“ Kepribadian Ekstrofet Watak dan Batin Seorang Wanita Jawa dalam Novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi Ag: Kajian Psikologi Sastra”



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Judul
“ Kepribadian Ekstrofet Watak dan Batin Seorang Wanita Jawa dalam Novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi Ag:
Kajian Psikologi Sastra”
B.     Latar belakang
Unsur watak dan batin tokoh yang dominan didalam sebuah karya sastra berupa cerpen maupun novel selalu membuat isi dari karya sastra tersebut diminati dan dicintai oleh pembaca. Watak dan batin tokoh sendiri tidak terlepas dari kondisi psikologis yang dialami. Jika kondisi psikologis tokoh baik, akan mendasari watak dan batin yang baik pula. Seperti halnya di dalam novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Ag.
Novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Ag menampilkan watak dan batin seorang wanita jawa yang masih lugu. Hal ini diceritakan lewat tokoh Pariyem yang bekerja sebagai babu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, batin berarti sesuatu yang terdapat di dalam hati atau sesuatu yang menyangkut jiwa. Watak adalah sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti, dan tabiat. Watak dan batin memang mempunyai kemiripan. Dan kedua hal ini yang membangaun psikologis dalam tokoh Pariyem.
Penulis dalam pembuatan makalah ini memilih menggunakan kajian psikologi sastra dengan menerapkan teori Rene Wellek dan Austin Warren dengan aspek ekstrofet. Ekstrofet adalah seseorang yang mempunyai kepribadian terbuka, seperti tokoh Pariyem yang sangat terbuka untuk menceritakan kejadian- kejadian yang ia hadapi dengan memberitahukan kepada tokoh lain di dalam novel ini. Alasan memakai teori Rene Wellek dan Austin Warren karena dalam novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Ag banyak menunjukkan watak dan batin tokoh yang sesuai jika dikaji dengan psikologi sastra khususnya aspek ekstrofet.
 Novel “Pengakuan Pariyem” ini sendiri adalah sebuah prosa lirik, dalam penceritaannya pengarang menjadi tokoh Pariyem yang menceritakan kehidupannya sebagai babu kepada sahabatnya. Pengarang lainnya jarang melakukan model prosa lirik seperti yang dilakukan oleh Linus Suryadi Ag, jadi novel ini sangat menarik untuk diteliti. Selain itu di dalam novel ini menunjukkan bagaimana sebenarnya seorang babu menempatkan dirinya sesuai dengan pekerjaannya. Berbeda dengan babu (pembantu) sekarang, yang terkadang bersikap semaunya, sehingga munculah berbagai kasus penganiayaan majikan kepada pembantunya.
 Melalui tokoh Pariyem, dengan keluguan watak dan sifatnrimo-nya membuat ia bukan hanya sebagai babu dirumah majikannya.

C.    Rumusan masalah
1.      Bagaimana aspek ekstrofet jiwa tokoh utama dan aspek ekstrofet jiwa tokoh lain dalam novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Ag.
2.      Bagaimana kritik sosial pengarang dalam novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Ag?

D.    Kerangka teori
Gerungan (dalam Walgito, 2003:10) mengatakan bahwa berdasarkan etimologi “psikologi” berasal dari bahasa Yunani terdiri dari dua kata psyce dan logos. Kata psyche atau psychomengandung pengertian “jiwa” dan kata logos “ilmu” atau ilmu pengetahuan. Menurut Walgito (2003:10) psikologi merupakan ilmu yang meneliti serta mempelajari perilaku atau aktivitas- aktivitas, dan perilaku serta aktivitas- aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan. Perilaku atau aktivitas- aktivitas itu meliputi perilaku yang menampak (overt behavior) dan perilaku yang tidak menampak (invert behavior).
Psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan. (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau studi pribadi. (2) Studi proses kreatif. (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. (4) Mempelajari dampak sastra pada pembaca. Kemungkinan (1) & (2) bagian dari psikologi seni. Kemungkinan (3) berkaitan pada bidang sastra. Kemungkinan (4) pada bab sastra dan masyarakat. Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang, yang mana pada bagian akhir ini menurut mereka merupakan tahapan yang paling kreatif.
Rene Wellek dan Austin Warren (1962:81-82) menunjukkan empat model pendekatan psikologis yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca. Meskipun demikian, pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan 3 gejala utama, yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra. Apabila perhatian ditujukan pada pengarang, maka model pengertian lebih dekat dengan pendekatan ekspresif, sebaliknya, apabila perhatian ditujukan pada karya, maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan obyektif.
Setiap manusia pasti mendapat penderitaan dan siksaan entah itu dari diri sendiri ataupun orang lain. faktor yang menyebabkan seseorang sakit atau menderita yang pertama adalah keadaan fisik, dan yang kedua adalah terletak pada kepribadiannya, yang terdiri dari introfet atau kepribadian tertutup dan ekstrofet atau kepribadian terbuka.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Analisis Teori
1.      Aspek Ekstrofet Jiwa Tokoh Utama dalam Novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi Ag.
Pariyem adalah tokoh utama di dalam novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Ag. Ia seorang babu di nDalem Suromentaraman Ngayogyakarta. Majikannya bernama nDoro Kanjeng Cokro Sentono yaitu seorang priyayi terpandang. Walaupun hanya sebagai babu, Pariyem iklas menjalankan pekerjaannya. Pariyem mempunyai kepribadian ekstrofet atau terbuka hubungannya dengan tokoh lain sehingga mempengaruhi keadaan psikologis tokoh Pariyem dengan watak serta keadaan batinnya yang selalu iklas menerima kehidupan tanpa adanya paksaan.
Dalam novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Ag tokoh Pariyem sendiri mencerminkan kepribadian ekstrofet atau mempunyai sifat terbuka terhadap apapun yang sudah menjadi jalan hidupnya. Pariyem adalah seorang yang selalu iklas dengan apa yang ada pada dirinya. Ia adalah seorang wanita yang berasal dari Wonosari Gunungkidul. Hidup sederhana merupakan kesehariannya. Karena orang tua Pariyem bekerja sebagai petani. Keadaan psikologis ini lah yang mendasari dirinya tidak pernah menginginkan lebih dari apa yang diperoleh selama ini, bahkan pekerjaannya yang hanya sebagai babu. Tidak tamak merupakan watak yang tertanam pada diri seorang Pariyem.
Walaupun Pariyem membunyai kepribadian terbuka, tetapi hal itu tidak mempengaruhi dan menimbulkan konflik di dalam dirinya. Sifat terbukanya membuat dia menjadi seorang yang mempunyai kepribadian iklas dan penurut.
“Pengakuan Pariyem” menunjukkan betapa lugunya perasaan batin seorang wanita jawa yang masih sangat terikat adat istiadat atau tradisi jawa. Seperti ketika Pariyem menjelaskan tentang tradisi anak yang baru lahir. Tampak dalam kutipan berikut:
“Bersama telor ayam mentah, beras, uang logam, bawang merah dan bawang putih, gula, garam, jahe dan kencur, adik ari- ari jadi satu. Sehabis dibersihkan dibungkus periuk tanah kemudian ditanam didepan rumah.” (halaman 2).

Jika dibandingkan dengan orang- orang masa kini, mungkin hanya tinggal sedikit yang tahu atau mau melaksanakan tradisi seperti yang dijelaskan diatas.
Pekerjaan babu sudah menjiwai Pariyem. Bekerja di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta suatu kebanggaan. Karena ia bisa bekerja di rumah priyayi. Hidup Pariyem diabadikan sebagai babu. Ia tidak pernah mengharapkan pekerjaan yang lebih dari seorang babu. Seperti dalam kutipan berikut:
“Dan saya sudah 3B sebagai babu, kok. Itu saya indhit, saya kempit, saya sandang dan saya tayangsampai masuk keliang kubur.” (halaman 6).

Pariyem juga tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Rezeki itu sudah ada yang mengatur, jadi dia ikhlas saja menjalankan tanpa ada paksaan. Seperti dalam kutipan berikut:
“Kalau memang sudah nasib saya sebagai babu, apa ta repotnya? Gusti Allah maha Adil, kok. Saya nrima ing pandum.” (halaman 29).

Keiklasan pariyem juga tampak dalam ia melayani nafsu anak majikannya. Yaitu Raden Bagus Ario Atmojo. Ia tanpa paksaan sedikitpun ketika melakukannya. Seperti dalam kutipan berikut:
“Alangkah bergidik bulu kuduk saya. Alangkah mrinding urat saraf saya. Tapi saya pasrah saja, kok. Saya lega lila.” (halaman 39).

Kepribadian Pariyem yang terbuka mempengaruhi kondisi psikologisnya dan tanpa ada konflik dalam watak batinnya, karena ia selalu menerima apapun yang sudah menjadi jalan hidupnya.


2.      Aspek Ekstrofet Jiwa Tokoh Lain dalam Novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi Ag.
Dalam novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi Ag, Pariyem adalah yang menjadi tokoh utamanya. Tokoh lain yang berpengaruh dalam novel ini antara lain adalah nDoro Kanjeng Cokro Sentono, Raden Bagus Ario Atmojo, dan Wiwit Setiowati.           
Seorang Pariyem tidak banyak membantah ketika hubungannya dengan Raden Bagus Ario Atmojo menghasilkan janin yang berada di dalam rahimnya. Dan ketika nDoro Kanjeng Cokro Sentono mengetahui hal tersebut, beliau memberikan syarat kepada Pariyem bahwa selama hamil dan melahirkan, Pariyem harus pulang ke daerahnya yaitu Wonosari Gunungkidul. Setelah anaknya lahir kelak, Pariyem diminta kembali bekerja di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta.
Pariyem tidak membantah dengan syarat tersebut. Bahkan di dalam hati Pariyem bangga karena bapak dari anaknya adalah seorang keturunan priyayi. Dan sebagai seorang babu, Pariyem juga merangkap sebagai mantu. Walaupun ia tidak dinikahkan secara syah. Pariyem hanyalah seorang selir Raden Bagus Ario Atmojo. Seperti dalam kutipan berikut:
“Ya, Pariyem saya Maria Magdalena Pariyem lengkapnya. Iyem panggilan sehari- harinya di Wonosari Gunungkidul. Tata lahirnya, saya hanya babu. Tapi batinnya, saya selir baru.” (halaman 201).

Seperti itulah keiklasan batin dan watak di dalam jiwa Pariyem yang sebagai babu namun sekaligus pelayan nafsu anak majikannya.
Jika dikaji, Pariyem yang hanya babu memang tidak mungkin melakukan perlawanan, apalagi hal tersebut berhubungan dengan majikannya. nDoro Kanjeng Cokro Sentono sebagi majikan Pariyem adalah seseorang yang mempunyai kuasa penuh dalam rumahnya di nDalem Suromentaraman Ngayogyakarta dan ia adalah seorang priyayi. Sudah sewajarnya jika seorang babu patuh terhadap majikannya. Terlebih lagi ia adalah seorang priyayi terpandang.
Raden Bagus Ario Atmojo yang menjadikan Pariyem sebagai pemuas nafsunya merupakan seorang anak dari nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Karena kedudukannya sebagai anak priyayi membuatnya bertindak semaunya, termasuk menghamili pembantunya sendiri yaitu Pariyem. Kebudayaaan yang seperti ini sesungguhnya tidak baik, seorang anak hanya menumpang status sosial ayahnya untuk berkuasa dan menindas yang lemah untuk memuaskan hawa nafsunya. Walaupun dalam novel ini Pariyem tidak menolak, tapi jika kebudayaan dan kebiasaan seperti ini terus dijadikan turun temurun akan menjadikan kualitas moral anak yang tidak baik.
Tokoh lain selanjutnya adalah Wiwit Setiowati yang merupakan adik dari Raden Bagus Ario Atmojo. Wiwit adalah orang pertama yang mengetahui bahwa Pariyem hamil dengan Ario. Karena keterbukaan Pariyem dalam menceritakan asmaranya dengan Ario. Berbeda dengan Ario yang terkesan menumpang status kedudukan orangtuanya yang priyayi terpandang, Wiwit mencerminkan seorang yang tidak membeda- bedakan orang. Setelah tahu bahwa Pariyem hamil Wiwit dengan setia membelikan buah mangga untuk Pariyem. Karena anak yang dikandung oleh Pariyem adalah darah daging kakaknya, maka ia menganggap bahwa Pariyem bukan seorang babu dalam keluarganya, melainkan sebagai kakak iparnya. Dan Wiwit pulalah yang menyampaikan kepada orangtuanya bahwa Pariyem mengandunga anak Ario.

B.     Kritik Sosial Pengarang dalam Novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi Ag.
Linus suryadi Ag adalah penulis dari novel “Pengakuan Pariyem” ini. Novel “Pengakuan Pariyem” merupakan suatu prosa lirik. Pengarang lain jarang menggunakan hal ini dalam penulisan novel mereka. Isi dari novel ini adalah Pariyem yang bercerita kepada temannya tentang pengalamannya ketika menjadi babu.
Linus sangat menonjolkan kebudayaan- kebudayaan jawa dalam novel ini, dengan menampilkan pantun pendek bahasa jawa, tembang bahasa jawa dan tentunya penggunaan bahasa jawa.
Tetapi Linus terlalu membanggakan tokoh majikan Pariyem yaitu nDoro Kanjeng Cokro Sentono yang merupakan seorang priyayi terpandang. dengan kekuasaan penuh dapat memerintahkan Pariyem yang bekerja hanya sebagai babu.
Dan dengan mengatasnamakan seornang wanita jawa, Pariyem digambarkan sebagai seorang dan mempunyai watak batin nrimo dengan apa yang diperolehnya. Dengan menggambarkan latarbelakang Pariyem yang berasal dari Wonosari Gunungkidul dan orangtuanya yang bekerja sebagai petani sangat mendukung sifat nrimo-nya.
Tetapi sebenarnya tidak semua wanita jawa mempunyai sifat seperti Pariyem. Dalam novel “Pengakuan Pariyem” ini, Linus menegaskan dengan kalimat “Dunia batin seorang wanita jawa”,dan ketika melukiskan watak Pariyem sulit diterima oleh nalar seorang yang mempunyai sifat sepertinya.
Sesuai dengan zaman ditulis novel ini, pengaruh priyayi di jawa masih sangat dominan, sehingga Linus menggunakan tokoh priyayi sebagai seorang yang dapat memerintah tanpa bisa dibantah.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penulisan makalah ini dapat disimpulkan:
1.      Aspek ekstrofet tokoh utama dalam novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi Ag adalah sifat berbuka Pariyem dalam menceritkan hidupnya kepada orang lain. Karena kepribadian terbuka itu mempengaruhi psikologi Pariyem dan menjadikannya sebagai seorang babu yang selalu menerima apa yang diperolehnya dan kepribadian terbuka itu tidak menyebabkan konflik dalam batin Pariyem, walaupun sebenarnya banyak sekali kejadian- kejadian yang ia alami.
2.      Asper ekstrofet dari tokoh lain dalam novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi Ag adalah nDoro Kanjeng Cokro Sentono yang menjadi majikan Pariyem sekaligus seorang priyayi terpandang yang mempunyai kekuasaan penuh didalam keluarganya. Raden Bagus Ario Atmojo dalah anak nDoro Kanjeng Cokro Sentono dan merupakan ayah dari anak yang dikandung Pariyem. Dan Wiwit Setiowati adalah adik Ario yang sangat bersahabat dengan Pariyem walaupun dia adalah seorang babu. Wiwit inilah yang terbuka kepada ayahnya bahwa Pariyem dihamili oleh Ario.
3.      Kritik sosial kepada pengarang adalah, pengarang banyak menggnakan bahasa jawa, dan menggunakan kedudukan priyayi sebagai seorang yang berkuasa penuh.

B.     Kritik dan Penilaian Penulis
Selain hubungan psikologis yang membangun aspek ekstrofet watak serta batin Pariyem yang selalu iklas menghadapi hidup, didalam novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Ag ini terdapat beberapa yang kurang sesuai. Diantaranya adalah:
1.      Pada awal novel ini menjelaskan bahwa Pariyem hanyalah lulusan SD, tetapi ia mampu menjelaskan tentang prinsip- prinsip hidup dengan bahasa yang tergolong orang berpendidikan tinggi. Seperti dalam kutipan barikut:
“Ini hidup absurd banget, imposible. Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin? Sedangkan mulut terus menganga perut minta diisi saban harinya.” (halaman 11).

Walaupun kata absurd dan imposible merupakan kata yang sederhana, tetapi  sangat disangsikan secara psikologis, pariyem yang hanya babu dan lulusan SD mampu menerangkan dan menggunakan kata dalam bahasa inggris tersebut.
2.      Sangat jarang terjadi seorang majikan menganggap dan mengakui babunya sebagai menantu. Apalagi keluarga priyayi. Seperti dalam kutipan berikut:
“Thuyul yang tersimpan dalam rahimmu itu bakal cucuku, bukan tanpa eyang. Dia cucu Ndoro Ayu, punya eyang. Dia keponakan Wiwit, bukan tanpa bulik. Dia anak Ario, bukan tanpa ayah. Dia anak Ario, bukan anak jadah.” (halaman194).
Hal yang banyak terjadi di dunia nyata, seorang majikan tidak akan mau menjadikan pembantu atau babu sebagai menantu walaupun yang menghamili adalah putranya sendiri. Apalagi didalam novel ini diceritakan hubungan erat antara keluarga Pariyem yang bekerja petani sederhana dengan keluarga priyayi. Jadi hal ini kurang sesuai jika diterapkan dalam kehidupan yang sebenarnya.
3.      Kejadian Raden Bagus Ario Atmojo menghamili seorang babu yaitu Pariyem menunjukkan bahwa di lingkungan nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta yang notabene adalah seorang priyayi mempunyai sifat yang tidak pantas untuk ditiru. Seharusnya seorang dari keluarga keturunan priyayi mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang biasa dan seharusnya seorang priyayi juga menjadi contoh yang baik.
4.      Dalam akhir novel ini diceritakan bahwa adik Raden Bagus Ario Atmojo yaitu Wiwit Setiowati sudah tidak perawan lagi. Hal ini semakin menunjukkan bobroknya generasi muda. Terlebih lagi kebobrokan ini ditunjukkan lewat kehidupan seorang priyayi. Seperti dalam ketupan berikut:
“Ah, biasa ta Yu. Menelan APEM, aku menelan pil anti meteng.” (halaman 213).

Dan kutipan berikut:
“Jare neng Mlati jebul neng Sleman, jare latihan tari jebule kelonan. Tuku jenang wis ora komanan, adikku sayang wis ora perawan.” (halaman 215-216).

Tetapi disamping hal negatif diatas, novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi Ag telah memenuhi 3 aspek kritik sastra. Aspek hisroris yaitu ketepatan novel ini pada zamannya. Aspek rekreatif yaitu pengarang berhasil merekomendasikan pengalaman jiwa yang terkandung dalam karya sastra. Aspek penghakiman yang terdiri dari kriteria estetik yaitu keselarasan antara nama tokoh di dalam novel dengan latar tempatnya. Nama Pariyem mencerminkan bahwa ia adalah orang jawa dan Raden Bagus Ario Atmojo mencerminkan priyayi jawa. Kriteria epistemis yang berhubungan dengan kebenaran semesta. Dan kriteria normatif yang berhubungan dengan keagungan serta kedalaman karya sastra.

C.     Saran
1.      Seharusnya Linus tidak hanya menampilkan sifat Pariyem yang selalu nrima ing pandum.
2.      Jika dalam diri Pariyem dimunculkan konflik batin, novel ini akan semakin menarik. Karena terdapat pertentangan antara Pariyem yang hanya seorang babu tetapi meminta keadilan di dalam rumah seorang priyayi.
3.      Sebaiknya jika dalam penulisan bahasa jawa atau bahsa asing lainnya langsung diartikan atau dijelaskankan pada catatan kaki, karena novel ini arti dari bahasa jawa ada dibagian belakang novel. Jadi pembaca merasa kesulitan karena harus membolak- balik novel ketika ingin tahu istilah dari isi novel tersebut.