. 2009. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
http://wwwaninovianablogspotcom.blogspot.comdiunduh hari Kamis, 14 Juni 2012 jam 22.10 WIB.
http://link24share.blogspot.comdiunduh hari Kamis, 14 Juni 2012 jam 22.15 WIB.